Jumat, 14 November 2014

Pelembagaan Swasembada Pangan

Kamis, 13 November 2014

‘PERANG’ isu  mengenai kedaulatan pangan, sangat gencar saat pilpres lalu. Tim sukse kedua kubu secara berlebihan menonjol-nonjolkan masalah kedaulatan pangan (KP). Sampai kemudian memunculkan wacana untuk terbentuknya kementerian KP, disertai dengan aneka penggabungan kementerian dalam jajaran KP.

Itu dulu. Beberapa bulan yang lalu. Bagaimana nasib wacana itu pada hari ini? Isu KP nyaris tidak berbekas. Dalam  struktur dan personalia Kabinet Kerja (KK) dan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) nyaris tidak bisa dibedakan.

Dalam urusan pangan inipun, yang dipamerkan KK pada hari-hari pertamanya adalah swasembada: beras, gula, jagung dan kedelAI, persis apa yang juga disuarakan oleh KIB-II lima tahun lalu, kecuali ada tambahan swasembada daging sapi dalam KIB-II. Jargon KIB-II ini jelas sekali terukur bahwa pada hari ini telah gagal total. Apakah hasilnya juga akan berbentuk sama lima tahun ke depan dengan KIB-II meski target KK empat tahun?

Lima tahun ke depan, sudah pasti bahwa dari empat produk itu, kedelai dan gula, tidak akan terealisir swasembadanya. Kecuali dengan tangan besi dan dengan pemikiran strategis yang spektakuler. Mengapa?

Faktanya, hari ini produksi kedelai dalam negeri kurang dari 800.000 ton pertahun, dan importasi sejumlah 1,8 juta ton. Bagaimana  caranya meningkatkan produksi nasional sampai tiga kali lipat masih tidak jelas arahnya. Sementara itu, kebutuhan gula total sebesar 5.7 juta ton, tetapi produksi dalam negeri hanya 2,2 juta ton. Untuk mencukupi gula konsumsi yang 2,6 juta ton pun masih harus maraton karena penjajahan oleh gula rafinasi yang disenangi birokrasi.

Bagaimana dengan jagung dan beras? Secara kuantitatif jagung agak optimis karena kekurangannya tidak cukup besar. Akan tetapi, satu hal yang harus dicatat adalah bahwa tercapainya swasembada ini bermakna ketergantungan total terhadap benih jagung milik perusahaan asing, hampir sepenuhnya.

Sementara itu, untuk swasembada beras, tentu adalah sebuah kemunduran besar ketika target itu tidak tercapai karena target KK hanyalah swasembada, dibandingkan target KIB-II yang surplus 10 juta ton beras. Meski yang terakhir ini juga banyak mengandung pencitraan. Ketika targetnya KK juga sekitar pencitraan, maka mudah sekali mencapai swasembada tetapi swasembada berbasis impor.
Pelajarannya, acap kali isu politis pangan tidak tersentuh oleh kabinet, khususnya ketika berwacana tentang swasembada pangan.  Realitasnya, meski sistem produksi acapkali terganggu oleh kesalahan internal, gangguan tataniaga akibat syahwat importasi KIB-II dalam banyak hal nampak lebih nyata. Lesunya harga lokal sebagai akibatnya, menjadi alasan kelesuan usahatani.

Ada baiknya pada bulan madu KK ini kita menengok amanat UU 18/2012 tentang Pangan yang mengamanatkan pengarusutamaan kedaulatan pangan sistem pangan nasional. Berkenaan dengan itu UU dimaksud juga sekaligus mengamanatkan jaminan ketercapaian KP melalui pembentukan otoritas pangan.

Mengaitkan kepentingan KP dan pelembagaan otoritas pangan yang diamanatkan UU 18/12 ini, sangat mudah ditafsirkan. Bahwa otoritas dimaksud adalah otoritas yang mengawal dan bertanggung jawab terhadap urusan KP, yang antara lain, harus mengkoordinasikan kementerian teknis terkait, mengendalikan tataniaga, merumuskan kebijakan pangan nasional, merancang ulang politik pangan nasional, dan segebog urusan lainnya.

Masih dalam masa bulan madu. Masih banyak peluang untuk menyadari bahwa pangan itu juga urusan ikan, beras dan sejenisnya. Pada saat yang sama harus dilihat pula bahwa ada banyak peluang pangan dijanjikan oleh sektor kehutanan dengan lahan tumpang sari, juga peluang tataniaga sebagai senjata, begitu pula urusan tata-air dan industri pangan. Nilai tambah dan produktivitas pangan nasional ada dimana-mana di seluruh lokalita Indonesia.

Bulan madu ini harus dimanfaatkan dengan membangun <I>blue print<P> bersama untuk itu semua. Cetak biru pembangunan sistem pangan nasional, bukan hanya dalam jajaran kementan, bukan hanya terbatas pada kiprah perikanan, dan bukan pula sekedar kiprah logistilk Bulog. Akan tetapi cetak biru nasional yang mengamankan program pembangunan yang katanya <I>mainstreaming<P> KP. Agar tidak dikatakan ‘katanya KP'.

Prof Dr HM Maksum Mahfoedz
(penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Ketua PB NU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3508/pelembagaan-swasembada-pangan.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar