Kamis, 28 Februari 2013

3,4 Ton Raskin Pesawaran Rusak

27 Februari 2013

WAYLIMA – Penduduk miskin di Desa Cimanuk, Kecamatan Waylima, Pesawaran, menjerit. Beras bagi warga miskin (raskin) yang mereka terima pada 24 Februari 2013 ternyata tidak layak konsumsi. Beras patah-patah dan menggumpal seperti batu kapur serta mengeluarkan aroma tak sedap. Warnanya menguning dan banyak kutu. Padahal jumlah rumah tangga sasaran (RTS) di Desa Cimanuk cukup besar, 233 RTS dengan jumlah raskin mencapai 3,495 ton.
Kepala Dusun 4 M. Saca mengatakan, warganya yang menerima raskin sangat kecewa dengan kualitas beras yang jauh dari biasanya. ”Saya tahunya juga setelah beras sudah dibagikan. Makanya, saya langsung konfirmasikan masalah ini kepada Badan Urusan Logistik (Bulog) dan mempertanyakan ke DPRD Pesawaran,” geramnya kemarin.
Pihak Bulog selanjutnya meminta beras yang telah dibagikan dikumpulkan kembali. Persoalannya, banyak penduduk desa yang sudah mengonsumsi beras itu untuk menutupi rasa lapar yang mendera mereka selama ini. Sebagaimana diungkapkan Arna, salah satu penduduk Dusun 4. ”Tapi, akhirnya tetap saya buang karena bau dan rasanya pahit,” keluhnya.
Untunglah, M. Saca masih menyimpan 15 kilogram beras untuk sampel yang ia dapatkan dari warga.  ”Besok (hari ini), kami akan gelar rapat bersama masyarakat dan minta solusi dari Bulog serta juga dewan,”  katanya.
Dihubungi terpisah, Kabag Perekonomian Pemkab Pesawaran Ir. Sugiri mengaku, hingga berita diturunkan, dirinya belum menerima laporan dari pemerintah desa setempat. ”Setelah ada laporan resmi dari aparatur desa, kita akan fasilitasi masyarakat dengan pihak Bulog,” janjinya.
    Anggota Komisi A DPRD Pesawaran Rama Diansyah yang berasal dari daerah pemilihan (dapil) Waylima dan Kedondong menyatakan telah menerima informasi raskin tak layak ini dari masyarakat. Secara pribadi, ia telah meminta aparatur desa menarik seluruh raskin bermasalah itu. Selain itu, ia akan memperjuangkan agar Bulog dapat mengganti seluruh raskin karena tak bisa dikonsumsi. ”Saya minta Bagian Ekonomi Pemkab Pesawaran mengecek ke lapangan. Jangan bisanya tunggu laporan!” ungkap mantan anggota DPRD Lampung Selatan itu semalam.  
Humas Bulog Lampung Susan yang dikonfirmasi Radar Lampung semalam tidak mengangkat teleponnya meski handphone-nya dalam kondisi aktif. Begitu juga saat dikirimi pesan singkat terkait persoalan itu, Susan tak menjawab. (irs/rnn/whk/p3/c2/ade)

Kondisi Raskin di Pesawaran

1.    Beras patah-patah
2.    Menggumpal seperti batu kapur
3.    Mengeluarkan aroma tak sedap
4.    Warnanya menguning
5.    Banyak kutu

 POSTED BY: Ayep Kancee 

http://www.radarlampung.co.id/read/berita-utama/57050--waduh-34-ton-raskin-tidak-layak-beredar-di-pesawaran 

DPRD Lampung Minta Bulog Jelaskan Kualitas Raskin

27 Februari 2013

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com - Komisi II DPRD Lampung meminta Bulog Divisi Regional Lampung menjelaskan soal adanya temuan 3,4 ton beras miskin di Kabupaten Pesawaran yang kondisinya rusak.
"Bulog harus menjelaskan kepada masyarakat, apa yang sesungguhnya terjadi. Sebab, kebutuhan raskin disuplai dari Bulog. Penjelasan kepada masyarakat sangat ditunggu mengingat peristiwa seperti ini pernah juga terjadi beberapa saat lalu," ujar Ahmad Junaidi Auly, Ketua Komisi II DPRD Lampung, melalui siaran persnya, Rabu (27/2/2013).
Ia mendesak Bulog memperhatikan betul soal kualitas raskin, meskipun itu sekedar diperuntukkan sebagai bantuan.
"Jika rusak dan berbau, kiranya lebih pas jika digunakan sebagai pakan ayam," kata Junaidi yang merupakan Anggota DPRD Lampung dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera.
Hal ini disampaikannya terkait adanya temuan raskin di Kabupaten Pesawaran yang kondisinya rusak dan kurang lain dikonsumsi.
Pada 2010 lalu, Lampung juga digemparkan dengan temuan 10.000 ton beras raskin asal Jawa Tengah yang kualitasnya buruk, yaitu berbau apek.
Menurutnya, kualitas raskin semestinya juga memenuhi standar serapan seperti yang diatur di dalam Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 3 Tahun 2012 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Sehingga, kondisinya bagus dan tidak mudah rusak.
 
Penulis : Yulvianus Harjono
Editor :
Tjahja Gunawan Diredja
 

Kasus Penyelewengan Raskin ‘Jalan di Tempat’

27 Februari 2013

Kediri (kedirijaya.com) – Penyelidikan kasus dugaan penyelewengan distribusi beras miskin (raskin) di Kota Kediri oleh Tipikor Polres Kediri Kota jalan di tempat alias tidak ada perkembangan yang segnifikan. Polisi terkesan tidak serius dalam menanganinya.

Demikian disampaikan oleh pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Montore’ Rakyat (LSM Montera) Kediri Andhi Mahfudi ” Polisi lebih mengutamakan kasus Jembatan Brawijaya. Sementara kasus lainnya diabaikan. Seperti penanganan dugaan penyelewengan raskin,” ujarnya, Rabu (27/02/13)

Andhi Montera merasa prihatin. Sebab, Polres Kediri Kota sudah mengerahkan 13 orang penyidik terbaik untuk menuntaskan kasus-kasus besar di Kota Kediri. Tetapi, kenyataanya, dugaan kasus penyelewengan raskin yang sangat berhubungan dengan masyarakat tidak mampu, justru terkesan diabaikan.

” Kasus raskin ini berhubungan langsung dengan wong cilik, masyarakat kecil. Tetapi kepolisian sepertinya malah memprioritaskan Jembatan Brawijaya. Seperti kasus raskin ini, berhubungan langsung dengan masyarakat kecil. Sehingga, ke depan tidak menjadi korban praktek-praktek kotor penyaluran raskin yang bermasalah,” tegas Andhi Montera.

Andhi Montera mendorong supaya kepolisian memprioritaskan semua kasus-kasus yang sekarang sedang ditangani, khususnya kasus yang berakitan langsung dengan masyarakat miskin.

Terpisah, Kapolres Kediri Kota AKBP Ratno Kuncoro mengatakan, dugaan kasus penyelewengan raskin, sampai saat ini masih dalam penanganan. Tim penyidik Tipikor terus bekerja untuk mengungkap adanya indikasi kecurangan distribusi raskin.

” Penyelidikan terus berjalan. Saksi-saksi kita mintai keterangan. Yang terpenting, distribusi raskin di tahun yang akan datang lancar, tanpa ada penyelewengan,” kata Ratno Kuncoro.

Polres Kediri Kota kini memang tengah fokus mengungkap kasus-kasus besar di Kota Kediri, khususnya korupsi. Polres sudah menetapkan dua orang tersangka dalam dugaan korupsi mega proyek pembangunan Jembatan Brawijaya.

Mereka, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kasenan dan Ketua Panitia Lelang Wijanto. Selain itu, Polres Kediri Kota juga menyelidiki dugaan korupsi proyek pembangunan kampus Poltek II Kediri yang nilai proyeknya sebesar Rp 88 miliar. (nb)

Editorial Dedi Irawan - News

http://www.kedirijaya.com/2013/02/27/kasus-penyelewengan-raskin-jalan-di-tempat.html
Editorial Dedi Irawan - News


Kediri (kedirijaya.com) – Penyelidikan kasus dugaan penyelewengan distribusi beras miskin (raskin) di Kota Kediri oleh Tipikor Polres Kediri Kota jalan di tempat alias tidak ada perkembangan yang segnifikan. Polisi terkesan tidak serius dalam menanganinya.
Demikian disampaikan oleh pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat Montore’ Rakyat (LSM Montera) Kediri Andhi Mahfudi ” Polisi lebih mengutamakan kasus Jembatan Brawijaya. Sementara kasus lainnya diabaikan. Seperti penanganan dugaan penyelewengan raskin,” ujarnya, Rabu (27/02/13)
Andhi Montera merasa prihatin. Sebab, Polres Kediri Kota sudah mengerahkan 13 orang penyidik terbaik untuk menuntaskan kasus-kasus besar di Kota Kediri. Tetapi, kenyataanya, dugaan kasus penyelewengan raskin yang sangat berhubungan dengan masyarakat tidak mampu, justru terkesan diabaikan.
” Kasus raskin ini berhubungan langsung dengan wong cilik, masyarakat kecil. Tetapi kepolisian sepertinya malah memprioritaskan Jembatan Brawijaya. Seperti kasus raskin ini, berhubungan langsung dengan masyarakat kecil. Sehingga, ke depan tidak menjadi korban praktek-praktek kotor penyaluran raskin yang bermasalah,” tegas Andhi Montera.
Andhi Montera mendorong supaya kepolisian memprioritaskan semua kasus-kasus yang sekarang sedang ditangani, khususnya kasus yang berakitan langsung dengan masyarakat miskin.
Terpisah, Kapolres Kediri Kota AKBP Ratno Kuncoro mengatakan, dugaan kasus penyelewengan raskin, sampai saat ini masih dalam penanganan. Tim penyidik Tipikor terus bekerja untuk mengungkap adanya indikasi kecurangan distribusi raskin.
” Penyelidikan terus berjalan. Saksi-saksi kita mintai keterangan. Yang terpenting, distribusi raskin di tahun yang akan datang lancar, tanpa ada penyelewengan,” kata Ratno Kuncoro.
Polres Kediri Kota kini memang tengah fokus mengungkap kasus-kasus besar di Kota Kediri, khususnya korupsi. Polres sudah menetapkan dua orang tersangka dalam dugaan korupsi mega proyek pembangunan Jembatan Brawijaya.
Mereka, Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kasenan dan Ketua Panitia Lelang Wijanto. Selain itu, Polres Kediri Kota juga menyelidiki dugaan korupsi proyek pembangunan kampus Poltek II Kediri yang nilai proyeknya sebesar Rp 88 miliar. (nb)
- See more at: http://www.kedirijaya.com/2013/02/27/kasus-penyelewengan-raskin-jalan-di-tempat.html#sthash.mJn5YO8o.dpuf

Rabu, 27 Februari 2013

Pak, Ini Beras Atau Dedak Sih?

26 Februari 2013

Pekanbaru (katakabar) Beginilah nasib orang miskin di Desa Tarai Bangun, Kecamatan Tambang. Mereka terpaksa menerima jatah beras miskin (raskin) dari Pemerintah yang dihargai Rp3 ribu perkilo dengan kondisi tak layak konsumsi.

“Mau tak diterima awak butuh, diterima kayak ginilah kondisinya,” keluh seorang warga yang melihat beras jatah itu sudah menguning dan berdedak.

Walau kondisi beras tak layak konsumsi, namun beras raskin itu tetap menjadi primadona bagi sebagaian warga tak mampu di Desa Tarai Bangun, Kecamatan Tambang itu. “Kalau ditengok macam ketombe. Harus sepuluh kali basuh baru bisa dimasak,” kata Rina, warga Desa Tarai Bangun pada katakabar.com sore ini.

Rina mengatakan, beras yang diberikan Pemerintah jauh dari kata layak konsumsi. Setelah dimasak, kata Rina, nasi itu lebih mirip dengan nasi tumpeng. “Kalau sudah jadi nasi, beras tadi kayak nasi tumpeng, menguning semua nasinya,” sebutnya.

Bukan cuma persoalan kualitas beras yang dikeluhkan warga, kuantitas dan ketepan waktu pembagian juga menjadi persoalan di sana. Satu keluarga yang dijatah hanya 5 Kilogram itu harus menunggu sebulan bahkan tiga bulan sekali untuk mendapatkan beras bersubsidi itu.

“Janganlah selama itu, sudahlah kami menunggu lama, dapatnya juga tak seberapa. Kalau cuma 5 kilo, itu cuma dua hari bagi kami keluarga dengan anak banyak. Satu lagi, kami minta kepada Pemerintah, tolonglah menyeleksi beras yang akan didistribusikan ke masyarakat. Jangan dedak beras yang dikasi ke kami,” Rina berharap.


Penulis : herry
Editor : rian
 

SWASEMBADA PANGAN Pemerintah Anaktirikan Pertanian

27 Februari 2013

JAKARTA (Suara Karya): Rendahnya produktivitas dan daya saing produk pertanian menjadi kesalahan bersama yang dilakukan Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Pemerintah juga dianggap masih menganaktirikan sektor tersebut.
Pendapat itu disampaikan Managing Director Econit Advisory Group Hendri Saparini kepada Suara Karya di Jakarta, Selasa (26/2). Menurut dia, sulitnya pencapaian swasembada pangan lebih dikarenakan kurang perhatiannya pemerintah dalam mengembangkan sektor pertanian. "Bukan hanya Kementerian Pertanian saja yang bertanggung jawab untuk permasalahan ini, tetapi Kementerian Perdagangan juga harus menjaga masuknya barang impor produk pertanian," kata Hendri.
Dia menegaskan, selain mencegah atau membatasi impor komoditas pertanian, pemerintah seharusnya juga mendatangkan investor di bidang pertanian. "Berikan insentif pada mereka. Itu yang harusnya dilakukan pemerintah," kata dia.
Akibat belum adanya perhatian serius pemerintah terhadap sektor pertanian dan khususnya kemandirian pangan, menurut dia, lonjakan harga pangan kerap terjadi setiap kali menghadapi kondisi tertentu. Dia menegaskan, jika pemerintah memang hendak menjadikan pertanian dan pangan sebagai sektor strategis, maka pemerintah harus membuktikan keberpihakan yang jelas pada sektor itu.
"Apakah dengan 240 juta penduduk ini akan terus dijadikan pasar produk dalam negeri atau malah untuk produk impor," tuturnya.
Menurut Hendri, program pengembangan sektor pertanian dan dukungan terhadap hasilnya merupakan program jangka panjang yang selama ini sudah mendapatkan pembahasan berkali-kali oleh pemerintah. Namun, realisasi program pembinaan sektor pertanian yang konsisten tidak terlihat.
"Semua itu harus diprogramkan dan menjadi rencana jangka panjang," ucapnya. Pasalnya, untuk membangun sektor pertanian memang dibutuhkan perencanaan yang matang, disertai implementasi yang baik.
Di tempat terpisah, Ketua Perhimpunan Petani dan Nelayan Sejahtera Indonesia (PPNSI) Jawa Tengah Riyanto mengatakan, kalau bangsa ini ingin maju, harus kembali ke pertanian dan perikanan kelautan. Tidak seperti sekarang, yang dinilainya tidak punya arah.
"Kita berharap, dengan pertanian yang maju, maka produk petani kita bisa masuk mal," ujarnya. Saat ini pembangunan bangsa ini menganaktirikan pertanian. Dengan begitu, makin tidak jelas arahnya mau ke mana bangsa ini.
Dia mengatakan, impor pangan nasional sudah masuk zona merah sehingga harus segera dihentikan. Namun untuk menghentikan impor, membutuhkan keputusan politik bukan semata hitungan ekonomi, karena sampai sekarang tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan itu. "Sampai kapan kita akan impor?" ujarnya.
Menurut dia, impor akan berhenti dengan kesadaran penuh untuk cinta produk sendiri dan keputusan politik. Dia juga mengingatkan, program ketahanan pangan harus dilakukan oleh seluruh daerah. Apalagi masalah ketahanan pangan sangat mudah diukur melalui adanya akses rakyat terhadap pangan, ketersediaan pangan, keamanan pangan, serta distribusi pangan.
Namun dia mengatakan, keempat faktor itu masih timpang di negeri ini. Hampir 40 persen pangan hanya mampu diproduksi di Jawa. Akibatnya, wilayah luar sangat tergantung pada Jawa.
Tidak sekadar masalah pangan yang menyangkut komoditas hortikultura belaka, kekisruhan dan lonjakan harga terjadi pula pada harga daging sapi. Untuk hal ini, anggota Komisi IV DPR Hermanto mengatakan, pemerintah harus dapat meningkatkan produktivitas sapi lokal.

Dengan begitu, kebutuhan terhadap daging secara nasional dapat terpenuhi. Itu, menurutnya, dapat dilakukan dengan meningkatkan pengawasan terhadap sapi betina produktif agar tidak dipotong. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas para peternak dan kelembagaan para peternak dalam mengelola ternak sapi. Dengan begitu, mampu meningkatkan kesejahteraan para peternak. (Budi Seno/Bayu) 
 
 Hendri Saparini, Managing Director Econit Advisory Group
 

Beras Raskin Jelek, Bulog Harus Tanggungjawab

27 Februari 2013

LOMBOKita - Asisten II Bidang Ekonomi dan Pembangunan Setda Nusa Tenggara Barat (NTB), Haji Abdul Haris mengatakan Pemerintah Provinsi NTB mendesak Bulog untuk memastikan beras yang didistribusikan ke Kabupaten/Kota sesuai dengan standar dengan membuat berita acara, karena raskin tersebut bukan gratis.

"Pemerintah memberikan subsidi sebesar 5.900 perkilogram dari raskin yang disalurkan." ungkapnya, Selasa (26/2/2013)

Dari raskin yang disalurkan di NTB. kata Haris, Pemerintah sudah memberikan subsidi tetapi pada kenyataanya beras yang diberikan untuk masyarakat teryata tidak memenuhi standar atau kualitas yang buruk.

Haris menegaskan kalau beras tersebut tidak memenuhi standar, jangan didistribusikan, karena raskin dibayar oleh pemerintah.

"Raskin jelek itu harus dikembalikan, Bulog harus mengganti jangan sampai rakyat di rugikan." tandasnya.

Dijelaskan Haris, raskin yang dibagikan kesetiap rumah tangga disubsidi sehingga setiap kilogram raskin yang diterima masyarakat hanya membayar 1.600 perkilogram dengan jatah 15 kilogram tiap bulannya.

"Buloq yang sekarang koordinasi dengan pemprov kurang baik." tambahnya

Haris mengharapkan kepada Bulog agar hal ini tidak terus berlanjut dan Bulog NTB agar lebih inten berkoordinasi dengan pemerintah. "Kepala Bulog yang sekarang belum pernah datang ke Pemprov, apalagi datang ke Biro Ekonomi dan Asisten II." jelasnya.

Diakhir wawancara Haris menyebutkan NTB tahun 2013 ini jumlah pagu raskin berjumlah 84. 881.800 kilogram dengan jumlah rumah tangga sasaran (RTS) yakni 471.566 yang tersebar di seluruh Kabupaten/Kota di NTB. (bud)

Ditulis oleh Zulfahmi

http://lombokita.com/ekonomi-bisnis/1500-beras-raskin-jelek-bulog-harus-tanggungjawab#.US3t7zfag-o 

Raskin Bulan Ini Tidak Sesuai Inpres

27 Februari 2013

CIKARANG PUSAT – Jatah beras miskin (Raskin) untuk warga Kabupaten Bekasi di bulan ini dipastikan tidak sesuai standar mutu. Jatah Raskin yang didistribusikan di tiap desa beberapa waktu lalu banyak mengandung campuran menir dan tidak sesuai dengan Inpres (Instruksi Presiden) nomor 3 tahun 2012.
Berdasarkan Inpres disebutkan, dalam Raskin, beras sosok (utuh) 95 persen, sisanya baru menir. Sementara Raskin yang diterima masyarakat saat ini, diperkirakan campuran menirnya mencapai 60 sampai 70 persen.
’’Mutunya sudah ditentukan, juga termasuk kualitasnya, jadi tinggal kita cocokkan saja,” ucap Kepala Bagian Ekonomi Kabupaten Bekasi, Ramhatullah, seusai rapat kerja dengan Komisi D DPRD, Senin (25/2).
Dikatakan Rahmat, jatah raskin untuk Kabupaten Bekasi berdasarkan pendistribusian yang dilakukan Bulog. Ia menduga, sebelum raskin didistribusikan tidak dilakukan pengawasan terlebih dulu.
’’Ini bukan keinginan kita. Mungkin Bulog hanya menurunkan raskin dari gudang dan langsung mendistribusikannya tanpa dilakukan pengontrolan beras,” ucapnya.
Pemerintah daerah, sambung Rahmat, sudah melakukan komunikasi dengan Bulog Karawang yang khusus menangani raskin untuk Kabupaten Bekasi dan Kota Bekasi. Ia meminta agar persoalan serupa tidak terjadi kembali di pendistribusian selanjutnya.
’’Kami sudah menegur pihak Bulog, karena ini bukan persoalan sepele. Bulog juga seharusnya melakukan pengawasan sebelum didistribusikan, jadi sama-sama kita mengontrol,” katanya.
Sementara itu, anggota Komisi B DPRD Kabupaten Bekasi, Marjaya Ibrahim mengatakan,  akan menindaklanjuti dengan penelusuran mulai tingkat desa hingga Bulog. Sebab untuk tingkat pelaksana ada mulai desa, kelompok masyarakat, BPMPD dan kelompok padat karya yang turut serta mengatur pembagian Raskin.
’’Keempat pelaksana ini akan dikroscek secara mendetail. Sehingga diketahui kesalahan ada dimana. Jika menir-nya diatas dua persen sudah pasti raskin tidak bagus, belum lagi dari mutu lainnya yang sudah diatur Inpres,” terang Marjaya seusai rapat kerja.
Diberitakan sebelumnya, masyarakat Kabupaten Bekasi mengeluhkan mutu dan kualitas Raskin di bulan ini tidak seperti sebelumnya. Dalam Raskin, masyarakat banyak menemukan campuran menir ketimbang beras utuh. (enr)

http://www.radar-bekasi.com/?p=85729

Pejuang Program Pangan

26 Februari 2013

Sebagai wakil rakyat yang duduk di Komisi IV DPR, Firman Subagyo dituntut memperjuangkan nasib rakyat miskin, khususnya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petani dan masyarakat nelayan.
Pria kelahiran 1953 di Pati ini dikenal sebagai sosok politikus santun dan rasional dalam berpolitik. Dia menilai ironis bahwa peningkatan anggaran Kemtan yang terus dilakukan ternyata tidak mengubah tingkat kesejahteraan petani. Bahkan produksi pangan tidak pernah melampaui target atau apalagi swasembada. Akibatnya, impor selalu menjadi pilihan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional, mulai dari komoditas utama seperti beras hingga produk hortikultura seperti buah-buahan dan sayur-mayur.
Program swasembada daging juga dia nilai sangat lamban. Pelaku usaha di bidang pangan banyak yang melakukan praktik kartel semata untuk bisa menangguk untung besar. Karena itu, bagi dia, pemerintah tak bisa lain kecuali harus tegas dalam menyikapi masalah pangan.
"Untuk sektor pangan pokok, pemerintah harus pegang kendali. Toh itu juga dilakukan banyak negara lain," kata Ketua DPP Partai Golkar Korwil Pemenangan Jawa Tengah itu.

Suami Erny Soraya itu menegaskan, rapuhnya kendali pemerintah dalam menjaga ketahanan harga pangan nasional sudah berlangsung lama. Untuk itu, lulusan program Pascasarjana Hukum Bisnis Universitas Padjadjaran (Unpad) ini menilai sudah saatnya pemerintah mengeluarkan aturan turunan UU Pangan. (Bayu) 
 

Selasa, 26 Februari 2013

Perum Bulog Akan Stabilisasi Harga Kedelai

26 Februari 2013

JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah memutuskan untuk memberikan tambahan tugas kepada Perum Bulog untuk menstabilkan harga kedelai. Hal ini bertujuan untuk memberi insentif kepada petani kedelai sekaligus menjaga kelangsungan produksi perajin tahu dan tempe.
Demikian salah satu keputusan rapat koordinasi tentang ketahanan pangan yang dipimpin Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa di Jakarta, Senin (25/2). Hadir dalam pertemuan sekitar dua jam itu antara lain Menteri Pertanian Suswono, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan, Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati, Wakil Menteri Pekerjaan Umum Hermanto Dardak, dan Kepala Perum Bulog Sutarto Alimoeso.
Dalam keterangan pers usai rapat, Hatta menyatakan, forum telah tuntas membahas rancangan peraturan presiden tentang tambahan tugas kepada Perum Bulog untuk melakukan fungsi stabilisasi kedelai. Selanjutnya, dokumen tersebut akan segera dikirim ke Presiden untuk ditandatangani.
Guna mendukung fungsi stabilisasi itu, kata Hatta, Perum Bulog juga diberi kewenangan untuk mengimpor kedelai. Ini akan diatur lebih lanjut oleh Menteri Perdagangan. Impor kedelai oleh Perum Bulog tidak akan menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
”Kita harapkan petani akan semakin termotivasi untuk meningkatkan produksinya, yang harus kita akui tahun 2012 lebih kecil dibandingkan tahun 2011. Oleh sebab itu, dengan adanya itu, kita melindungi petani sekaligus menjaga agar perajin tempe dan tahu tidak terpukul dengan fluktuasi harga,” kata Hatta.
Gita Wirjawan menyatakan, pihaknya diberi tugas untuk menyelesaikan peraturan Menteri Perdagangan yang menjadi turunan dari peraturan presiden tentang tambahan tugas kepada Perum Bulog untuk menstabilkan harga kedelai. Hal ini akan menjadi payung hukum bagi Kementerian Perdagangan maupun Perum Bulog untuk membantu menstabilkan harga kedelai.
Suswono berpendapat, persoalan utama pada produk kedelai adalah harga yang tidak menguntungkan bagi petani sehingga mereka tidak bergairah menanam kedelai. Ini semakin diperparah dengan membanjirnya kedelai impor. Padahal, dari sisi kualitas, kata Suswono, kedelai dalam negeri jauh lebih bagus dari impor.
”Dulu tahun 1992 ketika kita swasembada kedelai, harga kedelai 1,5 kali harga beras. Sekarang karena dibanjiri impor dan harga impor jauh lebih murah maka petani akhirnya tertekan sehingga beralih ke tanaman lain, seperti tebu, padi, dan jagung, yang lebih menguntungkan,” kata Suswono.
Suswono menekankan perlunya tambahan 500.000 hektar areal lahan kedelai untuk swasembada kedelai. Namun hal yang telah diserukannya sejak awal itu belum pernah mendapatkan respons konkret sampai hari ini.
Pemerintah didesak untuk segera mengeluarkan harga pembelian pemerintah untuk kedelai. Janji tersebut sudah dilontarkan pertengahan 2012, namun sampai sekarang belum terealisasi. Padahal, HPP menjadi jaminan dan stimulus bagi petani untuk memacu produksi kedelai.
Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini mengatakan, kebijakan HPP kedelai sangat dinantikan petani dan perajin tahu-tempe. ”Kita nggak ngerti kenapa sampai sekarang belum keluar juga. Jika menyangkut kepentingan orang kecil seperti petani dan perajin, gerak pemerintah lamban. Giliran menyangkut kepentingan asing responsnya cepat,” kata Benny. (ENY/MAS/K06/K07/LAS)

http://cetak.kompas.com/read/2013/02/26/02341123/perum.bulog.akan.stabilisasi.harga.kedelai

Senin, 25 Februari 2013

Raskin Selalu Bermasalah Karena Dinikmati Oknum Tertentu

25 Februari 2013

KARIMATAFM - Madura, Pamekasan : Raskin (beras miskin) yang sejatinya diberikan kepada masyarakat miskin ternyata dinikmati oleh oknum tertentu yang menguasai raskin tersebut, hal itu terlihat dari banyaknya masyarakat yang melaporkan bahwa raskin tidak sampai kepada penerima manfaat.

Abdul Azis Pemerhati kesejahteraan masyarakat Pamekasan menuturkan Raskin di Pamekasan benar-benar didistribusikan namun tidak semuanya, hanya beberapa saja yang didistribusikan, namun paling banyak Raskin tersebut di endapkan atau di kaburkan oleh oknum tertentu. Sistem distribusi pendistribusian raskin yang selama ini dilakukan ternyata banyak celah dan memungkinkan adanya pengendapan beras hak rakyat itu.

“ Raskin memang didistribusikan namun ada pula yang tidak terdistribusi kepada masyarakat, hal ini karena pola distribusi yang tidak transparan”, katanya.

Sementara Khoirul Kalam Wakil Ketua DPRD Pamekasan juga menyampaikan bahwa sejauh ini, Raskin itu tidak membawa perubahan berarti bagi kesejahteraan masyarakat miskin. Artinya Raskin yang diberikan untuk mensejahterakan masyarakat justru berbanding terbalik.

Maka dari itu dirinya sepakat jika Raskin itu di hapus dan dialihkan kepada program lain yang bersentuhan langsung kepada masyarakat tanpa ada pola distribusi seperti raskin yang selama ini selalu menjadi masalah.

“ Kami lebih sepakat kalau ditiadakan karena keberadaannya hanya menyisakan persoalan yang rumit”, katanya.(Suhil/karimatafm.com)

Bulog Sandang Peran Stabilisator Harga Kedelai

25 Februari 2013

Metrotvnews.com, Jakarta: Badan Urusan Logistik (Bulog) yang biasa mengurusi tata niaga beras resmi memiliki peran dalam upaya menjaga kestabilan harga kedelai.

Langkah ini segera terelisasi setelah Peraturan Presiden tentang peran tambahan Bulog untuk melakukan stabilisasi harga kedelai sudah ditandatangani.

"Hari ini sudah selesai, Perpres tentang tambahan tugas Bulog untuk melakukan stabilisasi kedelai," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa seusai rapat koordinasi di Kantor Kemenko, Jakarta, Senin (25/2).

Hatta mengungkapkan, Bulog akan diberi wewenang dalam melakukan impor kedelai guna memenuhi konsumsi kedelai nasional. Keterlibatan Bulog dalam melakukan impor kedelai tidak menggunakan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). "Dia (Bulog) akan diberikan hak untuk impor," katanya.

Lebih jauh, Hatta menjelaskan, penetapan harga pokok penjualan (HPP) kedelai akan ditetapkan oleh Kementerian Perdagangan dengan berdasarkan harga pasar. Langkah ini dilakukan untuk mendapatkan patokan harga tertentu yang tidak merugikan baik perajin tahu dan tempe ataupun petani kedelai.

"Dengan demikian petani akan semakin termotivasi untuk meningkatkan produksi yang harus kita akui pada 2012 lebih kecil daripada 2011," ucapnya.

Kementerian Pertanian mencatat, produksi kedelai terus mengalami penurunan sejak 2009-2012. Pada 2009 produksi kendelai nasional sebesar 974.512 ton, 2010 sebesar 907.031 ton, 2011 sebesar 851.286 ton, dan pada 2012 sebesar 783.158 ton. (Anshar Dwi Wibowo/Agt)

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/25/2/133888/Bulog-Sandang-Peran-Stabilisator-Harga-Kedelai

Sabtu, 23 Februari 2013

Raskin Makin Tak Layak

22 Februari 2013

MALANG– Sekitar 32 sak raskin dikembalikan warga di Kelurahan Tanjungrejo, Sukun kemarin. Rumah Tangga Sasaran (RTS) dari beberapa RW merasa kondisi beras dalam keadaan tidak layak konsumsi. Beras yang dikembalikan di kelurahan tersebut lantas dicek ulang dan akan dikembalikan ke Bulog untuk ditukar dengan beras raskin yang layak konsumsi. Petugas Penyuluh Keluarga Berencana (PKB) Kelurahan Tanjungrejo, Sri Utami dibuat kuwalahan akibat puluhan sak raskin yang kembali di ruangannya setelah dibagikan pukul 10.00 kemarin. Wanita yang didapuk mengurusi raskin beberapa tahun terakhir tersebut juga bingung menilai kelayakan dari 32 sak beras tersebut. Menurutnya,  sebagian beras raskin memang tampak sangat jelek, tetapi sebagian besar terlihat layak dikonsumsi. “Ada sekitar enam sak yang menurut kami tidak layak konsumsi. Berasnya hancur, warnanya cokelat kekuningan. Beras seperti ini kalau dicuci banyak yang kopong (mengambang). Yang lainnya sepertinya sama dengan tahun lalu. Beras raskin memang seperti itu, tidak sebaik merek lain,” papar Sri sembari menunjukkan beras rusak tersebut.
Namun untuk mengecek kelayakan beras yang kembali, pihaknya akan menghubungi Bulog untuk melaporkan serta meminta penggantian beras. “Kalau Bulog sedang ada armada biasanya langsung dikirim penggantinya, tapi kalau tidak ada mungkin bisa dikirim Senin,” katanya. Di Kelurahan Tanjungrejo, Sukun tahun ini menerima kuota RTS sebanyak 1.273 RTS. Kuota tersebut menjadi yang terbesar diantara 11 kelurahan lain di Sukun ataupun diantara seluruh kelurahan di Kota Malang. Sementara kuota total Kecamatan Sukun tahun ini sebanyak 4.266 RTS. Masing-masing RTS menerima beras sebanyak 15 kilogram dengan harga Rp 1.600 per kilo atau Rp 24.000 setiap sak RTS.  Dikonfirmasi terpisah, Bulog Sub Divisi Regional VII/Malang membenarkan tentang adanya raskin yang dikembalikan dari Tanjungrejo.
Namun setelah petugas satuan kerja (satker) datang dan melakukan pengecekan di lokasi, terdapat 11 sak beras yang kemudian diganti karena tidak layak konsumsi. “Prosedurnya memang harus kita lihat dulu, kelurahan atau desa cukup telepon satker dan kami langsung ke lokasi. Di Tanjungrejo ada 11 sak yang diganti dan sudah dilaksanakan,” kata Wakil Kepala Bulog Sub Divre Malang, Ninik Setyowati kepada Malang Post. (pit/mar)

http://www.malang-post.com/tribunngalam/62427-raskin-makin-tak-layak

Kualitas Raskin Kembali Dikeluhkan

23 Februari 2013

MATARAM – Kualitas beras miskin (raskin) kembali dikeluhkan warga penerima. Kondisi beras yang kotor, berukutu dan penuh dengan kerikil membuat warga kebingungan untuk mengonsumsinya.
Seperti yang terjadi RT 4, Lingkungan Pejeruk Kebon Bawaq Timur, Kelurahan Kebon Sari, Kecamatan Ampenan. Sejak dibagikan beberapa hari yang lalu warga tidak henti-hentinya menggerutu dengan kualitas beras yang buruk. Namun, mereka terpaksa menerima.
Inaq Lumisah misalnya. Dia harus bersusah payah memilah kotoran beras yang baru didapatkannya dari lingkungan sebelum dimasak.  “Baunya apek sekali, kotor, banyak kutu dan kerikil,”keluhnya.
Menurut Lumisah, kondisi itu tidak hanya terjadi saat ini namun sudah sering kali. Bahkan dia pernah mendapatkan beras bercampur dengan beling dari pecahan kaca, namun ia tetap mengonsumsinya karena tidak ada lagi yang bisa dimakan.
“Setiap saya pilah dapat beling sejeput-sejeput (segenggam) lalu saya pisah dan buang, kalau saya makan mungkin tenggorokan saya sudah sakit,” tuturnya.
Lumisah mengaku harus bersusah payah untuk memasak beras tersebut. Jika tidak jeli, nasi yang dihasilkan bisa terasa mentah atau malah terlalu lembek. Untuk itu ia harus pandai-pandai menakar air yang digunakan untuk memasak.
“Salah sedikit cara masaknya pasti tidak enak, cepat benyek,” katanya.
Dengan pengahasilan pas-pasan sebagai pejual rujak membuatnya makin kesulitan saat jatah beras dipangkas dari 15 kg menjadi 5 kg. Hal itu dilakukan agar bisa dibagi rata dengan warga lainnya. Selain itu, dia harus merogoh kocek lebih dalam untuk mendapatkan raskin. Tiap kilogram dibeli dengan harga Rp 2.000 yang mestinya Rp 1.600.
“Tidak apa-apa kalau dibagi, biar kita sama-sama dapat. Tapi harganya lumayan mahal,”katanya.
Sementara  itu, Lurah Kebun Sari, Muhammad Faisal, mengatakan, jika ada beras yang rusak warga dianjurkan untuk segera mengembalikkannya dan akan diganti oleh pihak Bulog. Hal itu sudah menjadi komitmen awal sebelum pembagian dilakukan.
“Bulog sudah siapkan ganti kalau ada yang rusak,”katanya.
Sampai saat ini pihaknya belum mendapatkan laporan ataupun protes dari warga terkait beras yang rusak. Untuk itu dia akan segera melakukan koordinasi dengan masing-masing kepala lingkungan di kelurahannya. Mengenai harga beras yang mencapai Rp 2.000, dia sama sekali tidak tahu menahu. Sebab, dalam rapat di kelurahan harga raskin disepakati yakni Rp 1.600 per kg-nya. “Harga tetap, kami tidak pernah menaikkannya,” katanya.
Di Kelurahan Kebun Sari setiap bulan mendapat jatah raskin sekitar 264 karnung beras dari Bulog. Lingkungan Pejeruk Kebun Bawak Timur sendiri dijatah sekitar 52 sak beras. Beras-beras tersebut diserahkan langsung kepada lingkungan yang bertugas mendistribusikannya kepada warga. (cr-ili)

http://www.detiknews.net/read/2013/02/23/kualitas-raskin-kembali-dikeluhkan/

Kementan Usul Bulog Tangani Daging Sapi

22 Februari 2013

INILAH.COM, Jakarta - Kementerian Pertanian (Kementan) mengusulkan kepada pemerintah, untuk segera menunjuk Perum Bulog untuk mengatasi persoalan harga daging yang terus naik.

Demikian disampaikan Direktur Budidaya Ternak Kementerian Pertanian, Fauzi Luthan kepada INILAH.COM saat ditemui di Gedung DPR RI Jakarta, Jumat (22/2/2013). "Seperti halnya Bulog yang mengatur beras, tapi itu harus ada peraturannya dan itu ada ditangan Menko (Menteri Koordinator Perekonomian)," kata Fauzi.

Terkait usulan tersebut Kementan menurutnya hanya bisa mengusulkan. Karena impor daging sapi dilakukan oleh importir, pemerintah tidak bisa menentukan harga daging sapi. "Tugas Kementan hanya dari sisi produksinya saja, begitu juga dengan penentuan kuota. Kementan hanya mengusulkan saja dan yang menentukan tetap pemerintah," ujar Fauzi.

Menurut Fauzi, dengan adanya penugasan Bulog maka harga daging dapat distabilkan, disamping juga jaminan pasokan. "Aturannya akan seperti Bulog, sehingga harga bisa diatur," ucap dia. [hid]

http://ekonomi.inilah.com/read/detail/1961041/kementan-usul-bulog-tangani-daging-sapi#.USgez_Ix73U

Jumat, 22 Februari 2013

Sulapan Pasar Pangan

21 Februari 2013

DEDDY CORBUZIER, adalah pesulap paling populer. Tetapi masih kalah dengan ‘sulapan pasar pangan’ (SPP) yang sudah berjalan menahun. Bisa dicontohkan untuk beras misalnya, sulapan pasar bisa dibangun untuk pembenaran impor maupun ekspor. Waktu itu, kalau Anda mau impor, tersedia cukup data sebagai legitimasi. Pada masa yang bersamaan, ekspor pun memiliki pembenaran data pasar. Tentu data yang berbeda.

Khusus beras, makin terang sulapannya, meski tidak jelas siapanya. Menteri Pertanian menyatakan bahwa 2012 surplus sekitar 2 juta ton. Setidaknya hal tersebut tercantum dalam Road Map Percepatan Swasembada Beras. Akan tetapi Bulog ngotot harus impor sekitar 1,3 juta ton, 2012, setelah impor hampir 2 juta ton, 2011. Alasannya: perlu cadangan! Sungguh merupakan panggung sulapan Kabinet Indonesia Bersatu (KIB)-II.

Bulog menyatakan, kalau benar surplus 2 juta ton setahun pasti hari ini kita melimpah dengan surplus 5 tahun terakhir, 10 juta ton. 'Lha kok' harga naik? Begitu sinisnya Bulog terhadap surplus produksi Mentan. Bulog pun punya kompanyon. Kementerian Perdagangan RI, dalam suasana polemik menandatangani MoU dengan Vietnam, Oktober 2012, untuk dijatah bisa impor beras Vietnam 1 juta ton per tahun, 2013-2017.

Semua SPP masih kalah dibandingkan SPP mutakhir, ketika terkuak betapa jelasnya prosesi gratifikasi importasi sapi awal 2013. Pejabatpun berlagak terkejut, sepertinya barang baru. Padahal, gratifikasi adalah hobi lama,’kongkalikong’ as usual. SPP sudah terlalu lama populer. Aneh sekali kalau baru sekarang banyak pejabat, menteri sampai menko, bergaya sepertinya tidak pernah tahu. Teriakannya pun berlagak bersih 'bin pilon': “saya sungguh tidak tahu mekanisme impor; “ada to kartel pangan?”; “ternyata benar ya ada mafia pangan” dan “kalau begitu, investigasi segera kartel pangan!”. Dan masih banyak lagi.

Pilonisasi diri tentu menyakiti hati rakyat. Bagaimana bisa para pejabat ekonomis bangsa ini tidak mengetahui apa yang seharusnya dilakukan? SPP dipamerkan jelas sekali dalam pasar pangan RI. Itupun dilakukan dengan modus yang nyaris tidak pernah berbeda. Kebangetan sekali kalau tidak mengetahui. Berlagak tidak tahu barangkali ya? Nampaknya, sistem informasi masih kurang canggih.

SPP terjadi super jelas, 'ngegla' sekali, seperi balada mutakhir kedelai dan daging sapi. SPP dibangun sangat komprehensif dan multilevel, mulai akar rumput sampai politisi elite dan KIB-II. Bumbunya, bahkan sampai menyentuh urusan suci: spiritualitas. Pada tingkat akar rumput, keresahan publik konsumen dalam urusan tahu-tempe dan daging, digoreng terus untuk menuntut harga murah. Kalau konsumen tahu-tempe Ramadan lalu tidak bisa beli untuk buka puasa karena mahal, konsumen bakso dijejali dengan mahalnya daging dan isu bakso campur babi akhir 2012. Dua isu ini dibesar-besarkan untuk menekan KIB-II.

Pada tingkat pengusaha kecil, pengrajin tahu-tempe dipermainkan berlebihan dengan kelangkaan kedelai. Keresahan juga dibangun bagi komunitas pekerja rumah potong hewan karena tidak ada pekerjaan. Modusnya sama. Kedelai disimpan di gudang, dan sapi-sapi tetap dikandangkan. Adakah bedanya? Sama sekali tidak. Penimbunan itu biangnya. Politisnya, mereka digerakkan untuk demo besar-besaran agar KIB-II segera turun tangan. Apapun pangannya, SPP-nya sama.

Karena multidimensi krisis, bergabunglah aktivis bersyahwat, politisi bejat, akademisi tukang, spiritualis instan, birokrat karbitan, dan komprador dermawan, bersepakat kerjasama untuk melakukan pembijakan seolah bagi konsumen dan rakyat kecil. Birokrat idealis tak berdaya melawan tekanan SPP dan politik dadakan. Sistematis sulapannya, dan teramat transparan distribusi keuntungannya. KIB-II 'sami’na wa atho’na', meloloskan: pembebasan cukai impor kedele dan peningkatan kuota impor daging sapi. Itulah sebetulnya skenario SPP komprador.

Memang teramat transparan permainannya. Datanya sangat kelihatan. Inilah yang menjadi kewenangan KPK ke depan: berani tidak babat alas dengan misi kebangsaan?


Prof Dr M Maksum Machfoedz.
(Penulis adalah Guru Besar FTP UGM, Pengamat Sosial PSPK-UGM dan Ketua PBNU)

Komentar pembaca :

 paimun Kamis, 21 Februari 2013 | 18:24 WIB
Prof. semoga KPK tidak kehabisan energi untuk memerangi para penimbun pangan , termasuk daging sapi .Para penimbun pangan leluasa membangun jaringan bisnis dengan melakukan gratifikasi.Tukang pemberi gratifikasi akan melakukan permainan harga dan mengendalikan harga pangan sesuka hatinya dan tidak memperhatikan kepentingan rakyat banyak khususnya rakyat miskin yang menjerit kelaparan.
Ketika petani sedang panen raya harga beras jatuh. Saat harga beras murah pedagang bermodal besar memborong beras untuk ditimbun dalam gudang penyimpanan. Pada waktu musim paceklik tiba para penimbun pangan menjual berasnya dengan harga yang sangat fantastis tinggi.Kapankah semua anak bangsa ini mau jujur? Pada hal kejujuran adalah kunci sebuah kemajuan dan perekat yang kuat bagi persatuan dan kesatuan sebagai bangsa Indonesia. Keputusan untuk impor pangan dan daging sapi yang didasarkan pada data hasil rekayasa akan sangat merugikan rakyat. Jangan salahkan rakyat ketika rakyat tidak mau peduli lagi dengan beban berat yang ditanggung pemerintah kalau kebijakan yang ada hanya menguntungkan kelompok tertentu .
Tindakan pilonisasi dengan maksud membersihkan diri akan terang dibaca rakyat. Ibarat ia mandi dengan air kencing, yang bukannya badan menjadi bersih akan tetapi badannya akan semakin kotor. pemerintah memiliki banyak kementerian/Dinas yang bertugas melayani rakyat. Jika sampai tidak tahu adanya kartel pangan lantas apa kerja mereka? Jangan sampai benar kecurigaan orang selama ini akan kerja para birokrat kita hanya berkutat untuk urusan proyek yang pada akhirnya hanya menghambur-hamburkan uang dan tidak ada maknanya bagi rakyat. Sudah ganti rezim dan pemerintahan rakyat tetap saja banyak yang di bawah garis kemiskinan.Pemerintah jangan menjadi pesulap dan berucap bim sala bim abrakadabra. Petani dan peternak perlu perlindungan dari pemerintah agar produk hasil pertanian dan peternakan mendapat harga yang wajar ketika ia menjual hasil pertanian dan ternaknya. Perlindungan pemerintah dapat berupa subsidi pupuk , obat-obatan, dan kesanggupan pemerintah membeli hasil pertanian dan peternakan. Bisa saja pemerintah memberikan kredit murah ketika harga pangan sedang anjlok. Cara demikian menjadikan petani/peternak menunda menjual hasil produksi peternakan /pertaniannya sampai harga pangan menjadi wajar. Kadang posisi petani terjepit untuk membiayai sekolah anak-anaknya sehingga pada bula-bulan tertentu terpaksa menjual hasil pertanian/ternaknya untuk biaya pendidikan anak-anaknya.
Seharusnya semua kebijakan pemerintah pro rakyat banyak, bukan hanya berpihak pada kelompok orang apalagi kroninya. Sekalipun mungkin ia menjadi pejabat akibat diusung oleh partai, namun setelah menjabat di jajaran pemerintah sudah menjadi seorang negarawan dan milik seluruh rakyat. Menimbun barang dengan maksud mendapatkan keuntungan yang besar tetapi menyengsarakan rakyat dilarang keras oleh agama. Mari kita saling peduli dan empati antar sesama anak bangsa. Kita pererat lagi tali silaturahim agar sebagai bangsa tidak mudah dipecah belah dan diadu domba dengan isu kemiskinan dan ketidakadilan khususnya urusan pangan.

http://krjogja.com/liputan-khusus/analisis/1773/sulapan-pasar-pangan.kr

Bulog Mulai Bisnis Kedelai

22 Februari 2013

Peraturan Presiden Belum Juga Turun

Jakarta, Kompas - Hingga saat ini pemerintah belum menerbitkan payung hukum terkait penugasan baru kepada Perum Bulog dalam melakukan stabilisasi kedelai. Meskipun demikian, Perum Bulog memutuskan untuk memulai berbisnis kedelai.
Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso, Kamis (21/2), di Jakarta, mengatakan, Bulog pekan depan akan menandatangani kontrak kerja sama jual-beli kedelai dengan Koperasi Tahu Tempe Indonesia.
Sutarto belum memastikan berapa volume yang akan disepakati dalam kontrak itu. Namun, pihaknya berkomitmen akan terus memperbesar pasokan kedelai kepada mitra kerjanya itu sesuai dengan kebutuhan.
Kontrak kerja sama jual-beli dibuat sebagai jaminan kepastian pasar bagi Bulog. Bulog tidak ingin mengalami kerugian dalam bisnis barunya ini. Belum lagi banyak pesaing Bulog yang selama ini sudah menguasai pasar.
Karena belum mendapatkan payung hukum terkait penugasan barunya sebagai stabilisator harga kedelai dalam negeri, bisnis kedelai yang dirintis Bulog bersifat bisnis murni. Bulog akan mengimpor kedelai, lalu menjual ke koperasi-koperasi melalui mekanisme kontrak.
Meski sama-sama berbisnis seperti halnya swasta, perusahaan badan usaha milik negara ini akan mengutamakan transparansi atau keterbukaan dalam menjalankan usahanya. ”Kami akan transparan. Berapa harga kedelai yang kami beli, berapa biaya transportasinya, berapa untung yang diambil Bulog, semuanya akan kami sampaikan kepada koperasi-koperasi itu,” katanya.
Sebelumnya, Menteri Perdagangan Gita Wirjawan di Jakarta mengatakan, peraturan menteri terkait HPP kedelai sudah disiapkan. Pihaknya masih menunggu peraturan presiden sebagai payung hukum yang lebih kuat untuk mengakomodasi semua kepentingan, termasuk Bulog yang juga akan mengambil peran.
Menurut Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Srie Agustina, kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kepastian usaha bagi perajin tahu tempe dan mendorong peningkatan produksi kedelai dalam negeri. Dengan demikian akan tercipta sinergi antara produksi di sektor hulu dan industri pengguna di sektor hilir.
Ketua Kadin Bidang Ketahanan Pangan Franciscus Welirang (Franky) mengatakan, kelemahan dalam tata niaga komoditas pangan adalah tidak adanya standar yang ditetapkan pemerintah. Standar diserahkan kepada swasta.
Karena tidak ada standar, sering terjadi persaingan yang tidak sehat. Franky mencontohkan komoditas kedelai yang diimpor dan dijual kepada perajin tahu-tempe adalah kedelai dengan standar kualitas 3, yaitu untuk pakan ternak, bukan untuk konsumsi manusia. (MAS/eny)

http://cetak.kompas.com/read/2013/02/22/03040945/bulog.mulai.bisnis.kedelai

Rabu, 20 Februari 2013

Bulog batal jadi pengelola tata niaga kedelai

20 Februari 2013

Badan Urusan Logistik (Bulog) mengungkapkan kepercayaan diri untuk diserahi tugas mengelola tata niaga kedelai. Bahkan Menko Perekonomian Hatta Rajasa akhir bulan lalu menjamin Bulog akan diperluas fungsinya, termasuk mengelola pasokan kedelai nasional dari hulu sampai hilir.

Berbeda dari yang sudah diwacanakan selama ini, ternyata Bulog tidak masuk dalam skenario stabilisasi harga kedelai ala Kementerian Perdagangan. BUMN yang saat ini fokus mengurusi beras ini, tidak mendapat hak khusus mengimpor kedelai dari luar negeri.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kemendag Bachrul Chairi menyatakan mekanisme impor akan disesuaikan dengan rekam jejak perusahaan. Baik swasta maupun Bulog harus mengikuti prosedur yang sama. Alokasi impor BUMN itu bahkan disamakan seperti importir lain.

"Enggak (diberi alokasi lebih besar). Kita pakai past performance. (Peran Bulog) sama saja sesuai kemampuan, mereka yang terlibat dalam impor adalah mereka yang sudah berpengalaman tiga tahun mengimpor (kedelai) berturut-turut atau lima tahun meski tidak berturut-turut impor," ujarnya di Kalideres, Jakarta Barat, Rabu (20/2).

Bahkan, dalam bahasan mengenai peraturan menteri perdagangan (permendag) stabilisasi kedelai, Bulog sama sekali tidak dilibatkan. Tim diisi oleh Kemendag, Kemenko Perekonomian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Koperasi dan UKM, serta Koperasi Produsen Tahu Tempe Indonesia (KOPTI).

Berdasarkan penjelasan Bachrul, Kemendag menjadi instansi yang paling berperan mengendalikan gejolak harga kedelai. Bachrul menegaskan penentuan importasi kedelai tidak akan bernasib kisruh seperti daging. Sebab, sifatnya adalah impor sesuai kebutuhan di pasar, tidak dibagi dalam kuota tertentu.

"Jadi intinya KOPTI dan petani dapat harga tertentu (sesuai HPP), sisanya mekanisme pasar," ujarnya.

Aspek yang membedakan importasi kedelai dari skema impor daging ada pada pernyataan yang harus ditandatangani importir. Isinya mengatakan importir juga membeli kedelai dari petani lokal. Mereka juga harus taat aturan bahwa importasi bahan baku tahu tempe itu dilakukan dalam rangka stabilisasi harga.

"Enggak (mirip daging), kan ada pernyataan (importir) bukti bahwa mereka beli dr petani. Misal produksi petani 800.000 ton, alokasi impor setahun hanya 10 persen," kata Bachrul.

Direktur Utama Bulog Sutarto Alimoesso awal tahun ini padahal menyatakan siap mengelola tata niaga kedelai. Pihaknya berencana mendatangkan 400.000 ton kedelai impor sebagai cadangan menstabilkan harga bahan baku tempe tahu itu.

Hanya saja, saat itu Bulog memang meminta fasilitas khusus jika diberi tugas mengelola kedelai. Alasannya, BUMN ini sudah lama tidak mengatur tata niaga komoditas selain beras.

"Tidak bisa kita dilepas bebas mengurus kedelai, (swasta) ini kan sudah punya jaringan 10 tahun lebih, mereka sudah stabil. Kalau kita masuk tanpa pemerintah yang memberi fasilitas beda awalnya, ya berat. Itu logis aja dalam berdagang," kata Sutarto.
[arr]
 Reporter : Ardyan Mohamad
 
 

Selasa, 19 Februari 2013

Kerja Sama Gakopti - Bulog Dibutuhkan Payung Hukum

19 Februari 2013

Metrotvnewsmcom, Jakarta: Menjalin kerja sama dengan Bulog memberi angin segar bagi Gabungan Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Gakopti). Sayangnya, nota kesepahaman yang sudah diteken kedua pihak pada Senin kemarin belum didukung payung hukum dari negara.

"Kami bermimpi seperti yang dulu. Bisa bekerja sama dengan Bulog. Kemarin kami sudah tanda tangan kesepakatanya. Dengan demikian, nanti mengenai tata niaga ini, stabilisasi dan revitalisasi, Bulog bisa segera berjalan," ujar Ketua Umum Gakopti Aip Syaifudin dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/2).

Hal itu diamini Sukari, Ketua Pusat Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Puskopti) Jawa Timur yanmg turut hadir dalam acara ini. Menurut Sukari, kesepakatan tersebut bisa berjalan dengan baik jika sudah mendapatkan payung hukum dari negara.

"Jika Perpresnya tidak turun, minimal Permendagnya keluar. Agar ada payung hukum kita bergerak untuk bekerja sama dengan Bulog. Bulog sebagai perpanjangan tangan pemerintah otomatis tidak mau bergerak serampangan kalau tidak ada payung hukumnya. Takutnya nanti kan ada apa-apa," kata Sukari.(Farah Gita/Dsy)

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/19/2/132267/Kerja-Sama-Gakopti-Bulog-Dibutuhkan-Payung-Hukum

Impor Sapi dan Kedaulatan Pangan

19 Februari 2013

“Rakyat padang pasir bisa hidup, masa kita tidak bisa hidup! Rakyat
Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masa kita tidak bisa
membangun satu masyarakat adil makmur gemah ripah loh jinawi, tata
tentram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan,
si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa
menyelenggarakan sandang-pangan di Tanah Air kita yang kaya ini,
maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha
tolol.” (Pidato Bung Karno pada Konferensi Kolombo Plan di Yogyakarta tahun 1953)

Ungkapan dari Bung Karno 60 tahun yang lalu itu seakan masih sangat relevan dengan apa yang terjadi dalam konteks kekinian Indonesia menyangkut pemenuhan dan kemandirian pangan kita.

Baru-baru ini,  persoalan impor sapi kembali menyeruak ke jagad publik di Indonesia seiring dengan adanya dugaan suap impor sapi yang menerpa sebuah partai politik.

Terlepas dari soal indikasi adanya tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut, sebenarnya ada persoalan yang sangat krusial terkait dengan persoalan pemenuhan kebutuhan protein hewani yang dalam hal ini daging sapi. Sejatinya, importasi tidak hanya terjadi di sektor peternakan saja, namun bisa dikatakan pada hampir semua komoditas pangan strategis yang dikonsumsi orang banyak.

Terkait dengan importasi daging sapi di Indonesia, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi ketergantungan akan impor? Adakah kemungkinan Indonesia bisa membangun kedaulatan pangannya sendiri,  khususnya dalam hal pemenuhan daging sapi?

Untuk mencapai swasembada pangan termasuk daging sapi, pemerintah sejatinya telah melakukan berbagai upaya meski memang tidak mudah di era perdagangan bebas ini. Upaya tersebut juga tak jarang menghadapi tekanan dari negara lain. Pemerintah dan DPR sendiri sebenarnya telah merevisi UU 7/1996 tentang Pangan.

Dalam UU Pangan yang disahkan pada Oktober 2012 menegaskan,  di antaranya bahwa Indonesia tidak boleh dikendalikan oleh pihak mana pun dalam hal kebijakan pangan dan impor merupakan pilihan terakhir dalam memenuhi kecukupan akan pangan.

Sebelum direvisi, UU tersebut hanya mensyaratkan soal ketahanan pangan dengan adanya ketersediaan stok pangan tanpa memandang dari mana sumbernya, termasuk importasi. Oleh karenanya, ketahanan pangan dalam roh UU Pangan yang baru ini harus diperjuangkan dengan lebih membuka kesempatan bagi para petani dan peternak di Indonesia untuk berpartisipasi aktif dan menjadi bagian yang integral dari upaya mencapai kedaulatan pangan tersebut.

Untuk melihat seberapa jauh kekuatan Indonesia dalam memenuhi ketersediaan daging dari para peternak lokal dalam kerangka kerja Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) di tahun 2014, Kementerian Pertanian sendiri telah meminta Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melakukan Sensus Sapi atau yang dikenal dengan Pendataan Sapi Potong Perah dan Kerbau (SPPK) 2011.  Pendataan ini memiliki juga urgensi yang sangat mendesak untuk mengetahui sejauh mana Indonesia dapat mewujudkan swasembada daging sapi di tahun 2014 mendatang.

Berdasarkan hasil sensus yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia pada Juni 2011, diketahui Indonesia memiliki populasi sapi potong mencapai 14,8 juta ekor. Namun demikian, populasi sapi tersebut belumlah bisa dikatakan siap untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di Indonesia.

Meskipun konsumsi per kapita Indonesia relatif masih rendah jika dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia sendiri masih membutuhkan suplai daging sapi paling tidak 448.000 ton per tahun.

Kebutuhan daging sapi di Indonesia tumbuh secara positif seiring dengan semakin meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Misalnya, pada tahun 2011 kebutuhan per kapita 1,9 kg/tahun, tahun 2012 mencapai 2,2 kg/tahun. Bukan tidak mungkin kebutuhan daging sapi di Indonesia akan naik hingga 7 kg/tahun, seperti Malaysia.

Dari jumlah tersebut, baru sekitar 85 persen yang dapat dipenuhi oleh produksi daging sapi lokal. Konsekuensinya, Indonesia masih harus mengimpor dari negara lain, seperti dari Australia dan Amerika Serikat.

Integrasi Tanaman Ternak

Meski peternakan sapi di Indonesia telah berkembang cukup lama, namun umumnya upaya pemeliharaan sapi di Indonesia masih dijalankan secara konvensional. Umumnya usaha peternakan ini dijalankan sebagai usaha sambilan dan belum dikelola dengan pendekatan industri dan manajemen usaha ternak yang modern.

Dalam upaya memenuhi ketersediaan daging sapi domestik sebenarnya bisa disandingkan dengan usaha pertanian dan perkebunan, seperti padi, tebu, dan kelapa sawit, di mana residu usaha tani dan perkebunan tersebut bisa menjadi tambahan pakan ternak.

Kementerian Pertanian sendiri sebetulnya sudah mengimplementasikan program Sistem Integrasi Tanaman Ternak (SITT) yang juga dijabarkan dalam subsektor perkebunan dengan Sistem Integrasi Sapi - Kelapa Sawit sejak 2007. Sistem Integrasi Sapi - Kelapa Sawit kemudian digalakkan di perkebunan swadaya masyarakat, perusahaan besar swasta, dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN).

Sebagai langkah awal dari program tersebut, pemerintah memberikan bantuan sapi kepada para petani dengan cara bantuan bergulir. Juga diberikan bantuan kandang dan penyuluhan mengenai masalah pemeliharaan dan pola pakan ternak. Ketika diintegrasikan dengan usaha tani dan perkebunan, sapi yang pakan utamanya rumput, dicoba dikomplementerkan dalam bentuk menu tambahan pakan ternak yang berasal dari residu usaha perkebunan dan pertanian.Misalnya pakan dari pelepah daun sawit yang dicacah dengan mesin.

Selain itu, limbah kotoran dan urine sapi dapat dimanfaatkan untuk pupuk kebun. Dengan integrasi ini, kendala permasalahan lahan dan pakan ternak bisa diatasi secara simultan.

Selain itu, limbah ternak tersebut juga dapat digunakan sebagai sumber energi untuk penggerak tenaga listrik dan kompor gas untuk memasak. Implementasi konsep ini telah menunjukkan kesuksesan di Provinsi Bengkulu, Riau, dan Kalimantan Tengah. Di samping itu, upaya ini bisa mengatasi persoalan keterbatasan lahan yang dapat disandingkan dengan upaya pemaksimalan usaha tani dan perkebunan.

Selain pelaksanaan konsep integrasi tanaman ternak di atas, diperlukan pula dukungan berupa edukasi kepada para petani dan peternak serta penumbuhan kesamaan pijakan (common ground) mulai dari perbankan, swasta, dan pemerintah untuk mencapai kedaulatan pangan khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia.

Sebagaimana halnya pada komoditas lainnya, diperlukan terobosan baru untuk memperbaiki tata niaga peternakan sapi mulai dari hulu ke hilir dengan mempersempit kemungkinan terjadinya perburuan rente. Indonesia harus mampu berdaulat atas kebutuhan pangannya sendiri hingga apa yang pernah diungkapkan Bung Karno di atas tidak harus selalu terulang kembali.

http://www.beritasatu.com/blog/ekonomi/2201-impor-sapi-dan-kedaulatan-pangan.html

Kapitalisasi Agribisnis

19 Februari 2013

Indonesia adalan Negara agraris” hanya tinggal kenangan. Beberapa tahun ke belakang ini kita telah disadarkan bahwa kondisi pertanian kita masih rapuh, dan sangat labil dalam persaingan di tingkat global. Dimana kekuatan global yang menganut kepada ‘mahzab’ mekanisme pasar dalam Sistem Kapitalisme, menjadikan Indonesia salah satu negara ‘pengimpor beras’ terbesar di dunia. Mulai tahun 1995 indonesia masuk pada perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture) WTO. Implikasinya adalah menghilangkan sedikit demi sedikit subsidi pemerintah terhadap petani dan pengurangan subsidi ekspor. Selain itu, perjanjian internasional yang disepakati pemerintah adalah TRIPs. Perjanjian ini mewajibkan setiap Negara untuk memberikan paten terhadap penemuan dibidang bioteknologi termasuk lingkup pangan dan pertanian. Celakanya, perusahaan multinasional telah menguasai 97 persen paten di dunia artinya petani kita yang ada di desa harus membeli bibit dari korporasi-korporasi besar.
Keberpihakan pemerintah terhadap korporasi jelas terlihat pada Forum Ekonomi Dunia di Jakarta, Juni 2011 lalu, Indonesia resmi mengadopsi pendekatan ekonomi hijau. Dengan formula 20-20-20 (meningkatkan produksi pangan 20%, menekan emisi gas rumah kaca 20%, dan menekan kemiskinan 20%), pemerintah menggandeng 14 korporasi multinasional seperti Nestle, Monsanto, Cargill, Unilever, dan Danone. Dengan dalih ekonomi hijau, pencaplokan korporasi nasional oleh MNCs akan kian masif. Agenda ekonomi hijau hanya kelanjutan dan bagian dari usaha melempangkan jalan korporatokrasi pangan yang telah berjalan. Bukankah sejumlah MNCs seperti Danone (Prancis), Unilever (Inggris), Nestle (Swiss), Coca Cola (AS),HJ Heinz (AS), Campbels (AS), Numico (Belanda), dan Philip Morris (AS) sudah sejak lama mencaplok produk pangan local. Kecap dan saus ABC misalnya, 65% sahamnya dimiliki Heinz, seluruh saham PT Sariwangi dicaplok Unilever, 75% saham Aqua dimiliki Danone, dan 100% saham Ades dimiliki Coca Cola. Alih-alih mendongkrak produksi pangan, menekan emisi GRK dan kemiskinan, mengadopsi pendekatan ekonomi hijau bisa jadi justru melanggengkan penjajahan sumber daya alam dan manusia Indonesia, khususnya petani.
Demikian halnya dengan RUU Pangan.  RUU ini merupakan salah satu RUU inisiatif DPR dan memiliki banyak kelemahan, bahkan menyimpan potensi bahaya dan merugikan masyarakat banyak.  Berbagai kelemahan dan bahaya itu seperti yang bisa dilihat dalam paparan berikut. RUU ini jelas sekali mengusung spirit neo liberal.  RUU ini justru mengusung liberalisasi sektor pangan.  Hal itu tampak dari diberinya kesempatan luas bagi daerah dan akhirnya kepada swasta untuk mengimpor pangan.  Bahkan impor pangan menjadi salah satu sumber penyediaan cadangan pangan dan mewujudkan ketersediaan pangan.
Kran impor terbuka lebar sejak Indonesia ikut menyepakati perjanjian Asia Free Trade Area (AFTA) tanggal 28 Januari 1992 bersama lima Negara asean lainnya. Implikasinya impor bahan pangan ke Indonesia semakin menjadi-jadi. Impor bahan-bahan pangan seperti garam, gula, ikan dan kentang selalu meningkat dari tahun ke tahun. UU Holtikultura semakin memperparah impor produk-produk holtikultura ke Indonesia. Selain itu, impor beras dari Vietnam dan impor sapi dari Australia juga kerap kali masih tetap dilakukan oleh pemerintah. Ironisnya, Indonesia merupakan Negara sebenarnya bisa memproduksi sendiri bahan pangan tersebut akan tetapi sekali lagi pemerintah selalu berpihak ke korporasi-korporasi besar yang menjanjikan keuntungan pribadi ketimbang mensejahterahkan rakyatnya.

Pemerintah Dituding Sengaja Pelihara Mafia Kartel Pangan

18 Februari 2013

Data Pelaku Sudah Banyak Dipasok, Tapi Nggak Diberantas

RMOL.Upaya nyata pemerintah memberantas praktik kartel pangan ditunggu. Pasalnya, selama ini data perusahaan yang melakukan praktik curang itu sudah banyak dilaporkan.

Ketua Komisi Pengawas Per­saingan Usaha (KPPU) Nawir Messi menyambut baik niat pe­merintah memberangus praktik kartel pangan. Dia berharap,  niat itu jangan sebatas wacana sa­ja, tetapi perlu tindakan nyata.

“Setiap terjadi kelangkaan stok pangan, pemerintah selalu bilang akan melakukan pembe­rantasan. Itu sudah sering di­ung­kapkan. Tapi nyatanya, ti­dak ada tindakan tegas apa-apa,” kata Nawir ke­pada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut Nawir, pihaknya se­lama ini secara rutin melakukan pengawasan persaingan usaha. Penyelidikan dilakukan tidak ha­nya ketika masyarakat ba­nyak protes.

Dari hasil penyelidikan itu, KPPU menemukan bukti praktik kartel pangan.

Berdasarkan hasil pe­nyelidikan KPPU, nama-mana peru­sahaan yang melakukan ke­cura­ngan selalu dilaporkan ke DPR dan pemerintah.

Nawir tidak hafal siapa saja pe­mainnya. Yang jelas, jumlah­nya banyak.

“Pola kecurangan prak­tik kar­tel selama ini selalu sama, tapi pe­lakunya berbeda-beda. Ganti pe­jabat berwenang, ber­ganti juga pelakunya,” te­rangnya.

Kenapa data pelaku tidak di­buka saja ke publik? Nawir me­nga­­­takan, pihaknya tidak mau me­nimbulkan kegaduhan politik.

Dia mengungkapkan, untuk mengantisipasi dan mem­per­mu­dah mendeteksi praktik kar­tel, KPPU sudah melakukan Memo­randum of Understanding (MoU) dengan Kementerian Hu­­kum dan HAM.

“Melalui sismin­bakum, nanti kita bisa lebih mudah mengetahui keterkaitan antara setiap peru­sahaan dalam melakukan per­saing­an bisnis,” jelasnya.

Tekad pemerintah memberan­tas praktik kartel sebelumnya ber­kali-kali disampaikan Men­ko Per­ekonomian Hatta Rajasa, saat merespons mahal­nya harga da­ging sapi.

“Kalau ada kartel kita sikat ra­mai-ramai karena praktik itu me­nyengsarakan rakyat. Jangan sam­pai ada kartel di negeri ini, apa­lagi memainkan harga,” kata Hatta di berbagai kesem­patan.

Kamar Dagang Indonesia (Ka­­­din) mensinyalir, ada enam ko­moditas dikuasai pelaku kar­tel. Komoditas tersebut, yaitu da­ging sapi, daging ayam, gula, ke­delai, jagung dan beras.  Di­per­kirakan, nilai transaksi dari prak­tik itu me­nembus Rp 11,3 triliun pada ta­hun lalu.

Bekas Ketua KPPU Tadjuddin Noer Said yakin, praktik kartel su­dah la­ma diketahui pemerin­tah. Praktik tersebut ter­sem­bu­nyi dan teror­ganisir. Tapi sa­yang, tidak ada upaya nyata pe­me­rin­tah un­tuk memberan­tas­nya.

“Kartel itu seperti sengaja di­peli­hara pemerintah,” tuding­nya.

Dia menilai, bagus bila peme­rintah serius mau memberantas­nya. Menurutnya, selama ini pe­me­rintah baru bergerak bila ada tekanan besar dari publik. Itu pun bersifat jangka pendek.

Dari data yang pernah dike­ta­huinya, praktik kartel terjadi karena peran besar importir. Se­dikitnya jumlah importir mem­buat me­reka menguasai pasar ham­pir 90 persen. Dengan be­gitu, mereka bisa melakukan praktik kartel.

Wakil Ketua Umum Kadin Natsir Mansyur memperkira­kan, keuntungan importir pa­ngan dari praktik kartel selama ini rata-rata 15 hingga 30 persen dari nilai impor.

Menurut Natsir, untuk mem­bong­kar perusahaan mana yang mela­kukan praktik kartel sebe­narnya tidak sulit. Caranya, bisa dilaku­kan dengan melihat peru­sahaan apa dan menguasai ko­moditas apa.

