Senin, 18 Agustus 2014

Adakah Kemerdekaan Pangan?

Senin, 18 Agustus 2014

HUT PROKLAMASI adalah urusan kemerdekaan. Berdasarkan falsafah kebutuhan sandang-pangan-papan, sudah tentu kemerdekaan pangan menjadi hal utama untuk diwujudkan guna mengikis habis penjajahan pangan  yang  berimplikasi kolonialisasi dan imperialisasi baru. Bung Karno, tahun 1965, sudah mengingatkan akan bahaya kolonialisasi baru melalui antek-antek Nekolim, Neo Kolonialisme dan Neo Imperialisme.
Enam puluh sembilan tahun berjalan. Kemerdekaan pangan RI ternyata masih terseok. Sekurangnya kesimpulan itu bisa diangkat dari hasil survey Badan Pusat Statistik. Data  mutakhir menyebutkan importasi pangan 2013 mencapai 14,90 miliar dollar AS, empat kali lipat dibandingkan angka importasi sepuluh tahun sebelumnya (2003) yang hanya 3.34 miliar dollar AS. Menyedihkannya, angka tersebut tidak pernah bersih dari importasi lima pangan strategis, beras-gula-kedele-jagung-daging sapi, yang ditargetkan swasembada 2014.
Sungguh kemunduran kemerdekaan pangan yang teramat akut. Itulah yang menyebabkannya selalu menarik diangkat sebagai isu debat visi dan misi dalam kampanye pilpres lalu. Lebih responsif lagi adalah menguatnya semangat swasembada dan kedaulatan pangan yang dilontarkan oleh tim sukses capres terpilih: Jokowi-JK, utamanya untuk pangan strategis.
Apresiasi publik sangat gegap gempita. Swasembada beberapa pangan pokok kini akan menjadi realita setelah selama ini target swasembada tidak pernah menjadi kenyataan. Yang pasti, apresiasi itu tidak akan pernah memaklumi, jika nanti  Pemerintah Jokowi-JK ternyata mengulangi kegagalan swasembada Kabinet Indonesia Bersatu (KIB), dan swasembada gagal dan mundur lagi.
Persiapan untuk itupun dibangun cermat. Penguatan pangan dalam Nawa Cita, pengutamaan pangan dalam Trisakti, efektifitas kiprah Rumah Transisi, sampai rancang bangun struktur kabinet yang akan dibentuk Jokowi-JK selepas pelantikan. Persiapan semakin konkrit, dan bisa disimpulkan dalam wacana perampingan kabinet atas nama efisiensi dan efektifitas.
Wacana perampingan kabinet mengarah pada peleburan 2-3 kementerian menjadi satu. Khusus untuk urusan pangan telah muncul wacana peleburan Kementerian Pertanian, Kemenhut dan Kementerian Kelautan-Perikanan. Wacana ini muncul berdasarkan perlunya koordinasi intensif kementerian terkait agar lebih terkendali, mengarah kepada swasembada. Jelas sekali asumsinya. Gagalnya swasembada karena gagalnya produksi domestik. Produksi tentu sangat penting dan harus didukung sejumlah upaya perlindungan. Akan tetapi, perampingan bisa menjadi blunder pengulangan gagal ketika asumsinya teramat sederhana.
Berbicara produksi, tentu JKW-JK tidak pernah boleh melupakan sejarah, yang mengajarkan rivalitas akut Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan dalam urusan pangan. Anekdotnya, bagai ayam dan telor. Produksi gagal maka Menteri Perdagangan import pangan. Sementara, menurut Menteri Pertanian, karena banyak impor murah maka produksi tidak optimal sehingga gagal meraih swasembada. Nyatanya, peperangan antara perlindungan produksi di satu sisi, dan memuncaknya importasi pangan di pihak lain itulah masalahnya.
Rivalitas itu nampak pada setiap kali krisis pangan. Dalam setahun terakhir, percekcokan antara dua kementerian itu sekurangnya nampak dalam krisis daging sapi, importasi gula mentah, pro-kontra importasi beras, krisis tahu-tempe, importasi horti, dan aneka krisis pangan lain. Semua itu membuktikan betapa tidak berartinya segala upaya perlindungan produksi domestik, setelah pasar pangan dijajah importasi sejumlah komprador.
Dalam urusan perlindungan sebenarnya, UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan, UU 13/2010 tentang Hortikultura, UU 18/2012 tentang Pangan, dan UU 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, sudah jelas mensiratkan pentingnya perlindungan bagi produksi pangan domestik, utamanya perlindungan perdagangan dari bahaya importasi. Dari sudut pandang perlindungan, proteksi perdagangan ternyata lebih hebat dampaknya. Karena itu perampingan dan kementerian baru menjadi tidak ada maknanya. Ketika kita tidak punya power menangkal bahaya importasi, tidak kuat pengaruhnya terhadap sistem tataniaga. Karena semua itu kalah kuat dengan syahwat rente importasi. Atau  ketika kementerian baru itu senantiasa takluk kepada segelintir komprador, antek-antek Nekolim.

Prof Dr M Maksum Machfoedz (Penulis adalah Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, Guru Besar UGM)

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/3246/adakah-kemerdekaan-pangan.kr

Tidak ada komentar:

Posting Komentar