Senin, 04 Maret 2013

Mengejar Konsumsi Daging Impor

2 Maret 2013

RASANYA, sejak saya masih menjadi mahasiswa Fakultas Peternakan Undip sekitar 30  tahun lalu, harga daging sapi belum pernah menimbulkan kehebohan seperti sekarang ini. Bayangkan, tiba-tiba kita dikejutkan oleh penangkapan presiden partai politik gara-gara sangkaan suap terkait kuota impor daging sapi.

Kita pun dikejutkan oleh kenyataan bahwa harga daging sapi di Indonesia termahal sejagad,  meskipun menurut Siswono Yudo Husodo, petani lokal tak memperoleh keuntungan besar.

Dalam kacamatanya, yang paling diuntungkan justru importir, karena kesenjangan harga antara pasar internasional dan dalam negeri. Itu sebabnya sejumlah negara sewot dengan pembatasan kuota impor. Sampai-sampai Amerika Serikat (AS) mengadukan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Kehebohan ini ibarat anomali, terutama jika kita dihadapkan pada fakta konsumsi daging di negeri ini yang termasuk rendah dibanding di negara lain. Rata-rata orang Indonesia mengonsumsi sekitar 2 kg daging sapi/ tahun (5,5 gr/ hari). Bandingkan dengan warga Iran dan Uruguay, peringkat ke-20 dan ke-1 dunia, yang mengonsumsi 10 kg dan 62 kg daging sapi/ tahun.

Haruskah kita masygul karena rendahnya tingkat konsumsi daging sapi? Kerendahan angka konsumsi, termasuk daging sapi, memang bisa menciptakan rasa rendah diri. Mendag Gita Wiryawan menyatakan untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia pemerintah bertekad meningkatkan konsumsi daging sapi per kapita lipat sepuluh menjadi 20 kg/ tahun. Angka itu bisa dicapai dalam 10-15 tahun.

Rendahnya angka konsumsi itu menjadi daya pikat bagi pelaku bisnis daging sapi, baik nasional maupun internasional, untuk mengisi pasar kita. Ontran-ontran penyuapan miliaran rupiah kepada ''penguasa'' kuota membuktikan itu.

Manusia purba mengandalkan tumbuhan sebagai pangan utama, namun sejak memiliki kemampuan berburu, mereka mulai mengutamakan sisi pemakan dagingnya. Namun pendulum konsumsi manusia kembali mengarah ke pangan asal tumbuhan ketika manusia menemukan kemampuan bertani. Ketika manusia mampu melipatgandakan produksi pertanian maka biji-bijian dan kacang-kacangan yang mereka hasilkan melampaui kebutuhan.
Akibatnya, manusia bisa memberi makan ternak piaraannya. Kini, dalam bentuk yang paling ekstrem, budi daya ternak telah menjelma menjadi apa yang oleh Paul Roberts,  penulis buku The End of Food, disebut sebagai concentrated animal feeding operations (CAFOs).

Hal itu mengakibatkan bahan pangan hewani tersedia berlimpah melampaui kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah produksi. Inilah yang terjadi di negara-negara penghasil utama daging sapi, seperti Amerika Serikat dan Australia. Saat ini dua negara itu sangat memerlukan pasar ekspor, untuk ''membuang'' kelebihan produksi daging.
Pengalaman strategi nutrisi di AS  membuktikan bahwa hubungan manusia dan daging sapi pada saat tertentu dapat berubah secara radikal (baca: Michael Pollan dalam Omnivore's Dilemma). Pola konsumsi yang melawan lemak (lipophobia) pernah direkomendasikan oleh Komite Senat pada 1977semasa Presiden Jimmy Carter. Intinya mengurangi konsumsi daging merah.

Namun tahun 2012, konsep nutrisi tahun 1977 itu dijungkirbalikkan. Pola konsumsi yang direkomendasikan mendadak berubah, melawan karbohidrat (carbophobia). Konsumsi daging merah kembali disarankan, dan sebaliknya karbohidrat --dalam hal ini roti-- harus dikurangi.

Alternatif Protein

Artinya, sekadar mengacu angka konsumsi daging negara lain, terutama pelaku CAFOs seperti AS, tak selalu relevan mengingat bisa berubah sewaktu-waktu. Selain itu, mengandalkan kekurangan pasokan daging pada negara-negara pelaku CAFOs atau menjiplak CAFOs di negeri kita, bukanlah tanpa risiko.

Kita layak merenungkan pelajaran dari Korsel dan Taiwan. Meskipun mendapat tekanan sangat keras dari AS, pemerintah dua negara itu lebih mengutamakan keamanan pangan warganya.  Korsel, sebagai pasar ekspor ketiga terbesar, menolak daging sapi AS setelah kemunculan kasus penyakit sapi gila di AS. Setelah melalui pergulatan alot, kini Korsel hanya mau menerima daging AS dari sapi yang berumur kurang dari 30 bulan.

Pasal yang diangkat Taiwan lain lagi. Negeri Formosa, pasar ekspor ke-6 terbesar,  menolak daging AS akibat penggunaan zat perangsang pertumbuhan ractopamine dalam produksi ternak potong. Penggunaan zat ini menghasilkan daging lebih empuk. Dalam kasus ini, Taiwan sama sekali tidak mau menenggang dan siap beradu argumen dengan AS.

Dalam semangat yang sama, kita layak mengapresiasi pernyataan Atase Perdagangan kita di Washington DC saat menanggapi protes peternak sapi AS pascapenolakan Indonesia terhadap daging sapi dari Negeri Paman Sam, terkait kasus sapi gila. Atase perdagangan kita, Ni Made Ayu Marthini menegaskan,'' The government of Indonesia's aim is not to restrict imports, but to ensure that all imported goods are safe for consumption by consumers and safe for the environment.'' (timesleader.com, 05/02/13).

Jadi, haruskah kita mengejar konsumsi steak 400 gr, atau tetap setia pada irisan-irisan  kecil daging dalam semangkuk soto sapi? Membiarkan konsumsi daging sapi tumbuh alami sesuai kemampuan pasokan dalam negeri atau mengundang daging sarat rekayasa kimia dari luar? Kekurangan pasokan daging sapi bukan akhir kehidupan bagi kita yang tinggal di negeri kepulauan. Masih banyak alternatif protein hewani yang bisa kita dapat dari sungai, danau, pantai, dan laut. (10)

— Prof Dr Budi Widianarko, alumnus Jurusan Peternakan Undip, dosen Ekologi Pangan Unika Soegijapranata Semarang

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/03/02/217029/10/Mengejar-Konsumsi-Daging-Impor

Tidak ada komentar:

Posting Komentar