24 Mei 2013
SESUNGGUHNYA kewajiban pertama dan utama pemerintahan demokratis ialah
melayani rakyat. Ironisnya, rapor pemerintah Indonesia yang pemimpinnya
dipilih secara langsung oleh rakyat justru jeblok dalam melayani
masyarakat, apalagi yang miskin.
Terlampau banyak contoh rapor jeblok pemerintah dalam melayani kebutuhan
rakyat sehari-hari. Misalnya, soal karut-marut distribusi elpiji
subsidi 3 kg, ketersediaan bahan bakar minyak yang kian langka, dan
kelangkaan pupuk untuk petani.
Rakyat sepertinya dibiarkan sendirian menyelesaikan persoalan yang
dihadapi. Seakan pemerintah, dari pusat hingga daerah, menerapkan
politik pembiaran. Pemerintah tidak hadir pada saat rakyat menghadapi
masalah.
Tidak jarang pula institusi dalam pemerintah menjadi bagian dari masalah
bangsa, seperti Badan Urusan Logistik Divisi Regional Lampung. Bulog
Divre Lampung bagian dari masalah terkait beras untuk rakyat miskin
(raskin).
Polresta Bandar Lampung pada 15 Mei memergoki pengopolsan beras di
gudang Bulog, Jalan Soekarno-Hatta, Campangraya, Bandar Lampung.
Berdalih reprocessing, beras dari Jawa Timur yang pernah ditolak
masyarakat Lampung Utara itu dibawa ke Bandar Lampung untuk diaduk-aduk
dengan beras impor dari India yang kualitasnya juga di bawah standar
mutu.
Bulog Divre Lampung tidak pernah jera bermain dan mempermainkan raskin.
Pada Juni 2010 terungkap Bulog Divre Lampung mendatangkan 16 ribu ton
beras busuk dari Jawa Tengah. Kepala Bulog Divre Lampung Ibnushiyam
Mawardi ditetapkan sebagai tersangka.
Patut diduga Bulog Divre Lampung bertindak sebagai pemburu rente.
Kebijakan mendatangkan raskin busuk tentu saja menguntungkan secara
bisnis. Keuntungan yang sangat mungkin tidak masuk ke kas negara, tetapi
mampir ke saku para pejabat Bulog Divre Lampung yang menangani masalah
beras.
Dugaan itu bukan tanpa alasan. Sebab, pengadaan beras selama ini tidak
menggunakan uji laboratorium. Bulog Divre Lampung hanya mengandalkan
visual atau fisik untuk menentukan standar mutu, termasuk beras hasil
reprocessing.
Aturan pengadaan beras dibuat sangat ketat. Dalam Inpres Nomor 7 Tahun
2009, persyaratan kualitas beras yang diterima Bulog adalah berkadar air
maksimal 14%, butir patah maksimum 20%, butir menir maksimum 2%, dan
derajat sosoh minimal 95%.
Begitu ketatnya aturan itu, pelaksana penguji inpres beras pun bukan
Bulog, melainkan lembaga penyurvei seperti PT Sucofindo. Bahkan, Bulog
juga membentuk tim monitoring pengadaan beras yang melibatkan unsur
Bulog, akademisi, kelompok tani, dan pers.
Harus jujur dikatakan bahwa aturan yang dibuat itu untuk dilanggar.
Inilah negeri inflasi aturan tapi rajin pula diterabas. Pembentukan tim
monitoring di Lampung pun hanya seusia jagung, menguap tak berbekas.
Lebih miris lagi, daerah ini sesungguhnya surplus beras lokal, tapi
mengapa Bulog Divre Lampung gemar mendatangkan beras dari daerah lain?
Tugas kepolisian mengusut tuntas dugaan berburu rente di balik raskin
busuk.
http://lampost.co/berita/berburu-rente-raskin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar