Sabtu, 21 Maret 2015

Mensos Khofifah Indar Parawansa: 90 Persen Raskin Tak Sesuai

Jumat, 20 Maret 2015

Jakarta - Di tengah melambungnya harga beras, Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa termasuk yang ikut sibuk blusukan ke gudang-gudang beras. Hanya, fokus yang dipantaunya adalah jaminan ketersediaan beras bagi warga miskin (raskin), yang menjadi tanggung jawabnya. Seperti diketahui, raskin diberikan kepada 15,5 juta rumah tangga sasaran karena setiap keluarga berhak mendapatkan 15 kilogram beras tiap bulan dengan harga tebus Rp 1.600 per kilogram.

Dari temuan di lapangan, Khofifah mengakui kualitas raskin di beberapa daerah tak seperti yang diharapkan. Jumlah dan rentang waktu pembagian pun tidak semestinya.

"Hampir 90 persen warga tidak mendapatkan sesuai dengan yang semestinya," kata Khofifah masygul saat berbincang dengan majalah detik di ruang kerjanya, Senin (9/3).

Selain menyoroti masalah raskin, mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan itu kembali menggaungkan wacana pelemahan saraf libido terhadap pelaku pemerkosaan. Usul ini dianggap oleh komisioner Komnas HAM hanya merupakan emosi sesaat dari Khofifah. Benarkah demikian? Simak petikan perbincangannya berikut ini.

Di tengah melambungnya harga beras, bagaimana kondisi beras bagi warga miskin?

Stok raskin dijamin aman hingga Desember 2015 karena stok di gudang Bulog cukup tersedia. Jadi masyarakat tidak perlu khawatir. Pemerintah menyiapkan dana Rp 9,5 triliun untuk pengadaan raskin hingga Juli 2015. Saat ini stok raskin pada posisi 1,4 juta ton dan kebutuhan raskin secara nasional 2,78 juta ton. Pada Maret ini, di beberapa daerah sedang panen raya, sehingga Perum Bulog bisa melakukan pengadaan raskin.

Tapi banyak raskin yang tidak tersalurkan dengan semestinya?
Karena itu, saya ikut ngecek gudang Dolog, baik di gudang divisi regional maupun subdivre, karena monitoring dan evaluasi distribusi raskin sampai ke titik bagi adalah tugas Kementerian Sosial. Dari situ saya mencoba melihat irisan-irisan apa saja yang terkait dengan mekanisme pengadaan dan distribusi raskin sampai titik bagi.

Sejauh ini apa saja yang Anda temukan?

Hampir 90 persen warga tidak mendapatkan sesuai dengan yang semestinya. Jadi, kalau KPK memberi saran yang bisa dilakukan perbaikan, rekomendasinya redesain raskin. Misalnya tepat waktu, raskin seharusnya dibagi tiap bulan; tepat jumlah, yakni 15 kilogram tiap rumah tangga sasaran penerima manfaat; dan tepat kualitas, ada kualitas tertentu yang sudah disepakati sesuai dengan harga pembelian pemerintah. Ketepatan seperti itu di lapangan sering kali tidak sesuai.

Ada keluhan dan kritik soal kualitas raskin yang di bawah standar….

Kami memang menemukan di beberapa tempat ternyata masih ada kandungan batu, berulat, warnanya kekuning-kuningan. Direktur Utama Bulog sudah menyampaikan, kalau tidak sesuai standar, kembalikan saja ke gudang supaya diganti. Karena memang ada mekanisme penghancuran beras yang tidak layak makan di Bulog. Proses monitoring dan pengawalan oleh pemda juga menjadi penting karena Bulog cuma sampai titik distribusi saja. Titik distribusi ke titik bagi itu menjadi tugas pemda.

Ketika pemda tidak menyiapkan dana pendampingan di APBD, akan terjadi kekosongan kontrol titik distribusi ke titik bagi. Masyarakat penerima raskin itu harus menebus Rp 1.600 per kilogram, dengan asumsi dari titik distribusi ke titik bagi diongkosi oleh pemda. Tapi tidak semua daerah menyampaikan pendampingan APBD seperti itu. Artinya, ongkos dibebankan kepada penerima, sehingga harga 1 kg beras harus ditebus Rp 2.000.

Kementerian Sosial tidak mewajibkan pemda menyiapkan dana?
Tentu saja kami mengimbau setiap kepala pemerintah daerah setempat untuk membantu biaya distribusi raskin. Penyaluran raskin yang cepat dan tepat sasaran dapat mempengaruhi penetrasi harga beras di pasaran. Pemerintah daerah juga dapat mengajukan anggaran tersebut ke Rancangan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2016 jika belum ada alokasi APBD untuk dana pendampingan. Bisa kami pertimbangkan terlebih dulu. Kami melihat juga bagaimana awareness dan sharing daerah dalam proses perlindungan sosial. Karena seharusnya anggaran perlindungan sosial itu sebesar 25 persen untuk masyarakat kurang mampu.

Seberapa besar peluang untuk meningkatkan kualitas raskin?

Peningkatan kualitas berarti peningkatan harga pokok beras (HPB). Artinya, bakal ada peningkatan APBN. Kalau 15,5 juta rumah tangga sasaran per rumah tangga itu 15 kg per bulan, dengan HPB Rp 8.325, maka pemerintah harus menyiapkan Rp 18,5 triliun selama setahun. Ini bisa direncanakan untuk 2016.

Untuk menekan angka kejahatan seksual, Anda mengusulkan hukuman pelemahan saraf libido dengan zat kimia. Apakah tak terlalu mengada-ada?

Ini bukan hal yang baru. Sewaktu di Kementerian Pemberdayaan Perempuan zaman Gus Dur, saya pernah menyampaikannya. Saya melihat sudah saatnya memberikan punishment yang lebih menjerakan. Pada 1999 Inggris sudah melakukan. Di Singapura pun, sekali ketahuan memperkosa, hukumannya 25 tahun. Jadi artinya punishment-nya tinggi. Nah, yang sudah punya kebijakan melumpuhkan saraf libido itu Denmark, Swedia, Polandia, dan Korea Selatan. Artinya, ini bukan mengada-ada.

Anda merasa usulan ini cukup logis dan sudah diterapkan banyak negara?
Mungkin tidak banyak yang menyelami bagaimana nasib korban kejahatan seksual, bagaimana mereka terperangkap dalam keputusasaan dalam menjalani kehidupan, bagaimana trauma dari proses yang dialami. Banyak suku yang membuang korban ini. Belum lagi orang tidak membayangkan kalau pelakunya dari keluarga sendiri. Kasus inses angkanya di banyak daerah makin tinggi. Apalagi kekerasan seksual yang berbasis sekolah, pelakunya 39 persen adalah guru.

Komnas HAM menilai usulan Anda hanya emosi sesaat?

Lo, enggak, kenapa mesti emosi? Dari tahun 2000 usulan itu (disampaikan). Kalau dirunut gitu sampai sekarang, masak dibilang emosi sesaat? Menurut saya, kita harus melihat negeri lain, yang memberi perlindungan kepada perempuan dan memberikan punishment kepada pelaku kejahatan seksual dengan pemberatan. Kita tidak melihat ini sebagai emosi atau sesaat, tapi coba lihat hak asasi anak-anak yang dilahirkan itu. Kalau masuk pada perspektif hak asasi manusia, jangan hanya lihat pelakunya, tapi lihat korbannya ini.

Hak mereka itu, karena mereka akan berada dalam suasana depresif sepanjang hidupnya. Adakah kita berbicara hak mereka untuk hidup tenang? Kalau pelumpuhan saraf libido dianggap melanggar HAM, bagaimana juga hak asasi anak-anak yang dilahirkan karena inses. Turunlah, lihat mereka-mereka ini. Jangan sampai melihat pelaku ini punya hak memperkosa lagi atau melahirkan korban-korban baru. Apa iya seperti itu hak yang akan dibiarkan. Bukankah harus ada punishment yang berat?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar