Senin, 15 April 2013

Swasta Kendalikan Tata Niaga Pangan

15 April 2013

Hingga saat ini, belum tampak tanda-tanda turunnya ketergantungan atas pangan impor.

JAKARTA - Kestabilan harga pangan di negeri ini sulit dicapai. Jika sebelumnya kenaikan harga pangan hanya terjadi menjelang hari-hari besar seperti Lebaran, Natal dan tahun baru, sekarang kenaikan bisa terjadi sewaktu-waktu dan mendadak.
Mengacu fakta di lapangan, Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih mensinyalir terjadi penguasaan distribusi pangan oleh pihak tertentu (oligopoli). Selain itu, Henry menilai pemerintah salah menerbitkan kebijakan karena mengekor arahan IMF. Akibatnya, subsidi di sektor pertanian ditekan seminim mungkin dan ekspor bahan mentah ke negara-negara maju ditingkatkan.
Disadari atau tidak, sektor pertanian dan pasar pangan Indonesia mengalami liberalisasi besar-besaran sejak menjadi pasien IMF 1998 silam di mana Indonesia harus meliberalisasikan berbagai sektor, termasuk di antaranya pertanian-pangan.
Liberalisasi itu tidak hanya menyangkut pasar (impor), tapi termasuk kelembagaan dan pendanaan. Tengok saja pada 2003 sekitar 83 persen jenis produk yang masuk ke Indonesia dikenai tarif 0-10 persen, hanya 1 persen produk menerapkan tarif di atas 30 persen.
Ditambah lagi akibat liberalisasi lewat berbagai perjanjian perdagangan bebas (free trade agreement/FTA), baik bilateral seperti FTA Indonesia-Jepang dan Indonesia-China, maupun regional seperti ASEAN-China FTA, ASEAN-Australia-Selandia Baru FTA dan ASEAN-India FTA, bea masuk beras dan gula hanya 30 persen dan susu 5 persen. Tak heran bila tarif bea masuk di Asia, rata-rata tarif Indonesia paling rendah hanya 4,3 persen jauh dibandingkan India rata-rata 35,2 persen, Vietnam 24,9 persen, Jepang 34,0 persen, Thailand 24,2 persen, dan China 17,4 persen.
Orientasi pasar dan absennya pemerintah sebagai stabilisator harga pangan membuat swasta leluasa mengambil alih kendali tata niaga, padahal swasta selalu berorientasi memaksimalkan untung. Jalur distribusi yang konsentris dan oligopolis itu pun terjadi pada dua sumber pasokan pangan yakni produksi domestik dan impor.
Kondisi ini terjadi hampir pada semua komoditas yang volume dan nilai impornya sangat tinggi seperti gandum, gula, kedelai, beras, jagung, daging, dan tak terkecuali bawang (putih maupun merah). Bisa dibilang, bisnis impor ini sudah menjadi political rent-seeking yang gurih di mata pelakunya.
Seiring merosotnya kinerja produksi pangan domestik, produk pangan impor kian membanjiri domestik. Pada 2012 saja, nilai impor pangan mencapai Rp 63,9 triliun, hortikultura mencapai Rp 12,9 triliun dan peternakan mencapai Rp 15,4 triliun. Malahan, saat krisis pangan meledak pada 2008 silam, defisit subsektor pangan hanya mencapai US$ 3,178 miliar, tahun 2011 defisit naik dua kali lipat menjadi US$ 6,439 miliar.
Impor paling besar disumbang gandum, kedelai, beras, jagung, gula, susu, daging, dan bakalan sapi serta buah-buahan dan bawang putih. Saat ini, Indonesia sudah bergantung pada impor 100 persen untuk gandum, 78 persen untuk kedelai, susu 54 persen, gula 54 persen, daging sapi 18 persen, dan 95 persen bawang putih. Hingga saat ini, belum tampak tanda-tanda atas ketergantungan pangan impor ini menurun.
Kembalikan Kedaulatan
Untuk mengembalikan kedaulatan pangan, Henry Saragih menilai pemerintah dapat memulainya dengan menerapkan UU No 18 Tahun 2012 tentang Pangan secara konsisten. Dalam peraturan itu Henry melihat ada ketentuan yang mengatur kelembagaan pangan dan pembatasan impor. Selaras dengan itu, pemerintah dituntut serius menjalankan pembaruan agraria sehingga produksi pertanian dapat ditingkatkan.
“Petani Indonesia tidak punya lahan yang layak, sementara lahan yang ada dibagi-bagikan kepada perkebunan besar,” katanya kepada SH baru-baru ini.
Beberapa kebijakan perdagangan dalam era globalisasi ternyata mengesampingkan kepentingan petani nasional. Padahal, sebagai salah satu sektor pembangun perekonomian nasional, hasil bercocok tanam petani juga menentukan keberhasilan program pemerintah dalam swasembada pangan.
Banyak kalangan mendesak pemerintah mengutamakan perlindungan petani kecil dalam melaksanakan ketentuan UU Pangan. Salah satu amanat UU Pangan adalah membentuk lembaga pangan baru yang bertanggung jawab langsung kepada presiden. Nantinya lembaga pangan baru itu akan dibentuk lewat peraturan presiden (perpres).
Hal itu mengingat ada beberapa lembaga pangan serupa seperti Bulog, Badan Ketahanan Pangan Pertanian (BKP), dan Dewan Ketahanan Pangan (DKP). Presiden harus mengevaluasi kinerja berbagai lembaga itu sehingga apa yang selama ini menjadi kelemahan dari bermacam lembaga itu dapat dibenahi untuk diterapkan di lembaga pangan baru. Dia berharap lembaga tersebut dapat mengintegrasikan lembaga pangan yang ada dalam mengurusi pangan, mulai dari pembentukan kebijakan sampai pengawasan.
Walau mengamanatkan untuk dibentuk lembaga pangan baru, UU Pangan tak menjelaskan siapa pihak yang bertanggung jawab dalam rangka pemenuhan hak pangan untuk rakyat. Akibatnya, ketika muncul kasus kelaparan, pihak yang disasar untuk dimintai tanggung jawabnya seolah tak jelas.
Mestinya, UU Pangan menunjuk siapa yang bertanggung jawab atas hal itu, apakah presiden atau menteri di bidang tertentu. Dengan dibentuknya lembaga pangan yang baru, harapannya lembaga tersebut yang bertanggung jawab jika terjadi kelaparan atau masalah pangan lainnya.
Jika tak ada pihak yang bertanggung jawab atas kasus pangan itu, masalah yang kerap timbul saat ini ketika terjadi masalah yaitu lempar tanggung jawab antarkementerian akan terus terjadi. Ujungnya, petani yang bertindak sebagai produsen pangan kebingungan ketika mau menggugat pihak berwenang atas kebijakan pangan yang dinilai merugikan petani. Untuk menjawab persoalan itu, koalisi berharap lembaga pangan baru dapat melakukannya.
“Kalau petani minta pertanggungjawaban ke kementerian sering kali terjadi lempar tanggung jawab,” kata dia.
Anggota Koalisi dari Serikat Petani Indonesia (SPI), Agus Ruli Ardiansyah, mengatakan lembaga pangan baru itu secara hukum lebih kuat posisinya ketimbang lembaga pangan yang ada saat ini. Pasalnya, lembaga pangan baru itu diamanatkan langsung oleh UU Pangan. Oleh karenanya, ia berharap lembaga itu dapat membenahi karut-marut pengelolaan pangan, khususnya dalam melindungi produsen pangan yaitu petani kecil.
Jika perlindungan terhadap petani itu tak dilakukan, Ruli khawatir kestabilan pangan di Indonesia akan terganggu. Apalagi, pemerintah saat ini cenderung mengutamakan untuk impor produk pangan ketimbang memproduksi sendiri. Walau ada kuota yang ditetapkan pemerintah yang ditujukan untuk membatasi sebuah produk impor, Ruli memandang hal itu tak mampu membendung produk impor.
Pasalnya, Ruli melihat perusahaan swasta dapat dengan mudah mengimpor komoditas pangan. Jika impor yang dilakukan pihak swasta itu tak diawasi maka spekulasi harga pangan berpotensi besar terjadi, sehingga spekulasi itu merugikan petani.
“Dalam mewujudkan kedaulatan pangan, harus mengutamakan produk pangan yang diproduksi petani langsung, jangan industri besar,” ujar Ruli.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang sejalan dengan perlindungan terhadap petani, Ruli mengatakan pemerintah harus komitmen menjalankan pembaruan agraria. Dengan menyediakan atau memberikan lahan garapan, petani dapat memproduksi pangan secara berkelanjutan. Menurutnya, hal mendasar yang wajib dipenuhi untuk merealisasikan kedaulatan pangan adalah tanah, infrastruktur pertanian yang mumpuni, harga benih, dan lainnya.
Lemahnya fungsi lembaga pangan yang ada saat ini merugikan petani. Misalnya, bawang petani ketika panen dihargai rendah yaitu Rp 7.000/kilogram. Pada saat belum panen, harga bawang melambung sampai Rp 70.000/kilogram. Ujungnya, kesejahteraan petani tak terjamin dan masyarakat dirugikan dengan mahalnya harga bawang. Hal serupa terjadi pada komoditas pangan lain. Spekulasi itu menurutnya dipengaruhi pula oleh kebijakan impor.
Mengacu hal itu, ia menilai pemerintah cenderung mengutamakan kepentingan impor ketimbang melindungi petani. Padahal, kepentingan petani jumlahnya menyangkut lebih banyak orang ketimbang pengimpor. Walau dalam rangka melindungi petani dan rakyat pemerintah melakukan kebijakan penetapan harga pasar, praktiknya tak efektif karena masuknya produk pangan impor. Untuk membenahi masalah tersebut, semuanya berharap lembaga pangan baru dapat menyelesaikannya.
“Harus bisa mewujudkan kedaulatan pangan dari tingkat produksi sampai pasar,” ucapnya.
Lemahnya Lembaga
Anggota koalisi dari Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP), Said Abdullah, mengatakan ada beberapa hal yang menyebabkan lemahnya lembaga pangan yang ada untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Seperti BKP (Badan Ketahanan Pangan), lembaga itu dirasa punya kewenangan yang minim, akibatnya kebijakan yang diterbitkan tidak dapat menyentuh persoalan pangan.
Untuk BKP, Said menilai kebijakan yang diterbitkan oleh lembaga itu tak menjamah sampai tingkat kabupaten/kota; sedangkan Bulog dirasa hanya berkutat mengurusi beras. Padahal, pangan tak hanya menyangkut soal beras.
Berdasarkan hal itu Said menilai asas yang ada di bermacam lembaga tersebut hanya fokus di ketahanan pangan yang ujungnya meningkatkan impor pangan. Untuk itu Said menekankan agar lembaga pangan baru yang akan dibentuk nanti berlandaskan perwujudan kedaulatan pangan. Tentunya dalam merealisasikan kedaulatan pangan, Said menegaskan harus melindungi petani.
“Dalam pelaksanaannya, UU Pangan harus mengutamakan perlindungan petani,” ujarnya.
Nilai investasi asing di sektor pangan semakin meningkat. Dia mencatat periode 2010-2011, jumlah investasi mencapai US$ 751 juta dan akhir 2011 meningkat sampai US$ 1,6 miliar. Melihat pesatnya kenaikan itu, tentu akan berdampak buruk pada petani lokal, terutama menyangkut harga jual produk pangan. Pemerintah kerap menuding produksi pangan lokal rendah, sehingga impor dibutuhkan, padahal hal itu terjadi karena pemerintah tak serius.
Misalnya, subsidi untuk sektor pertanian seperti benih dan pengucuran kredit untuk modal tak berjalan baik. Padahal, petani butuh modal yang cukup untuk berproduksi yang kenyataannya petani susah akses modal (kredit-red) karena bank mensyaratkan harus ada jaminan yang jumlahnya tinggi serta cicilan yang per bulan.
Dengan besarnya investasi asing yang masuk, Rahmi memperkirakan besar kemungkinan pemerintah mengutamakan investor. Ujungnya, pengambilalihan lahan akan marak terjadi. Oleh karenanya, Rahmi berharap lembaga pangan baru itu harus memperhatikan kedaulatan produksi dan distribusi pangan.
Liberalisasi
Liberalisasi perdagangan akan mempermudah masuknya produk impor ke Indonesia melalui beberapa perjanjian dan kerja sama antarnegara. Sebut saja China-ASEAN Free Trade Area (CAFTA) dan ASEAN Economic Community yang akan beroperasi mulai 2015.
Implementasi kedua perjanjian ini diyakini bisa mematikan produksi dalam negeri. Pasar domestik dibanjiri produk asing yang harganya jauh lebih murah ketimbang produk pangan yang dihasilkan petani Tanah Air. Bahkan, dari perjanjian tersebut, semua produk dari negara yang tergabung di dalam CAFTA dan AEC dibebaskan bea masuk dan tarif.
Impor Lebih Murah
Menurut Ketua Harian Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Sutrisno Iwantono, kebijakan tersebut tidak mendukung program swasembada pemerintah. Pasalnya, penawaran harga bahan pangan impor jauh lebih murah ketimbang produk dalam negeri. Akibatnya, petani tidak menikmati untung dan enggan bercocok tanam karena tak mendapatkan perlindungan dari pemerintah di tengah maraknya liberalisasi perdagangan.
Perlu disayangkan memang jika sikap pemerintah yang terkesan tunduk terhadap China. Ia menilai, perjanjian tersebut dibuat berdasarkan kepentingan China, sementara merugikan petani dalam negeri. Lagi pula, World Trade Organization (WTO) masih memberikan peluang kepada setiap negara anggota untuk mengenakan bea masuk maksimal 40 persen untuk sektor pangan.
Selain itu, guna mendukung program swasembada pangan yang dicanangkan pemerintah, bea masuk dan tarif impor bahan pangan sebaiknya dikembalikan lagi ke petani. Caranya, memberikan pupuk yang baik, bibit yang berkualitas dan menerbitkan kebijakan yang melindungi petani dalam negeri.
Kebijakan bea masuk nol persen ini dimafaatkan para importir untuk memonopoli pasar. Para importir bisa mengatur pasar karena mendapatkan impor bahan pangan dengan harga yang lebih rendah dan menyimpannya pada gudang-gudang yang tidak pernah didata pemerintah.
Guna menghindari munculnya kartel pangan di lapangan, selain menerapkan pengenaan bea masuk terhadap impor bahan pangan, pemerintah harus memperbanyak jumlah importir. Tujuannya untuk membuat pasar menjadi bersaing dan tidak hanya dikuasai satu atau dua orang.
Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Ketua Bidang Pengkajian, Munrokim Misanam, menuturkan seharusnya produk hortikultura dikenakan bea masuk dan tarif. Pengenaan bea masuk dan tarif ini penting mengingat hortikultura masuk dalam kategori highly sensitive. Lagi-lagi, liberalisasi perdagangan menjadi penghalang dalam menyelamatkan produk dalam negeri.
“Ada penghalangnya antara lain CAFTA, AEC, UU KPPU dan keterlibatan aparat yang kurang di lapangan dalam menindak pelaku kartel,” katanya.
Ekonom Senior Insitute for Development of Economic Finance (INDEF), Bustanul Arifin, menilai aturan CAFTA tak mutlak harus dilakukan pemerintah. Apalagi, jika produk impor tersebut bukanlah produk asli negara yang mengimpor. Aturan CAFTA sebenarnya tidak mutlak karena masih ada aturan rule of original country.
Kalau produk itu bukan asli dari negara pengimpor, boleh dikenakan bea masuk. Kekhawatiran pemerintah selama ini, menurutnya, jika pemerintah menerapkan bea masuk kepada produk hortikultura seperti bawang, China akan mengimpor ke Singapura untuk kemudian diteruskan ke Indonesia.
Padahal, logikanya, menurut Bustanul, produk impor tersebut tetap akan dikenai bea masuk karena bukanlah produk asli Singapura. Hanya saja, pemerintah harus bekerja keras untuk memperbaiki sistem pangan dalam negeri sehingga tak tergantung pada impor. 

Sumber : Sinar Harapan
 Caca Casriwan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar