Jumat, 12 September 2014

Nilai Sebuah Swasembada

Jumat, 12 September 2014

DALAM komparasi antarsektor, selalu saja pertanian umumnya dan pangan khususnya, menghadapi kritik, tidak punya harapan untuk menghasilkan nilai tambah dan pertumbuhan. Tidak sedikit bahkan yang menyebut bahwa sektor ini sudah berada dalam kondisi kritis, the point of missing return, selalu merugi. Lebih jauh, tidak bisa diandalkan sebagai penyedia lapangan kerja. Akibatnya, usaha tani merugi dan pendapatan buruh terbatas.
Ketidakmampuan ekonomis untuk menghasilkan pertumbuhan adalah alasan utama sinisme terhadap sektor ini. Tentu saja  tanpa merujuk pada sejarah pembangunan ekonomi bangsa yang selama ini menempatkan pertanian sebagai tumbal pembangunan. Kritik dimaksud biasa dipakai sebagai pembenaran importasi. Importasi yang murah selalu dipilih sebagai modus pengadaan pangan dibandingkan memproduksi sendiri di dalam negeri yang mahal menurut mereka dengan tanpa pernah mempertanyakan mengapa impor murah.
Adalah sebuah kecelakaan kebangsaan ketika pemikiran sederhana tersebut menempatkan impor selalu menjadi solusi pragmatis krisis pangan. Tidak pernah disadari bahwa akibatnya kecanduan, impor ini bagai narkoba. Gampang solusinya, selalu impor. Dan pada gilirannya perut bangsa ini makin tergantung terhadap pangan impor.
Pemikiran tersebut hari ini memperoleh tantangan Jokowi-JK dalam prinsip Trisakti dan kemandirian pangan yang dibungkus dalam tekad swasembada. Tentu  untuk melepaskan diri dari semakin akutnya ketergantungan Bangsa RI. Sekaligus dengan mempertimbangkan nilai swasembada yang bukan main besar dalam segala aspeknya.
Secara finansial, besarnya nilai pasar pangan domestik menempatkan konflik kepentingan antara importasi dengan sejumlah rentenya pada satu sisi, dan kemandirian produksi dalam negeri diperjuangkan para nasionalis pada sisi lain. Market size untuk pangan memang luar biasa besar. Untuk lima pangan strategis saja, setiap tahunnya dibutuhkan 32 juta ton beras. Selain itu masih diperlukan  2,6 juta ton kedelai, 570 ribu ton daging sapi,  5,7 juta ton gula kristal dan 27 juta ton jagung.
Apabila jumlah kebutuhan ini dikalikan dengan harga pasar terendah berdasarkan harga referensi, harga dasar, atau Harga Pembelian Pemerintah (HPP), angkanya cukup fantastis. Untuk beras sebesar Rp 6600/kg, kedelai Rp 8.490/kg, daging sapi Rp 76.000/kg, gula kristal RP 8.500 kg, dan jagung sebesar Rp 2.700/kg, maka nilai konsumsi lima komoditas pangan mencapai Rp 397.84 Triliun. Angka sejumlah hampir Rp 400 Triliun tersebut dihitung berdasarkan harga minimum.
Kalau pergerakan harga terjadi sampai tingkat harga eceran tertinggi (HET), dengan ruang gerak sampai 25% misalnya, maka kisaran nilai komoditas ini akan mencapai Rp 500 Triliun. Suatu ukuran pasar dan kegiatan ekonomi bahan baku yang bukan main besarnya. Ketika diasumsikan bahwa aktivitas hilirisasi bisa menghasilkan nilai tambah sekitar 20%, maka nilai ekonomi pangan strategis ini saja bisa mencapai angka Rp 600 Triliun.
Besaran finansial nilai lima komoditas strategis ini mencapai lebih 30% APBN 2014 maupun APBN 2015. Sementara itu, multiplier effects dalam hal pertumbuhan dan ketenagakerjaan mulai dari hulu sampai hilir tentu sangat spektakuler. Itu baru lima pangan strategis, dan baru nilai finansial yang terkait dengan ukuran pasar. Belum mempertimbangkan komoditas pangan lainnya yang tidak terbatas dan belum melihat nilai kebangsaannya.
Pilihan produksi sendiri atau importasi sudah semestinya memperhitungkan potensi ekonomi dan nilai politik kebangsaan secara menyeluruh. Semua  berangkat dari pertanyaan mendasar: akankah nilai pasar sebesar itu dengan segala multipier effects terkait akan dipersembahkan bagi pelampiasan syahwat rente segelintir komprador dan antek Nekolim? Menurut peringatan Bung Karno atau akan dikelola bagi penguatan kedaulatan sebuah bangsa yang hebat.
Sebuah pilihan yang sungguh teramat sederhana. Manakala Kabinet Trisakti yang akan terbentuk serius berkhidmad kepada revolusi mental yang dijanjikan. (Prof Dr M Maksum Machfoedz,Penulis adalah Guru Besar UGM, Ketua PBNU)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3331/nilai-sebuah-swasembada.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar