Selasa, 23 Oktober 2012
Seruu.com - Masyarakat kebanyakan tidak ingin rumit dalam mengukur
atau menghitung kinerja pemerintah. Ukurannya sederhana. Rakyat akan
mengacu pada masalah kecukupan pangan, papan, sandang, jaminan kesehatan
atau berobat murah, dan jaminan bagi pendidikan anak-anak. Masih
ditambah lagi dengan pertanyaan soal asupan gizi keluarga, rasa aman
atau ketertiban umum. Dan, faktor penting lain yang juga menjadi sorotan
publik adalah masalahk penegakan hukum yang berkeadilan atau kepastian
hukum. Jadi, yang utama adalah aspek kesejahteraan.
Kalau tolok ukurnya kesejahteraan rakyat,
kinerja pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono-Wakil Presiden
Boediono terbilang mengecewakan. Sebaliknya, jika acuannya data-data
statistik menurut teori ekonomi, SBY-Boediono masih mungkin diacungi
jempol.
Masalahnya adalah mana yang ingin dilihat? Realitas
kehidupan mayoritas rakyat atau sekadar memaknai data-data statistik
versi Biro Pusat Statistik (BPS)? Saya memilih mengukur kinerja
pemerintah dengan parameter kesejahteraan umum. Sebab, kesejahteraan itu
langsung dirasakan. Kalkulasi tentang kesejahteraan boleh saja sarat
akal-akalan, tetapi rasa atau nikmat kesejahteraan itu tak bisa
berbohong.
Coba simak debat kandidat presiden Amerika Serikat
baru-baru ini. Penantang dari Partai Republik Mitt Romney memojokan
petahana Partai Demokrat Barack Obama dengan isu tentang kegagalan Obama
menciptakan lapangan kerja baru dan ketidakmampuan menurunkan harga BBM
(bahan bakar minyak). Dua isu ini adalah faktor tak terpisah untuk
mengukur kesejahteraan. Jadi, di negara mana pun, kinerja pemerintah
mudah dihitung dan dirasakan, tanpa harus menggunakan teori atau
terminologi-terminologi ekonomi yang tidak familiar buat orang
kebanyakan..
Karena takut sesat, Saya tidak berani hanya
mengandalkan data-data statistik untuk sekadar menyimpulkan maju
mundurnya perkembangan kesejahteraan rakyat. Lebih akurat jika melihat
dan merasakan bagaimana rakyat, per individu maupun kelompok, melakoni
hidup keseharian mereka. Dengan cara seperti itu, kita bisa melihat
langsung fakta dan realitas yang belum tentu tercermin dalam statistik.
Sebab, di dunia nyata itu, kita bisa melihat komunitas tertentu yang
bekerja sangat keras agar bisa terhindar dari kelaparan. Komunitas yang
lain masih berkutat untuk keluar dari level miskin. Sementara kelompok
pekerja yang tidak berpenghasilan tetap berjibaku agar tetap mampu
memenuhi kebutuhan minimum, termasuk menjaga kesehatan dan membiayai
pendidikan anak-anak di sekolah negeri. Juga dari realitas itu, muncul
Pertanyaan berikutnya; ada berapa banyak warga negara yang tinggal di
pemukiman atau rumah tidak layak huni? Lalu, ada berapa banyak Balita
dan orang dewasa menderita kurang gizi?
Statistik resmi
menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia rata-rata 6 persen per
tahun. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI per 2012 sebesar
6,2%. Walaupun terjadi ketidakpastian ekonomi dunia akibat krisis utang
di Eropa dan Amerika Serikat (AS), Pemerintah tahun ini tetap optimis
dengan mematok pertumbuhan 6,7%, lebih tinggi dari 2011 yang 6,5%.
Pertanyaannya,
siapa saja yang menikmati pertumbuhan tinggi itu? Seberapa kuat
pertumbuhan yang tinggi itu menciptakan lapangan kerja dan menaikkan
daya beli pekerja? Mampukah pertumbuhan itu merespons masalah kemiskinan
dan mengatasi masalah pangan, papan, kesehatan masyarakat dan jaminan
pendidikan bagi semua anak usia belajar?
Menrut BPS, hingga
Februari 2012, jumlah pengangguran terbuka tercatat 6,32%, dan jumlah
Jumlah penduduk miskin per September 2011 mencapai 29,89 juta orang
(12,36 persen). Statistik ini tampaknya terbantahkan dengan sendirinya,
kalau dihadap-hadapkan dengan data tentang program beras untuk warga
miskin (Raskin) dan jumlah Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat
(RTS-PM).
Untuk Program Raskin tahun 2012 pemerintah
mengalokasikan menyediakan beras bersubsidi bagi 17.488.007 RTS-PM
dengan kondisi sosial ekonomi terendah di Indonesia (kelompok miskin dan
rentan miskin). Ini data resmi yang dikutip dari kantor Menko Kesra.
Sekarang, mau diasumsikan berapa jiwa per RTS-PM? Sejumlah ahli sering
berasumsi minimal empat jiwa per RTS-PM. Maka, jumlah warga miskin
sebenarnya bisa lebih dari 70 juta jiwa, bukan 29,89 juta jiwa.
Jumlah
warga miskin versi BPS itu memuat pesan bahwa pemerintah berhasil
menurunkan jumlah warga miskin. Tetapi, program Raskin berikut RTS-PM
yang dirancang pemerintah justru membantah klaim BPS itu. Program
pengentasan kemiskinan bisa melenceng jauh jika hanya berpatokan pada
angka BPS.
Saya harus mengatakan sekali lagi bahwa tingginya
pertumbuhan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir sama sekali tidak
bermutu. Hingga saat ini, perekonomian Jawa masih menjadi kontributor
pertumbuhan terbesar, diikuti Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua.
Kehadiran Negara
Akhir-akhir
ini, rakyat sering mempertanyakan peran dan kehadiran negara di tengah
rangkaian konflik yang bermuara pada sengketa agraria. Karena negara tak
penah tampil menengahi sengketa, bentrok berdarah kadangkala sulit
diihindari. Itulah yang terjadi di Sape dan Mesuji belum lama ini. Dalam
beberapa kasus, bentrok berdarah tak terhindarkan karena rakyat merasa
alat-alat negara tidak independen dan cenderung berpihak pada pemodal
besar.
Kalau rakyat sampai mempertanyakan peran dan kehadiran negara
atau pemerintah di tengah rentetan konflik, itu sudah menjadi indikator
tentang rendahnya efektivitas pemerintahan saat ini. Kalau
efektivitasnya dipertanyakan, sudah barang tentu kinerjanya pun patut
diragukan.
Menurut saya, pemerintahan sekarang ini sudah
kehilangan militansi dalam agenda penegakan hukum. Saya mengacu pada
obral grasi dan remisi yang diberikan kepada terpidana narkoba, serta
sikap minimalis pemerintah melihat lambannya proses hukum sejumlah kasus
besar yang menjadi perhatian publik, utamanya kasus Bank Century dan
Mafia Pajak . Lebih spesifik lagi, pemerintahan SBY tidak militan lagi
dalam memerangi korupsi dan kejahatan narkoba di negara ini.
Karena
itu, tidak mengherankan jika Pemerintah pun tampak minimalis pula
menyikapi upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Saya
khawatir, sikap minimalis itu disebabkan oleh tersanderanya pemerintah
saat ini. Bukan rahasia lagi bahwa ada pejabat tinggi negara saat ini
yang diduga terlibat kasus Bank Century.
Bambang Soesatyo
Anggota Komisi III DPR RI
http://mobile.seruu.com/entertainment/dunia-selebriti-/artikel/hidup-itu-bukan-cuma-statistik-pak-sby-tapi-realitas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar