Senin, 11 Maret 2013

11 Tersangka Kasus Bukopin Belum Diseret Ke Pengadilan

11 Maret 2013

Padahal Kasusnya Ditangani Kejagung Sejak 2008

RMOL. Kasus dugaan korupsi kredit Bank Bukopin untuk pengadaan mesin pengering gabah tak kunjung bergulir ke pengadilan. Padahal, kasus ini telah ditangani Kejaksaan Agung sejak 2008.

Kendati begitu, Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung Setia Untung Arimuladi menyatakan, kejaksaan tidak main-main dalam mengusut penyelewengan kredit ini. Selain menyita 45 mesin pengering gabah dari Divisi Regional Badan Urusan Logistik (Divre Bulog) Jawa Timur, Jawa Tengah, Bali, Nusat Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan, Kejagung juga masih memeriksa para tersangka dan saksi-saksi.

“Sepanjang pekan lalu, ada pemeriksaan saksi-saksi dan tersangka,” katanya pada Jumat (8/3) lalu. Tapi, Untung tidak mau menyebutkan identitas para saksi yang diperiksa itu. Dia hanya menyatakan, pemeriksaan ditujukan guna mempercepat penuntasan perkara.

Dia menambahkan, saksi-saksi dimintai keterangan untuk melengkapi berkas perkara tersangka. Demikian pula pemeriksaan tersangka, ditujukan guna mengkonfrontir keterangannya dengan keterangan tersangka lain.

Untung juga belum mau menyampaikan hasil pemeriksaan. Dia menyatakan, saksi-saksi baik staf sampai petinggi Bukopin berinisial GG, telah dimintai keterangan. Pemeriksaannya berkaitan dengan kebijakan pencairan fasilitas kredit Bukopin.

Saksi dari luar Bukopin yang dimintai keterangan intensif ialah Direktur Operasi Bulog Bambang Budi Prasetyo serta Kepala Divisi Regional (Kadivre) Bulog.

Kesaksiannya juga diperlukan untuk melengkapi berkas perkara tersangka. Pemeriksaan saksi juga menyentuh pihak konsultan pengadaan mesin pengering gabah.

Sedangkan  tersangka yang terus dihimpun keterangannya adalah, staf Bukopin Harry Harmono, Account Officer Bukopin Zulfikar Kesuma Prakasa, Manajer Divisi Kredit Agribisnis Bukopin Elly Woeryandani, Manager Pengembangan Bukopin Suherli. Tersangka lainnya adalah bekas anggota Komite Kredit Bank Bukopin, Linson Harlianto, Eddy Cahyono, Dhani Tresno, Aris Wahyudi, Anto Kusmin dan Sulistiyohadi, serta kuasa Direktur PT Agung Pratama Lestari (APL) Gunawan NG. Jadi, sudah ada 11 tersangka kasus ini.

Menurut Untung, penyidik mesti menuntaskan kasus ini. Soalnya, kejaksaan tidak mau dinilai memiliki beban tanggungan perkara. Soalnya, kasus ini sudah ditangani sejak 2008. “Sekarang penyidik tinggal melanjutkan pengusutan perkara,” ujar bekas Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan ini.

Untung beralasan, lambannya pengusutan perkara dipicu panjangnya waktu audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Hasil audit ini merupakan hal vital. Setidaknya, memberi keyakinan bahwa benar ada penyelewengan kredit dalam kasus ini. “Audit BPKP jadi pedoman dalam menentukan langkah hukum,” katanya.

Mengenai tak kunjung ditahannya para tersangka, Untung mengatakan, penahanan merupakan kewenangan penyidik. Bila penyidik yakin tersangka tidak akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi tindak pidana yang dituduhkan, tidak perlu ada penahanan. “Apalagi selama ini, para tersangka kooperatif. Tidak menyulitkan penyidik,” ucapnya.

Sebaliknya, bila penyidik merasa perlu menahan para tersangka, pasti akan dilakukan. Merujuk penanganan kasus tersebut, tidak tertutup kemungkinan para tersangka ditahan dalam waktu dekat. Dia menepis kabar, belum adanya penahan dilatari adanya tersangka yang buron ke luar negeri.

Menurutnya, begitu ada penetapan status tersangka, secara otomatis status cegah ke luar negeri berlaku. Intensitas pemantauan dengan sendirinya mempersempit ruang gerak tersangka untuk kabur ke luar negeri.

Kasus ini terjadi saat Bank Bukopin menyalurkan kredit ke PT APL sebesar Rp 69,8 miliar. Pencairan kredit pada 2004 itu dilaksanakan tiga tahap.

Ketika mengajukan kredit, PT APL berencana menggunakan dana kredit untuk pengadaan 45 unit alat pengering gabah (drying center) di Divre Bulog Jateng, Jatim, Bali, NTB dan Sulsel.

Berdasarkan perencanaan proyek, APL menggunakan mesin produk Taiwan, merk Global Gea. Namun mesin yang dibeli, menurut Kejagung, bermerk Sincui. Bersamaan dengan itu, pembayaran kredit macet. Total kredit macet beserta bunganya, ditaksir Kejagung, mencapai Rp 76,24 miliar.

REKA ULANG
Tudingan Kerugian Negara Jadi Perdebatan

Menurut Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung Adi Toegarisman, penyidik sudah turun ke 35 kabupaten di lima provinsi untuk melakukan penyitaan sejumlah dokumen dan barang-barang terkait kasus kredit Bank Bukopin ini.

Lima provinsi itu yakni Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan.

Penyidik, lanjut Adi, juga sudah pernah memeriksa bekas Direktur Utama Bank Bukopin Sofyan Basyir sebagai saksi. “Dia pernah diperiksa sebagai saksi,” kata bekas Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung ini.

Sofyan menyerahkan sepenuhnya proses hukum kasus ini kepada aparat penegak hukum. “Kita serahkan ke proses hukum saja,” katanya.

Pada Senin, 3 September 2012, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto mengatakan, penyidikan kasus Bukopin berjalan lambat karena kejaksaan menerima hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengenai kepemilikan saham pemerintah di bawah 50 persen di Bukopin, yang dianggap tidak mengandung kerugian negara.

Dalam perkembangannya, Kejaksaan Agung seperti mendapatkan angin segar dari kasus pembobolan dana PT Elnusa sekitar Rp 111 miliar yang disidangkan di Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat. Pada kasus Elnusa, kata Andhi, meskipun saham pemerintah di bawah 50 persen, namun dapat disidangkan.

“Sekarang, sudah ada semacam yurisprudensi, ada perbandingannya di Pengadilan Tipikor Bandung. Dalam kasus Elnusa itu, saham pemerintah kecil, tapi sudah dianggap sebagai kerugian keuangan negara,” katanya.

Pada Selasa 4 September 2012, Sofyan Basyir menyampaikan, pihaknya sudah memberikan klarifikasi kepada aparat penegak hukum. Bahkan, menurutnya, dalam perkara ini tidak ada kerugian keuangan negara. “Sebab, waktu itu Bukopin bukan BUMN. Kepemilikan saham negara hanya 18 persen, kepemilikan saham pemerintah 22 persen. Sisanya swasta. Artinya, tidak ada negara dirugikan,” katanya saat dihubungi.

Karena saat itu Bank Bukopin bukan BUMN, menurut Sofyan, maka aneh bila disebut ada kerugian negara dalam perkara ini. “Kecuali anggarannya dari APBN, nyatanya bukan,” tandas pria yang kini menjabat Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) ini.

Sofyan menambahkan, pada tahun 2004, dirinya sudah pernah dimintai keterangan sebagai saksi selaku pejabat Bank Bukopin. “Saya jelaskan semua, prosedur maupun manajemen dalam persoalan tersebut,” ucapnya.

Dia berharap, penegak hukum menjunjung azas keadilan dalam menangani kasus ini. “Biar hukum benar-benar menunjukkan keadilan. Saya berharap aparat penegak hukum menegakkan keadilan,” katanya.

Jika Berputar-putar, KPK Bisa Ambil Alih
Akhiruddin Mahjuddin, Koordinator LSM Gerak Indonesia

Koordinator LSM Gerakan Rakyat Anti Korupsi (Gerak) Indonesia Akhiruddin Mahjuddin menyatakan, Kejaksaan Agung tidak boleh memperlambat pengusutan kasus kredit Bank Bukopin ini.

Dia pun meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengambil alih perkara tersebut. Soalnya, kasus ini telah ditangani kejaksaan sejak 2008, tapi para tersangkanya belum dibawa ke pengadilan. “Kasus ini sudah mangkrak lama,” katanya.

Akhiruddin juga menyarankan Kejaksaan Agung mempercepat penyelesaian kasus tersebut. Bila tidak, dia khawatir muncul penilaian buruk masyarakat terhadap kinerja kejaksaan dalam menangani kasus Bukopin.

Ia pun merasa janggal melihat sikap Kejaksaan Agung. Soalnya, kendati mengaku serius menggarap kasus ini, Kejagung tak kunjung menahan dan membawa para tersangka ke penuntutan. Kesannya, pemeriksaan tersangka dan saksi-saksi masih berkutat pada persoalan yang itu-itu saja.

“Belum ada kemajuan dan langkah hukum yang konkret. Sepertinya hanya berputar-putar,” tegasnya.

Dia berharap Kejaksaan Agung terpacu untuk mengambil tindakan tegas dan cepat menahan serta melimpahkan para tersangka ke penuntutan. Menurutnya, para tersangka sudah sangat menikmati kebebasannya.

Dia khawatir, kondisi tersebut disalahgunakan pihak tertentu. Bisa jadi, tersangka menjadi obyek pemerasan oknum tertentu. “Proses hukum yang berlarut-larut, bisa membuat tersangka menjadi obyek penderita. Padahal, orang yang berstatus tersangka belum tentu bersalah,” katanya.

Menurut Akhiruddin, organisasinya sempat meminta KPK menindaklanjuti perkara ini. “Bila kejaksaan tak segera menyelesaikan kasus ini, kami akan meminta KPK untuk mengambil alih penanganannya,” tandas dia.

Jangan Nuduh Tanpa Pondasi Lho
Rindhoko Wahono, Anggota Komisi III DPR

Anggota Komisi III DPR Rindhoko Wahono menilai, Kejaksaan Agung sudah cukup profesional dalam menangani perkara. Tapi, dia mengingatkan kejaksaan agar memegang komitmen memberantas tindak pidana korupsi. Caranya, tuntaskan perkara-perkara korupsi yang telah mereka tangani. Apalagi yang telah ada tersangkanya, seperti kasus kredit Bukopin ini.

Menurut Rindhoko, persoalan lambatnya penanganan kasus ini didasari hasil audit BPKP bahwa tidak ada kerugian negara dalam perkara tersebut (baca reka ulang). “Tapi, polemik itu tidak boleh menjadi alasan tidak menyelesaikan perkara,” katanya.

Terlebih, kejaksaan punya argumen yang diikuti bukti-bukti tentang dugaan korupsi dalam kasus ini. Kejaksaan, lanjutnya, juga bisa merujuk pada kasus pembobolan dana PT Elnusa yang bergulir ke Pengadilan Tipikor Bandung. Padahal, saham negara di Elnusa di bawah 50 persen.

Jadi, menurut Rindhoko, kejaksaan bisa membawa kasus Bukopin ini ke Pengadilan Tipikor. “Yang penting, jangan sekadar menuduh tanpa ada pondasi,” kata anggota DPR dari Partai Geridra ini.

Dia pun meminta semua pihak agar tidak memvonis para tersangka bersalah. Soalnya, sangkaan yang dilontarkan kejaksaan belum terbukti di pengadilan. Rindhoko juga meminta masyarakat tidak menilai buruk kinerja kejaksaan. Soalnya, kejaksaan mesti hati-hati menangani kasus ini, lantaran masih ada perdebatan soal kerugian negara.

“Semangat penegakan hukum bukan terletak pada mencari siapa yang benar atau salah. Melainkan, mencari keadilan bagi yang berhak mendapatkannya.”

Dia menggarisbawahi, selama ini masih banyak kendala pengusutan perkara korupsi.

Termasuk lamanya Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengeluarkan hasil audit. Tapi, Rindhoko memahami kenapa hasil audit lama keluarnya. “Persoalan ini mungkin dipicu banyaknya audit yang harus diselesaikan, dan jumlah penyelidik BPKP yang minim,” ucapnya.

Kendala lain dalam mengaudit, sambung Rindhoko, yakni menyangkut standar baku operasi yang menganut prinsip kehati-hatian ekstra serta integritas personel BPKP.

Profesionalisme itu, sebut dia, kadang masih dipengaruhi intervensi pihak tertentu.
Jadi, persoalan audit menjadi semakin kompleks. Kompleksitas persoalan tersebut, semestinya menjadi perhatian serius. Pihak-pihak berkompeten, hendaknya tak ragu-ragu memperbaiki mekanisme audit. Tujuannya, tentu mendukung program pemberantasan korupsi. [Harian Rakyat Merdeka]

http://www.rmol.co/read/2013/03/11/101750/11-Tersangka-Kasus-Bukopin-Belum-Diseret-Ke-Pengadilan-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar