Rabu, 07 Januari 2015

Rahardi Ramelan Merasa Menjadi Korban Politik Partai Golkar

Rabu, 7 Januari 2015

Rahardi Ramelan. [Istimewa]
Rahardi Ramelan. [Istimewa] 
[JAKARTA] Guru Besar Rahardi Ramelan merasa menjadi korban politik sehingga dirinya ditetapkan menjadi terpidana korupsi. Dia mengaku tak bersalah. Namun, lantaran posisinya paling lemah, akhirnya Rahardi menjadi korban tuduhan penggelapan dana nonbujeter Badan Urusan Logistik sebesar Rp 54,8 miliar. Kasus ini terjadi pada tahun 1999 di mana Rahardi Ramelan masih menjabat Kapala Bulog.

Hal ini disampaikan oleh Rahardi Ramelan  dalam acara yang diselenggarakan oleh Pusat Studi Kelirumologi dengan tema “Urung Curhat Prof Dr Rahardi Ramelan: Mensyukuri Nasib Menjadi Terpidana di Era Reformasi” di Balairung Jaya Suprana School of Performing Art, Lower Ground, Mall of Indonesia, Jl Boulevard Raya, Kelapa Gading, Jakarta pada Selasa (6/1).

Dalam acara ini, hadir Pendiri Museum Rekor Dunia Indonesia (MURI) Jaya Suprana dan Mantan Ketua MK Mahfud MD.

“Situasi ketika terjadinya kasus korupsi Bullogate II, permainan politik sangat kental. Situasi tersebut menuntut ada korban dari kasus korupsi tersebut untuk mengamankan Akbar Tandjung yang waktu itu menjadi Ketua Umum Partai Golkar,” ujar Rahardi.

Mantan Kepala Bulog dan Menteri Perdagangan dan Industri ini mengaku bahwa penetepan dirinya menjadi tersangka Bullogate II merupakan skenario yang dibuat para elite Partai Golkar pada waktu itu. Rahardi Ramelan didesak oleh Akbar Tandjung untuk mengikuti skenario yang telah dibuatnya dalam rangka mengamankan dirinya dan Partai Golkar

“Saya menolak mengikuti skenario tersebut. Kemudian saya mendesak agar Akbar Tandjung memberikan tanda terima untuk dana Rp 40 miliar, namun Akbar tetap menolak,” katanya.

Dalam proses peradilan, Rahardi merasakan adanya sejumlah kejanggalan. Kejanggalan tersebut, antara lain pejabat tinggi yang langsung di bawah Presiden BJ Habibie tidak diperiksa oleh Kejagung maupun dimunculkan dalam persidangan, pemeriksaan dan dijadikannya Wiranto sebagai saksi karena dianggap lawan politik.

“Saksi-saksi kunci dari Partai Golkar selalu ditolak, baik oleh Jaksa Penuntut Umum maupun majelis hakim untuk dihadirkan dalam sidang,” tambahnya.

Dalam kasus tersebut, Rahardi menilai adanya penerapan standar ganda hukum demi politik. Hal ini tampak dalam kasasi terhadap Akbar Tandjung, yang menegaskan bahwa penggunaan dana nonbujeter Bulog yang dilakukan Akbar sesuai dengan konvensi yang ada di Bulog, bukan tindakan melanggar hukum. Dengan demikian Akbar bebas dengan proses kasasi 4 bulan.

“Ini tidak adil karena dalam kasasi saya, penggunaan dana nonbujeter sesuai konvensi, terbukti sebagai penyalahgunaan kewenangan,” tandasnya. [YUS/N-6]

http://sp.beritasatu.com/politikdanhukum/rahardi-ramelan-merasa-menjadi-korban-politik-partai-golkar/74215

Tidak ada komentar:

Posting Komentar