24 Oktober 2012
JAKARTA. RUU tentang Revisi UU Pangan No. 7 Tahun 1996 akhirnya
disahkan pada Kamis (18/10/12) lalu. Pemerintah dan Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) sepakat bahwa UU Pangan yang baru ini akan dapat menjadi
pedoman dan mengakomodir permasalahan-permasalahan di bidang pangan yang
ada di negeri ini. Namun kami, Serikat Petani Indonesia (SPI) tidak
sependapat dengan Pemerintah dan DPR dalam hal ini. UU Pangan yang baru
ini belum mampu menjawab masalah yang ada dan tidak mampu mengubah
kehidupan petani dan nelayan sebagai produsen pangan. Dalam UU Pangan
yang baru disahkan minggu lalu tersebut, SPI melihat Pemerintah terkesan
memaksakan konsep kedaulatan pangan dan ketahanan pangan untuk
disatukan dalam UU ini.
Padahal konsep kedaulatan pangan merupakan jawaban atas gagalnya
konsep ketahanan pangan yang telah diterapkan selama ini. Mengacu pada
UU tentang Pangan sebelumnya, UU No. 7 Tahun 1996, konsep ketahanan
pangan yang diimplementasikan oleh pemerintah hanya terbatas pada
“kondisi terpenuhinya pangan bagai rumah tangga yang tercermin dari
tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata
dan terjangkau.” Konsep ini persis dengan konsep ketahanan pangan yang
dicanangkan oleh FAO, yaitu tanpa melihat dari mana pangan tersebut
dihasilkan atau dengan cara apa pangan tersebut dihasilkan. Dalam
ketahanan pangan, suatu negara dikatakan aman apabila mampu memenuhi
pangannya tanpa dia memproduksi sendiri pangan tersebut, artinya, suatu
negara boleh menggantungkan pemenuhan pangannya terhadap negara lain
melalui mekanisme impor.
Pada akhirnya, konsep ketahanan pangan ini telah menegasikan para
petani pangan, dalam hal ini produsen pangan utama. Petani “dipaksa”
oleh sistem dan paradigma yang berorientasi pada keuntungan dan
berorientasi uang. Akhirnya, petani dikondisikan untuk masuk kedalam
pasar produk pertanian yang tanggap terhadap perkembangan harga. Untuk
kasus Indonesia, karena harga cash crops– seperti tanaman
perkebunan –lebih menguntungkan maka pemerintah lebih mendorong pada
pengembangan tanaman cash crops untuk mencapai pertumbuhan ekspor
setinggi-tingginya. Petani terpaksa mengikuti keinginan sistem yang
sudah berorientasikan pasar. Akibatnya, petani/pelaku pertanian yang
kuat dan bermodal sajalah yang bisa bertahan, semantara yang lemah
semakin kehilangan aksesnya terhadap alat-alat produksi seperti tanah,
air, benih, teknologi dan pasar.
Konsep ketahanan pangan yang diterapkan baik di dunia maupun di
Indonesia semata berusaha menjamin pangan murah, lewat segala cara
terutama lewat impor pangan dalam mekanisme liberalisasi pangan.
Kebijakan pangan Indonesia yang saat ini telah sangat bergantung pada
impor menyebabkan negeri ini berada pada posisi yang sangat sulit.
Betapa disayangkan bahwa tingginya kebutuhan pangan dalam negeri malah
digunakan sebagai peluang untuk membuka liberalisasi pangan lebar-lebar.
Padahal Indonesia sebagai negara agraris yang besar sesungguhnya
memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan memasok
bagi kebutuhan global.
Untuk menjawab krisis pangan dan pertanian yang terjadi di dunia,
pada tahun 1996 La Via Campesina menyusun konsep Kedaulatan Pangan
sebagai counter proposal atas konsep Ketahanan Pangan yang disusun FAO dalam World Food Summit
di Roma untuk mendorong pemenuhan pangan melalui produksi lokal.
Kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang
berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem
pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan
pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai
dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan
hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri
yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang
berdasarkan pada prinsip solidaratas–bukan pertanian berbasiskan
agribisnis—yang berdasarkan pada profit semata. Jika ketahanan pangan
menjadi alat dari paradigma developmentalism, maka kedaualtan pangan
adalah alat bagi paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial.
Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan terwujud jika petani
sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat
produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi— terlaksananya
Reforma agraria. Hal ini sejalan dengan pembangunan pedesaan yang
disokong oleh sektor pertanian untuk memperkuat kondisi pangan lokal,
baru setelah itu dibangun sektor non pertanian yang tetap berbasiskan
pada sektor pertanian dengan pengelolaan sistem ekonomi pedesaan yang
mandiri dan berkelanjutan dan berdasarkan perekonomian rakyat.
Dalam hal distribusi, kedaulatan pangan tidak menegasikan
perdagangan, namun, perdagangan diselenggarakan apabila kebutuhan pangan
individu hingga negara telah terpenuhi. Sementara itu, penentuan harga
dipastikan harga yang layak dengan sistem perdagangan alternatif yang
melindungi hak kedua belah pihak baik itu produsen ataupun konsumen.
Untuk bisa mewujudkan semua itu, pemerintah dituntut untuk menyediakan
program-program pelayanan yang mendukung produksi untuk kepentingan
domestik dan aktivitas pasca panen termasuk jaminan harga dengan
memberikan subsidi yang layak untuk menjamin martabat hidup petani.
Lebih lanjut, pembangunan infrastruktur sebagai penunjang dalam
mempercepat perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan politik pedesaan
seperti jalan-jalan utama, listrik, fasilitas pendidikan, fasilitas
kesehatan, irigasi dan air bersih harus dilakukan sebagai sarana
pendukung keseluruhan proses pembangunan pedesaan yang berdaulat pangan.
Lebih jauh lagi, dalam kedaulatan pangan hak atas pangan dijamin
sebagai hak konstitusional rakyat dan negara berkewajiban untuk menjamin
pemenuhan hak tersebut. Artinya ada mekanisme realisasi dari hak atas
pangan ini. Namun bisa kita lihat dalam UU ini sama sekali tidak
membahas soal hak atas pangan. Padahal dalam konsiderans disebutkan
bahwa “Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan
pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Aspek
kewajiban Negara untuk memenuhi hak atas pangan warga negaranya justru
tidak diatur dalam UU ini. Karena tidak adanya konsep hak atas pangan
dalam UU ini maka tidak ada juga mekanisme tanggung gugat Negara jika
Negara gagal memenuhi hak atas pangan rakyatnya.
Dalam UU ini juga tidak memasukkan UU No. 11 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
yang merupakan salah satu instrumen HAM penting, padahal dalam
konsideransnya UU ini menyebut pemenuhan pangan adalah bagian dari HAM
yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960
juga tidak disebutkan dalam konsiderans UU ini, padahal Indonesia
sekarang menjadi negara pengimpor pangan terbesar di dunia dan
seharusnya pasal 2 UUPA No. 5/1960 tentang Hak Menguasai Negara dan
pasal 9 UUPA No.5/1960 tentang tanah untuk kepentingan rakyat menjadi
penting dalam konsiderans, karena pembaruan agraria sebagai realisasi
hak atas pangan sangat penting mengingat semakin sempitnya kepemilikan
lahan untuk produksi pangan.
Dalam pasal 15 ayat 2 UU ini disebutkan “dalam hal Ketersediaan
Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi,
kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan
lain.” Dalam penjelasan UU ini yang dimaksud dengan “untuk keperluan
lain” adalah penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsumsi,
antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri, dan/atau ekspor.
Terlihat disini pemerintah menyiapkan dalam UU ini penggunaan pangan
untuk bahan baku energi sebagai landasan hukum pengembangan agrofuel.
Hal ini dapat menyebabkan terjadinya praktek perampasan tanah secara
masif dan pelanggaran hak asasi petani. Dalam roadmap
pembangunan Pemerintah, pengembangan agrofuel pada tahun 2025 mencapai
22,26 juta kiloliter. Hal itu artinya membutuhkan banyak lahan untuk
dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan monokultur. Dan, pengelolaan
perkebunan dalam ukuran seperti itu hanya dimungkinkan oleh
perusahaan-perusahaan besar saja. Lebih lanjut lagi, perluasan
perkebunan monokultur menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Jutaan
hektar hutan tropis dialihfungsikan menjadi perkebunan monokultur.
Ratusan ribu ton pupuk kimia, herbisida dan pestisida ditaburkan di atas
lahan-lahan tersebut yang mengakibatkan hilangnya keragaman hayati,
kesuburan tanah, dan menyebarkan berbagai racun kimia. Sementara itu,
perluasan perkebunan monokultur yang dilakukan perusahaan-perusahaan
besar telah menyingkirkan petani kecil dan masyarakat pedesaan dari
kehidupannya. Perampasan tanah terjadi di desa-desa sekitar hutan yang
dijadikan areal perkebunan. Konflik pun kerap terjadi antara perusahaan
perkebunan dengan petani kecil dan masyarakat pedesaan yang menyebabkan
terusirnya petani-petani kecil dari lahannya.
Dalam pasal 17, pemerintah mengkategorikan pelaku usaha pangan dengan
petani, nelayan dan pembudidaya ikan sebagai produsen pangan, dimana
Pemerintah berkewajiban melindungi serta memberdayakannya. Namun UU ini
tidak membedakan antara pelaku usaha pangan besar dengan produsen pangan
kecil seperti petani dan nelayan. Ini kontradiktif dengan pasal 18 yang
menyebutkan pemerintah berkewajiban untuk menghilangkan kebijakan yang
berdampak penurunan daya saing. Justru UU ini membuat daya saing semakin
menurun. Bagaimana mungkin petani dan nelayan disuruh bersaing dengan
perusahaan pangan besar?
Masalah lain yang kami lihat dalam UU ini adalah mengenai impor.
Dalam Pasal 36 ayat 1 disebutkan Impor Pangan hanya dapat dilakukan
apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak
dapat diproduksi di dalam negeri. Seharusnya kata “tidak dapat
diproduksi didalam negeri” diganti dengan untuk mengatasi masalah pangan
atau krisis pangan. Hal ini untuk menjamin produk impor pangan tidak
menyebabkan persaingan dengan pangan produk lokal. Dan dalam Pasal 39
disebutkan Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan
yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani,
peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan,
dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Namun tidak ada kontrol dari
masyarakat tentang kebijakan dan peraturan Impor Pangan ini. Seharusnya
Pemerintah berkonsultasi (hearing) dengan Petani, Nelayan,
Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil sebelum
melakukan Impor Pangan agar Impor Pangan yang akan dilakukan tidak
berdampak negatif.
Dalam Pasal 46 UU ini mengatur mengenai Keterjangkauan Pangan. Sesuai
pasal 11 Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah
disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi
Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengenai hak atas
pangan, keterjangkauan pangan haruslah meliputi keterjangkauan secara
fisik dan ekonomi, yang keduanya menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Namun dalam UU ini tidak dicantumkan secara eksplisit mengenai
keterjangkauan fisik dan ekonomi masyarakat terhadap pangan secara
berkelanjutan.
Bab VII Bagian Keempat UU ini mengatur tentang Pangan Produk Rekayasa
Genetik. Secara tidak langsung Pemerintah mengakui bahwa pangan produk
hasil rekayasa genetika diperbolehkan untuk diproduksi dan diedarkan di
wilayah Negara Republik Indonesia. Serikat Petani Indonesia (SPI)
menyatakan pangan rekayasa genetik tidak boleh dikembangkan di
Indonesia. Pertama, dari aspek keamanan pangan. Belum ada satu
penelitian pun yang menjamin bahwa pangan rekayasa genetik 100 persen
aman untuk di konsumsi. Malah dari beberapa riset akhir-akhir ini,
pangan hasil rekayasa genetika menjadi penyebab berbagai penyakit.
Kedua, dari aspek lingkungan. Di beberapa negara yang mencoba menanam
benih rekayasa genetik terjadi polusi genetik. Lahan-lahan yang
bersebelahan dengan tanaman rekayasa genetik berpotensi untuk tercemar
oleh gen-gen hasil rekayasa genetik. Sehingga petani di sebelahnya yang
menanam tanaman non rekayasa genetik bisa dituduh melanggar hak cipta
karena dinilai telah membajak hak cipta perusahaan benih, padahal
persilangan tersebut dilakukan oleh alam.
