Rabu, 25 Maret 2015

Bulog Semakin Kedodoran

Selasa, 24 Maret 2015

Pembentukan Badan Pangan Nasional Mendesak


DIREKTUR Utama Perum Bulog, Lenny Sugihat yang ditunjuk dan dilantik secara sembunyi-sembunyi pada 31 Desember 2014, ternyata bagai Srikandi terserang penyakit Tetelo. Fungsi BULOG untuk menstabilkan harga pasar tersungkur, karena harga beras melejit hingga 22 persen berada pada kisaran 10-12 ribu rupiah per kilogram. Bingung apa yang harus dilakukan, Perum Bulog langsung menggelar Operasi Pasar (OP) kilat di seluruh Indonesia. Namun sayang, OP Bulog kali ini “impoten” turunkan harga.

Tidak hanya itu, Presiden Joko Widodo terpaksa terjun langsung saat OP on the spot. Tapi lagi-lagi anehnya, meskipun Presiden sudah blusukan ke pusat-pusat perdagangan dan gudang beras, harga beras tidak juga bergeming. Menteri perdagangan menuduh, ada mafia yang bermain dalam penyaluran  beras. Padahal OP dilakukan langsung ke komunitas menggunakan kendaraan militer TNI.

Seperti dikatakan presiden, kelangkaan beras adalah modus untuk kembali menjebol saluran impor setelah jauh-jauh hari Presiden Joko Widodo menyatakan impor beras akan di stop. Apapun yang telah dilakukan Bulog, sampai detik ini harga beras tetap bertengger di papan atas pada harga tertinggi sejak BULOG berdiri.

Lalu Mengapa Bisa Terjadi ???
Sejak dijadikan Perum (Perusahaan Umum), Bulog diharapkan lebih konsinten menjalankan tugas dan fungsinya berbasis pada mekanisme pasar. Karena itu, apa yang dilakukan Bulog terbatas hanya mempengaruhi hukum permintaan (demand) dan pasokan (supply) sebagai variabel dari harga beras. Jika harga beras melambung, pasokan beras akan ditambah dengan mengambil stok beras yang disimpan di gudang-gudang Perum Bulog. Pasokan ini di distribusikan kepada pedagang beras atau melalui OP langsung kepada konsumen.

Tentu tugas dan fungsi Bulog melakukan stabilisasi harga berlawanan dengan kepentingan para pedagang yang menginginkan keuntungan dan harga beras tetap tinggi. Pedagang di lain pihak juga ingin stok beras yang mereka miliki tetap mencukupi untuk memainkan spekulasi atau tarik-ulur dalam kontek hukum demand-supply ditingkat pasar. Mereka akan menahan pasokan di gudang mereka, dan akan melepas sedikit-sedikit agar harga beras tetap tinggi.

Bahkan, jika “kelangkaan beras buatan” ini kemudian diantisipasi oleh Bulog dengan menambah volume  beras di pasar, dan dilakukan operasi pasar, pedagang justru menyimpan pada gudang-gudang rahasia milik mereka lagi. Mereka juga bisa memborong beras yang disalurkan Bulog melalui OP dengan mengerahkan banyak orang. Gerakan mereka sudah  seperti mafia, karena dilakukan secara tertutup dan melibatkan jaringan pedagang yang tersebar diseluruh Indonesia.

Apa yang dilakukan mafia pedagang beras ini, tentu berjalan lancar berkat bantuan orang dalam Bulog, atau justru difasilitasi oleh oknum-oknum di Perum Bulog. Sudah banyak terjadi penyaluran beras fiktif oleh oknum-oknum di Perum Bulog yang nakal. Hal ini tentu menolong mafia pedagang beras yang menginginkan tetap terjadi kelangkaan, agar harga beras tetap tinggi dan tidak menggerus keuntungan mereka. Oknum-oknum di Perum Bulog ini adalah sisa-sisa pasukan mantan Dirut Bulog pada saat Bulog masih menggunakan paradigma lama yang menjadikan Bulog sebagai ATM atau sapi perah penguasa (partai politik).

Ulah Oknum-Oknum Nakal
Dengan pernyataan Presiden Jokowi, bahwa Indonesia akan menerapkan prinsip kedaulatan pangan dan melarang impor beras, maka nasib oknum-oknum Bulog yang koruptif tersungkur. Oknum-oknum yang juga bermain, baik dalam pembelian maupun dalam penyaluran akan semakin tersudut. Mereka ini diduga menciptakan kelangkaan beras berkomplot dengan para mafia beras agar kran impor beras kembali dibuka.

Permainan impor beras di Bulog sudah menjadi rahasia umum. Selisih yang tinggi antara harga beras di negara pengekspor dan Indonesia sebagai negara importir cukup besar. Terlebih selama ini, Perum Bulog mengimpor beras stok lama dari gudang negara eksportir. Karena itu, korupsi impor beras merupakan korupsi yang paling signifigkan, sehingga oknum-oknum Bulog yang bermain di sini harus mempertahankannya mati-matian. Beras inilah yang dijadikan sebagai sebagian stok Bulog.

Oknum-oknum di Bulog tidak merasa risih mendistribusikan beras di bawah standar mutu dan tidak layak konsumsi. Sebelum Lenny Sugihat dilantik menjadi Dirut Bulog, diperkirakan terdapat 1,7 juta ton beras stok lama. Untuk memperbaiki mutu agar layak konsumsi dibutuhkan dana sebesar 2,5 triliun rupiah. Itulah warisan Direksi masa lalu.

Beras yang dikecam oleh masyarakat dan LSM diberbagai daerah tersebut adalah beras yang disalurkan melalui OP dan raskin. Karena sangat buruknya kualitas, beberapa orang menggunakan untuk makanan ternak. Sedangkan kualitas beras yang tersimpan dibeberapa gudang Bulog seperti di Banjarnegara, Tegal, Grobogan, Kebumen dan lainnya Tidak Memenuhi Syarat (TMS) Inpres Perberasan.

Cara Baru Manipulasi di Bulog
Korupsi gaya lama di Perum Bulog cukup kompleks. Misalnya dengan memainkan harga pembelian dan mutu gabah atau beras yang dibeli. Beras dengan kadar air tinggi tetap dibeli menggunakan harga normal dengan memainkan alat pengukur kadar air. Beras dengan kadar air lebih tinggi tentu akan cepat membusuk selama penyimpanan. Tetapi beras dengan kualitas rendah dan tidak layak konsumsi ini tetap didistribusikan, karena di labeli sebagai beras raskin.

Oknum-oknum Bulog juga membuat laporan-laporan manipulatif tentang jumlah gabah yang dibeli dan digiling. Biasanya ada puluhan atau sampai ratusan truk yang berkeliling membawa gabah di administrasikan sebagai gabah yang akan “digiling”. Anehnya, rombongan yang sama membawa gabah yang sama ke penggilingan lain untuk dicatat sebagai gabah hasil pembelian Bulog. Inilah yang sering disebut sebagai pembelian fiktif.

Yang lebih mutakhir, oknum-oknum Bulog melakukan korupsi secara portofolio. Obyek korupsi jenis ini adalah manipulasi bantuan dari Bank Bukopin milik Bulog dengan pemberian suap 2%-3% selisih bunga jasa giro, korupsi fee (10%-20%) dalam pembelian barang-barang dan bangunan untuk Bulog, pencucian uang hasil korupsi melalui Bank Bukopin, serta korupsi dana (tunai dan kredit) yang didapat dari Bank Bukopin untuk berbagai kepentingan Bulog. Korupsi secara portofolio ini pada masa mantan Presiden SBY sulit diungkap, karena Bulog bisa jadi adalah ATM untuk Partai Demokrat.

Kecenderungan menteri BUMN Rini M Soemarno menunjuk orang-orang bank menduduki BUMN, Seperti PLN dan Bulog, dikhawatirkan akan melanjutkan modus korupsi protofolio Bulog semasa SBY. Hal itu ditengarai dengan pernyataannya, bahwa raskin akan diganti dengan pemberian uang tunai untuk masyarakat miskin. Pendistribusian raskin secara in natura saja telah menciptakan korupsi penyaluran beras secara gila-gilaan, apalagi jika raskin diganti dengan uang.

Sebagai Dirut Bulog, Lenni Sugihat, mantan Direktur management Resiko BRI bisa mamainkan hal sama seperti yang dilakukan oleh Sofyan Basir saat menjabat Dirut Bukopin. Lenni bisa memanipulasi fee dalam setiap pembelian untuk kebutuhan Bulog atau sebaliknya sebagai Dirut dapat mendongkrak kebutuhan-kebutuhan Bulog yang berdampak kepada peminjaman dana dari BRI. Apalagi melihat oknum pelaku korupsi di Bulog masih berada disekitar Lenni Sugihat.

Hal ini patut dicermati, karena mengindikasikan bahwa modus korupsi portofolio Bulog semasa Sutarto Ali Moeso teman dekat SBY menjadi Dirut Bulog akan terulang kembali. Langkanya beras dan kenaikan harga yang tinggi dicurigai adalah permainan atau kiprah para mafia beras untuk mendapat jastifikasi impor kembali. Ini dapat dipahami karena korupsi selisih harga pembelian yang didapat dari bantuan kredit beras (dari BRI) cukup tinggi, yakni sekitar 10-20 persen.

Perlu Badan Pangan Yang Powerfull
Melihat dinamika dan dialektika dalam pelakasanaan tugas dan fungsi Bulog selama ini, persoalan yang timbul jelas tidak mungkin diselesaikan melalui pemikiran teoritik-akademis. Sekalipun diserahkan seribu dokter dan profesor untuk memperbaiki kinerja Bulog ini, tentu akan sia-sia. Apa yang terjadi di Bulog kebanyakan merupakan penyimpangan-penyimpangan pada tataran menajerial dan teknik, tetapi bukan kesalahan-kesalahan pada kebijakan dan strategi.

Selain itu kepemimpinan dan mentalitas para aktor sangat dominan dalam menentukan keberhasilan dan kegagagalan Bulog dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Kemampuan Bulog menjaga kredibilitas kelembagaannya sangat penting mengingat banyak kepentingan yang bermain dalam urusan pangan. Bulog memerlukan minimum posisi tawar politik, ekonomi, dan sosial agar Bulog mampu menjalankan tugas dan fungsinya serta berkoordinasi dengan sektor-sektor lain terkait pangan.

Bulog harus menyadari bahwa perberasan memiliki kompleksitas persoalan yang melibatkan berbagai sektor terkait beras/pangan. Bulog bukan sekedar agen yang melakukan stabilisasi harga dengan mengendalikan kebutuhan dan pasokan. Beras harus dijaga kuantitas, kulaitas, dan kontinuitasnya, sehingga mampu memenuhi hajat orang banyak. Dalam hal kontinuitasnya, Bulog harus mampu menjaga stok yang cukup untuk jangka waktu tertentu dan mampu memobilisasi pendistribusian beras secara cepat.

Untuk itulah bidang pangan harus memiliki dua lembaga yang memiliki tugas dan fungsi berbeda, apalagi jika Indonesia berorientasi pada kedaulatan pangan. Kebijakan dalam produksi pangan atau kebijakan bidang pertanian harus mampu memback-up tugas dan fungsi Bulog menjaga kuantitas, kualitas dan kontinuitas dalam penyelenggaraan pangan, khususnya beras. Faktor-faktor produkasi pertanian atau agrikultur seperti lahan, sumber daya petani, tekhnologi, dan sarana produksi pertanian harus terselenggara dengan baik. Hal ini akan melibatkan tugas dan fungsi banyak kementerian dan lembaga pemerintah.

Oleh karena itu, harus dipisahkan antara badan yang berurusan dengan kebijakan-kebijakan yang mendukung prinsip kedaulatan pangan dan badan yang bertanggungjawab menjalankan kebijakan alias operator ditingkat lapangan. Pertama, adalah Badan Pangan Nasional (BPN) yang bertugas merumuskan kebijakan multi dan interdisipliner berbagai sektor terkait pangan secara menyeluruh dan terpadu. Kedua, adalah Badan Urusan Logistik (Bulog) yang bertugas dalam mejalankan kebijakan atau bersifat operasional.

Dengan adanya BPN, maka Bulog tidak bekerja sebagai agen tunggal dalam menjalankan tugas dan fungsinya untuk menjaga stok dan melakukan stabilisasi harga. Pada saat krisis stok beras dan menerapkan kebijakan tanpa impor, Bulog akan di back-up oleh kebijakan pertanian yang taft. Bulog bisa didorong menjalankan kebijakan onfarm agar produksi besar mampu berfungsi sebagai substitusi impor dan menjamin stok beras yang aman. Dengan demikian Bulog punya posisi tawar yang substansial dalam mengantisipasi kiat-kiat mafia beras.***

Oleh: Sukmadji Indro Tjahyono
Penulis Adalah: Pengamat Pangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar