Kamis, 25 Oktober 2012

UU Pangan Baru Tidak Sesuai Dengan Konsep Kedaulatan Pangan, Isi Lama Kemasan Baru

24 Oktober 2012
JAKARTA. RUU tentang Revisi UU Pangan No. 7 Tahun 1996 akhirnya disahkan pada Kamis (18/10/12) lalu. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat bahwa UU Pangan yang baru ini akan dapat menjadi pedoman dan mengakomodir permasalahan-permasalahan di bidang pangan yang ada di negeri ini. Namun kami, Serikat Petani Indonesia (SPI) tidak sependapat dengan Pemerintah dan DPR dalam hal ini. UU Pangan yang baru ini belum mampu menjawab masalah yang ada dan tidak mampu mengubah kehidupan petani dan nelayan sebagai produsen pangan. Dalam UU Pangan yang baru disahkan minggu lalu tersebut, SPI melihat Pemerintah terkesan memaksakan konsep kedaulatan pangan dan ketahanan pangan untuk disatukan dalam UU ini.
Padahal konsep kedaulatan pangan merupakan jawaban atas gagalnya konsep ketahanan pangan yang telah diterapkan selama ini. Mengacu pada UU tentang Pangan sebelumnya, UU No. 7 Tahun 1996, konsep ketahanan pangan yang diimplementasikan oleh pemerintah hanya terbatas pada “kondisi terpenuhinya pangan bagai rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.” Konsep ini persis dengan konsep ketahanan pangan yang dicanangkan oleh FAO, yaitu tanpa melihat dari mana pangan tersebut dihasilkan atau dengan cara apa pangan tersebut dihasilkan. Dalam ketahanan pangan, suatu negara dikatakan aman apabila mampu memenuhi pangannya tanpa dia memproduksi sendiri pangan tersebut, artinya, suatu negara boleh menggantungkan pemenuhan pangannya terhadap  negara lain melalui mekanisme impor.
Pada akhirnya, konsep ketahanan pangan ini telah menegasikan para petani pangan, dalam hal ini produsen pangan utama. Petani “dipaksa” oleh sistem dan paradigma yang berorientasi pada keuntungan dan berorientasi uang. Akhirnya, petani dikondisikan untuk masuk kedalam pasar produk pertanian yang tanggap terhadap perkembangan harga. Untuk kasus Indonesia, karena harga cash crops– seperti tanaman perkebunan –lebih menguntungkan maka pemerintah lebih mendorong pada pengembangan tanaman cash crops untuk mencapai pertumbuhan ekspor setinggi-tingginya. Petani terpaksa mengikuti keinginan sistem yang sudah berorientasikan pasar. Akibatnya, petani/pelaku pertanian yang kuat dan bermodal sajalah yang bisa bertahan, semantara yang lemah semakin kehilangan aksesnya terhadap alat-alat produksi seperti tanah, air, benih, teknologi dan pasar.
Konsep ketahanan pangan yang diterapkan baik di dunia maupun di Indonesia semata berusaha menjamin pangan murah, lewat segala cara terutama lewat impor pangan dalam mekanisme liberalisasi pangan. Kebijakan pangan Indonesia yang saat ini telah sangat bergantung pada impor menyebabkan negeri ini berada pada posisi yang sangat sulit. Betapa disayangkan bahwa tingginya kebutuhan pangan dalam negeri malah digunakan sebagai peluang untuk membuka liberalisasi pangan lebar-lebar. Padahal Indonesia sebagai negara agraris yang besar sesungguhnya memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan memasok bagi kebutuhan global.
Untuk menjawab krisis pangan dan pertanian yang terjadi di dunia, pada tahun 1996 La Via Campesina menyusun konsep Kedaulatan Pangan sebagai counter proposal atas konsep Ketahanan Pangan yang disusun FAO dalam World Food Summit di Roma untuk mendorong pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang berdasarkan pada prinsip solidaratas–bukan pertanian berbasiskan agribisnis—yang berdasarkan pada profit semata. Jika ketahanan pangan menjadi alat dari paradigma developmentalism, maka kedaualtan pangan adalah alat bagi paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial.
Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi— terlaksananya Reforma agraria. Hal ini sejalan dengan pembangunan pedesaan yang disokong oleh sektor pertanian untuk memperkuat kondisi pangan lokal, baru setelah itu dibangun sektor non pertanian yang tetap berbasiskan pada sektor pertanian dengan pengelolaan  sistem ekonomi pedesaan yang mandiri dan berkelanjutan dan berdasarkan perekonomian rakyat.
Dalam hal distribusi, kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun, perdagangan diselenggarakan apabila kebutuhan pangan individu hingga negara telah terpenuhi. Sementara itu, penentuan harga  dipastikan harga yang layak dengan sistem perdagangan alternatif yang melindungi hak kedua belah pihak baik itu produsen ataupun konsumen. Untuk bisa mewujudkan semua itu, pemerintah  dituntut untuk menyediakan program-program pelayanan yang mendukung produksi untuk kepentingan domestik dan   aktivitas pasca panen termasuk jaminan  harga dengan memberikan subsidi  yang layak untuk menjamin martabat hidup petani. Lebih lanjut, pembangunan infrastruktur sebagai penunjang dalam mempercepat perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan politik pedesaan seperti jalan-jalan utama, listrik, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, irigasi dan  air bersih harus dilakukan sebagai sarana pendukung keseluruhan proses pembangunan pedesaan yang berdaulat pangan.
Lebih jauh lagi, dalam kedaulatan pangan hak atas pangan dijamin sebagai hak konstitusional rakyat dan negara berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak tersebut. Artinya ada mekanisme realisasi dari hak atas pangan ini. Namun bisa kita lihat dalam UU ini sama sekali tidak membahas soal hak atas pangan. Padahal dalam konsiderans disebutkan bahwa “Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Aspek kewajiban Negara untuk memenuhi hak atas pangan warga negaranya justru tidak diatur dalam UU ini. Karena tidak adanya konsep hak atas pangan dalam UU ini maka tidak ada juga mekanisme tanggung gugat Negara jika Negara gagal memenuhi hak atas pangan rakyatnya.
Dalam UU ini juga tidak memasukkan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang merupakan salah satu instrumen HAM penting, padahal dalam konsideransnya UU ini menyebut pemenuhan pangan adalah bagian dari HAM yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 juga tidak disebutkan dalam konsiderans UU ini, padahal Indonesia sekarang menjadi negara pengimpor pangan terbesar di dunia dan seharusnya pasal 2 UUPA No. 5/1960 tentang Hak Menguasai Negara dan pasal 9 UUPA No.5/1960 tentang tanah untuk kepentingan rakyat menjadi penting dalam konsiderans, karena pembaruan agraria sebagai realisasi hak atas pangan sangat penting mengingat semakin sempitnya kepemilikan lahan untuk produksi pangan.
Dalam pasal 15 ayat 2 UU ini disebutkan “dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.” Dalam penjelasan UU ini yang dimaksud dengan “untuk keperluan lain” adalah penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsumsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri, dan/atau ekspor. Terlihat disini pemerintah menyiapkan dalam UU ini penggunaan pangan untuk bahan baku energi sebagai landasan hukum pengembangan agrofuel. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya praktek perampasan tanah secara masif dan pelanggaran hak asasi petani. Dalam roadmap pembangunan Pemerintah, pengembangan agrofuel pada tahun 2025 mencapai 22,26 juta kiloliter. Hal itu artinya membutuhkan banyak lahan untuk dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan monokultur. Dan, pengelolaan perkebunan dalam ukuran seperti itu hanya dimungkinkan oleh perusahaan-perusahaan besar saja. Lebih lanjut lagi, perluasan perkebunan monokultur menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Jutaan hektar hutan tropis dialihfungsikan menjadi perkebunan monokultur. Ratusan ribu ton pupuk kimia, herbisida dan pestisida ditaburkan di atas lahan-lahan tersebut yang mengakibatkan hilangnya keragaman hayati, kesuburan tanah, dan menyebarkan berbagai racun kimia. Sementara itu, perluasan perkebunan monokultur yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar telah menyingkirkan petani kecil dan masyarakat pedesaan dari kehidupannya. Perampasan tanah terjadi di desa-desa sekitar hutan yang dijadikan areal perkebunan. Konflik pun kerap terjadi antara perusahaan perkebunan dengan petani kecil dan masyarakat pedesaan yang menyebabkan terusirnya petani-petani kecil dari lahannya.
Dalam pasal 17, pemerintah mengkategorikan pelaku usaha pangan dengan petani, nelayan dan pembudidaya ikan sebagai produsen pangan, dimana Pemerintah berkewajiban melindungi serta memberdayakannya. Namun UU ini tidak membedakan antara pelaku usaha pangan besar dengan produsen pangan kecil seperti petani dan nelayan. Ini kontradiktif dengan pasal 18 yang menyebutkan pemerintah berkewajiban untuk menghilangkan kebijakan yang berdampak penurunan daya saing. Justru UU ini membuat daya saing semakin menurun. Bagaimana mungkin petani dan nelayan disuruh bersaing dengan perusahaan pangan besar?
Masalah lain yang kami lihat dalam UU ini adalah mengenai impor. Dalam Pasal 36 ayat 1 disebutkan Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Seharusnya kata “tidak dapat diproduksi didalam negeri” diganti dengan untuk mengatasi masalah pangan atau krisis pangan. Hal ini untuk menjamin produk impor pangan tidak menyebabkan persaingan dengan pangan produk lokal. Dan dalam Pasal 39 disebutkan Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Namun tidak ada kontrol dari masyarakat tentang kebijakan dan peraturan Impor Pangan ini. Seharusnya Pemerintah berkonsultasi (hearing) dengan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil sebelum melakukan Impor Pangan agar Impor Pangan yang akan dilakukan tidak berdampak negatif.
Dalam Pasal 46 UU ini mengatur mengenai Keterjangkauan Pangan. Sesuai pasal 11 Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengenai hak atas pangan, keterjangkauan pangan haruslah meliputi keterjangkauan secara fisik dan ekonomi, yang keduanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Namun dalam UU ini tidak dicantumkan secara eksplisit mengenai keterjangkauan fisik dan ekonomi masyarakat terhadap pangan secara berkelanjutan.
Bab VII Bagian Keempat UU ini mengatur tentang Pangan Produk Rekayasa Genetik. Secara tidak langsung Pemerintah mengakui bahwa pangan produk hasil rekayasa genetika diperbolehkan untuk diproduksi dan diedarkan di wilayah Negara Republik Indonesia. Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan pangan rekayasa genetik tidak boleh dikembangkan di Indonesia. Pertama, dari aspek keamanan pangan. Belum ada satu penelitian pun yang menjamin bahwa pangan rekayasa genetik 100 persen aman untuk di konsumsi. Malah dari beberapa riset akhir-akhir ini, pangan hasil rekayasa genetika menjadi penyebab berbagai penyakit. Kedua, dari aspek lingkungan. Di beberapa negara yang mencoba menanam benih rekayasa genetik terjadi polusi genetik. Lahan-lahan yang bersebelahan dengan tanaman rekayasa genetik berpotensi untuk tercemar oleh gen-gen hasil rekayasa genetik. Sehingga petani di sebelahnya yang menanam tanaman non rekayasa genetik bisa dituduh melanggar hak cipta karena dinilai telah membajak hak cipta perusahaan benih, padahal persilangan tersebut dilakukan oleh alam.
Selain itu, tanaman rekayasa genetik berpotensi merusak keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Hama dan penyakit tanaman akan lari ke ladang-ladang konvensional sehingga mau tidak mau petani tersebut harus beralih menjadi pengguna benih rekayasa genetik yang harganya mahal. Yang terakhir, aspek pengusaan ekonomi. Berdasarkan pengalaman petani di berbagai negara dan juga para petani yang pernah menjadi korban percobaan kapas rekayasa genetik di Sulawesi Selatan, gembar-gembor benih yang dikatakan tahan terhadap serangan hama dan produktivitasnya tinggi hanya omong kosong. Malah petani di Sulsel yang beralih ke benih genetik mengalami kerugian besar akibat ketergantungan penyediaan benih. Tiba-tiba harga benih melambung tinggi dan susah dicari, sementara itu petani sendiri tidak bisa mengembangkan benih secara swadaya karena teknologinya sarat modal. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar dipihak petani dan mereka mulai membakar ladang-ladang kapas mereka dan segera beralih ke produk non transgenik. Petani hanya dijadikan objek untuk semata-mata keuntungan dagang saja.
SPI juga melihat Pasal 123 UU ini yang mengatur mengenai orang asing dapat melakukan penelitian pangan untuk kepentingannya di wilayah Negara Republik Indonesia menjadi suatu permasalahan tersendiri. Hal ini dapat membuat sumber-sumber keanekaragaman hayati lokal dapat berpindah ke tangan orang asing, apalagi dalam pasal 124 Pemerintah memfasilitasi dan memberikan pelindungan hak atas kekayaan intelektual terhadap hasil penelitian dan pengembangan Pangan serta Pangan Lokal unggulan, sehingga produk pangan hasil penelitian dan pengembangan Pangan serta Pangan Lokal yang dilakukan oleh orang asing dapat dipatenkan. Seharusnya penelitian dan pengembangan pangan dilakukan oleh Negara dan disandarkan pada semangat mendorong pengembangan teknologi pertanian sederhana tepat guna yang bisa diterapkan dengan mudah oleh produsen pangan kecil seperti petani, nelayan dan peternak dengan memperhatikan dan mendorong pengetahuan masyarakat dan potensi lokal.
Mengenai Bab XII tentang Kelembagaan Pangan, tidak dijelaskan bagaimana bentuk Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan ini, apakah berbentuk Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Yang menjadi soal apakah dibentuknya lembaga setingkat kementerian dapat mengatasi masalah pengelolaan pangan yang seperti benang kusut, karena pangan merupakan isu lintas sektor yang melibatkan banyak pihak. Belajar dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang mengurusi soal pangan dibawah Kementerian Pertanian, tidak bergigi untuk mendorong dan mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam mengurusi soal pangan di negeri ini. Karena itu konsep soal kelembagaan pangan ini harus dipikir secara masak-masak oleh Pemerintah, apalagi UU ini mengamanatkan dalam Pasal 151, Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan harus telah terbentuk paling lama tiga tahun sejak UU ini diundangkan.
Dari paparan diatas, kami Serikat Petani Indonesia (SPI) berpendapat bahwa UU Pangan yang baru ini tidak sesuai dengan konsep kedaulatan pangan dan tidak mengakui dan melindungi hak atas pangan rakyat Indonesia dan berpotensi merugikan petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya, sehingga kami akan melakukan kajian hukum lebih mendalam untuk melakukan upaya hukum uji materi terhadap UU Pangan ke Mahkamah Konstitusi.
Demikian pandangan sikap ini kami sampaikan.

Henry Saragih,
Ketua Umum SPI

http://www.spi.or.id/?p=5699

Tidak ada komentar:

Posting Komentar