Selain itu, tanaman rekayasa genetik berpotensi merusak keseimbangan
lingkungan di sekitarnya. Hama dan penyakit tanaman akan lari ke
ladang-ladang konvensional sehingga mau tidak mau petani tersebut harus
beralih menjadi pengguna benih rekayasa genetik yang harganya mahal.
Yang terakhir, aspek pengusaan ekonomi. Berdasarkan pengalaman petani di
berbagai negara dan juga para petani yang pernah menjadi korban
percobaan kapas rekayasa genetik di Sulawesi Selatan, gembar-gembor
benih yang dikatakan tahan terhadap serangan hama dan produktivitasnya
tinggi hanya omong kosong. Malah petani di Sulsel yang beralih ke benih
genetik mengalami kerugian besar akibat ketergantungan penyediaan benih.
Tiba-tiba harga benih melambung tinggi dan susah dicari, sementara itu
petani sendiri tidak bisa mengembangkan benih secara swadaya karena
teknologinya sarat modal. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar
dipihak petani dan mereka mulai membakar ladang-ladang kapas mereka dan
segera beralih ke produk non transgenik. Petani hanya dijadikan objek
untuk semata-mata keuntungan dagang saja.
SPI juga melihat Pasal 123 UU ini yang mengatur mengenai orang asing
dapat melakukan penelitian pangan untuk kepentingannya di wilayah Negara
Republik Indonesia menjadi suatu permasalahan tersendiri. Hal ini dapat
membuat sumber-sumber keanekaragaman hayati lokal dapat berpindah ke
tangan orang asing, apalagi dalam pasal 124 Pemerintah memfasilitasi dan
memberikan pelindungan hak atas kekayaan intelektual terhadap hasil
penelitian dan pengembangan Pangan serta Pangan Lokal unggulan, sehingga
produk pangan hasil penelitian dan pengembangan Pangan serta Pangan
Lokal yang dilakukan oleh orang asing dapat dipatenkan. Seharusnya
penelitian dan pengembangan pangan dilakukan oleh Negara dan disandarkan
pada semangat mendorong pengembangan teknologi pertanian sederhana
tepat guna yang bisa diterapkan dengan mudah oleh produsen pangan kecil
seperti petani, nelayan dan peternak dengan memperhatikan dan mendorong
pengetahuan masyarakat dan potensi lokal.
Mengenai Bab XII tentang Kelembagaan Pangan, tidak dijelaskan
bagaimana bentuk Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan ini,
apakah berbentuk Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non-Kementerian
(LPNK). Yang menjadi soal apakah dibentuknya lembaga setingkat
kementerian dapat mengatasi masalah pengelolaan pangan yang seperti
benang kusut, karena pangan merupakan isu lintas sektor yang melibatkan
banyak pihak. Belajar dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang mengurusi
soal pangan dibawah Kementerian Pertanian, tidak bergigi untuk mendorong
dan mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam mengurusi soal
pangan di negeri ini. Karena itu konsep soal kelembagaan pangan ini
harus dipikir secara masak-masak oleh Pemerintah, apalagi UU ini
mengamanatkan dalam Pasal 151, Lembaga Pemerintah yang menangani bidang
pangan harus telah terbentuk paling lama tiga tahun sejak UU ini
diundangkan.
Dari paparan diatas, kami Serikat Petani Indonesia (SPI) berpendapat
bahwa UU Pangan yang baru ini tidak sesuai dengan konsep kedaulatan
pangan dan tidak mengakui dan melindungi hak atas pangan rakyat
Indonesia dan berpotensi merugikan petani, nelayan, dan produsen pangan
lainnya, sehingga kami akan melakukan kajian hukum lebih mendalam untuk
melakukan upaya hukum uji materi terhadap UU Pangan ke Mahkamah
Konstitusi.
Demikian pandangan sikap ini kami sampaikan.
Henry Saragih,
Ketua Umum SPI
http://www.spi.or.id/?p=5699
Tidak ada komentar:
Posting Komentar