“Dari situ bisa di lihat siapa yang menguasai komoditas dan bagaimana mengatur pasokan dan harganya,” katanya. [Harian Rakyat Merdeka


http://ekbis.rmol.co/read/2013/02/18/98860/Pemerintah-Dituding-Sengaja-Pelihara-Mafia-Kartel-Pangan- 

Senin, 18 Februari 2013

Mengurai Kemelut Impor Daging Sapi

18 Februari 2013

"Pemerintah harus segera menyelesaikan kemelut impor daging untuk mewujudkan swasembada daging 2014"

BELUM hilang memori kolektif rakyat Indonesia tentang impor beras di tengah surplus komoditas pangan itu. Kejadian ''aneh'' itu disusul kelangkaan kedelai karena kemenurunan pasokan impor, dan berdampak pada harga melambung tinggi. Kini meledak skandal daging impor. Kasus yang terakhir ini diperparah oleh ulah petinggi partai politik yang diduga ikut mengatur kuota dan penentuan pengimpor, tentu dengan imbalan menggiurkan.
Dari berbagai kasus tersebut, kita bisa melihat banyak pihak, termasuk penyelenggara negara dan petinggi partai, masih senang menerabas jalan asal mencapai tujuan.
Mereka menebalkan budaya menghalalkan segala cara, hedonisme, dan materialisme, bahkan menjadikannya sebagai pedoman. Keadaan ini selaras dengan hasil penelitian UIN Syarif Hida­yatullah Jakarta beberapa waktu lalu yang menyimpulkan bahwa di Indonesia ibadah vertikal tidak berkorelasi dengan ibadah horizontal.
Mafia impor daging begitu mudah dilakukan karena dalam kondisi surplus beras saja, dapat dilakukan impor. Apalagi rencana swasembada daging baru dilaksanakan tahun 2014. Karena baru rencana, berarti masih boleh menerabas dan itu kesempatan. Anggapan seperti ini menggambarkan kekacauan penanganan masalah pangan dan pertanian di negeri ini. Karena itu, beberapa pihak memprediksi target swasembada daging tahun 2014 sulit tercapai.
Melihat dari ranah ekonomi politik, berbagai kasus impor itu tak lepas dari teori perburuan rente yang dilakukan oleh segelintir orang demi kepentingan diri sendiri atau kelompoknya. Tahun 2013 merupakan tahun persiapan Pileg dan Pilpres 2014 sehingga butuh dana besar untuk pemenangan.
Celah-celah perolehan rente dapat dilakukan lewat berbagai cara, dan salah satunya mengimpor, semisal impor daging sapi. Penunjukan perusahaan pengimpor  tidak terlepas dari teori perburuan rente tersebut.
Konsumen yang akhirnya menjadi korban mengingat kartel sudah memainkan harga komoditas itu. Tak mengherankan bila harga daging sapi di Indonesia paling mahal di dunia.  Sekarang harga komoditas itu sudah hampir Rp 100 ribu/ kg, padahal di Malaysia hanya sekitar Rp 50 ribu, Singapura dan Thailand antara Rp 40 ribu dan Rp 50 ribu, sama seperti harga di Australia, pusat daging sapi.
Petani dan peternak sapi di negara kita juga dirugikan pula karena komoditas impor itu lebih baik dalam banyak hal, termasuk harga yang kompetitif. Perilaku pemburu rente itu berdampak buruk pada upaya pemberdayaan petani dalam negeri. Mereka akan melihat keuntungan sangat besar dari mengimpor, ketimbang repot memproduksi sendiri.
Praktik mafia daging impor ataupun berbagai bentuk pelanggaran hukum lain tidak dapat dibiarkan karena mmbahayakan kelangsungan hidup berbang­sa dan bernegara. Karena itu karut-marut impor daging harus cepat diselesaikan. Penegakan hukum sangatlah penting, dan kita bisa belajar dari banyak negara yang dulu penuh onak korupsi kini bisa bang­kit, hidup bersih dan maju, lewat penegakan hukum yang berkeadilan.
Komitmen Pemerintah   
Dalam bidang pertanian (dalam arti luas termasuk peternakan) kita juga bisa belajar dari negara lain. Amerika Serikat, Jepang, dan China, yang kini industri manufakturnya menguasai dunia, mengawali dari kemajuan sektor pertanian.
Vietnam yang baru saja terlepas dari krisis politik, dapat mengejar ketertinggalan dalam pembangunan, dengan menggenjot pembangunan sektor pertanian.
Thailand, yang juga dulu belajar pertanian dari Indonesia, sekarang lebih maju karena pemerintah benar-benar komit memajukan berbagai subsektor pertanian. Petani di Negeri Gajah Putih itu hanya diminta berkonsentrasi dalam proses produksi, sementara negara dan instansi terkait, memfasilitasi, mendukung, dan mengawal kegiatan petani. Sinergitas antara petani dan pemerintah membuat hasil pertanian mereka menjadi luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun kualitas.
Pemerintah, wakil rakyat, dan pengusaha, termasuk penegak hukum, harus segera menyelesaikan kemelut impor daging untuk bisa mewujudkan program swasembada daging 2014. Kata kuncinya adalah cinta kepada Tuhan yang dimanifestasikan dalam wujud cinta kepada Tanah Air.  Komitmen dan integritas tinggi harus tetap tertuju kepada rakyat kecil, salah satunya tertuju pada kesejahteraan petani, termasuk peternak.
Pertumbuhan populasi sapi pada sentra penghasil daging sapi, seperti di Jawa Tengah, Jawa Barat, Lampung, Bali, NTB, NTT, Sulawesi Selatan, dan Papua saat ini cukup baik. Bila  pemerintah bisa de­ngan cepat membasmi praktik mafia impor daging sapi, diikuti dengan pemberdayaan peternak, termasuk di Jateng, serta perbaikan sarana dan prasarana transportasi maka masih ada waktu untuk mewujudkan swasembada daging.
Dengan berswasembada, konsumsi daging akan meningkat dan rakyat negeri ini menjadi makin sehat dan lebih produktif. (10)

–  Purbayu Budi Santosa, guru besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip, pengampu mata kuliah Ekonomi Kelembagaan dan Pertanian 

http://www.suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2013/02/18/215617/10/Mengurai-Kemelut-Impor-Daging-Sapi 

IMPOR DAGING SAPI Kartel Pangan Harus Diberantas

18 Februari 2013

JAKARTA (Suara Karya): Pemerintah harus merespons kenaikan harga dan kendala distribusi berbagai bahan pangan utama maupun komoditas pertanian sepanjang musim hujan pada 2013. Selain itu, tingginya harga bahan pangan yang dibutuhkan masyarakat juga tak lepas dari adanya praktik kartel pangan.
Rangkuman pendapat tersebut disampaikan ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) Pande Radja Silalahi, Sekjen Dewan Pengurus Nasional Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Fadli Zon, Direktur Eksekutif Institut for Global Justice (IGJ) M Riza Damanik, serta pakar pertanian HS Dilon, di Jakarta, secara terpisah.
Menurut Fadli Zon, melonjaknya harga daging sapi, kedelai, serta beberapa komoditas lain tidak lepas dari keberadaan kartel pangan yang tetap eksis hingga saat ini. Terbongkarnya kasus impor daging sapi, lanjut dia, merupakan bukti kuat terjadi praktik tersebut.
Keberadaan kartel pangan tersebut dipastikan memiliki jaringan yang kuat ke pihak pengambil keputusan. "Mereka berkolusi dengan penguasa," ujarnya.
Untuk itu, informasi dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menyebutkan adanya kartel, seharusnya membuat pemerintah segera mengambil tindakan untuk menertibkannya. "Bukan justru minta publik tak gegabah menyalahkan adanya kartel," tuturnya.
Pemerintah dianggapnya terlalu percaya diri dengan sistem yang dibuatnya. Bahkan, terlalu yakin dengan sistem yang ada, sehingga menghindari praktik kartel. Akibatnya, pemerintah pun enggan menyelidiki keberadaan kartel.
Dia mengatakan, keberadaan kartel pangan sekaligus menjadi bukti lemahnya Undang-Undang UU Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha. Sebab, saat UU Antimonopoli itu dibuat, kata Fadli, konteksnya hanya sekadar memenuhi pesanan International Monetary Fund (IMF).
Menurut dia, to-tal impor pangan Indonesia pada 2012 senilai Rp 81,5 triliun. Dari jumlah itu, Fadli menyebut kartel importir bahan pangan mengambil 30 persen keuntungan per tahun atau sekitar Rp 11,3 triliun. Kartel pangan juga sering memanfaatkan kelemahan pemerintah, misalnya memanfaatkan lemahnya akurasi data pangan, sebagaimana sering terjadi dalam sensus cadangan sapi nasional.
"Simpang siur data pangan inilah yang sering kali dimainkan kelompok kartel," ujarnya.
Sementara itu, M Riza Damanik mengatakan, akibat tidak akuratnya data pangan memicu meningkatnya impor pangan. "Karena data yang tidak akurat ini menjadi jalan untuk membuka keran impor pangan," kata Riza.
Kelemahan data ini, lanjutnya, bisa terjadi karena antarkementerian kurang padu, baik itu Kementerian Perdagangan, Kementerian Per-industrian, maupun kementerian terkait lainnya. Akibatnya, tidak sedikit oknum pegawai di pemerintahaan yang dengan sengaja memanfaatkan kelemahan data untuk kepentingan tertentu.
Riza juga berpendapat, keikutsertaan Indonesia dalam WTO juga tidak mampu menahan derasnya alih fungsi lahan pertanian dan hutan produktif untuk kegiatan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit. Hal ini berdampak langsung terhadap upaya pemiskinan rakyat Indonesia.
Menurut dia, impor produk pangan menjadi bisnis yang identik dengan praktik manipulatif hingga koruptif. Hal tersebut terlihat dalam penangkapan anggota Komisi I DPR Luthfi Hasan Ishaaq atas dugaan keterlibatannya dalam permainan kuota impor daging.
Untuk memperbaiki kondisi pangan ini, Pande Radja Silalahi mengatakan, pemerintah harus melakukan perbaikan stok. "Dibarengi dengan kelancaran distribusi barang ke setiap daerah," kata dia. Dengan demikian, kelangkaan barang yang berdampak pada kenaikan harga bisa segera teratasi.
Meski demikian, dia mengatakan, keakuratan data produksi dan stok bahan pangan harus benar-benar dijaga, karena kelangkaan pangan yang terjadi bisa menjadi permainan baru para importir untuk mengeruk keuntungan di tengah situasi yang terjadi untuk memenuhi stok pangan nasional.
"Jika memang benar terjadi kekurangan stok pangan karena adanya gangguan produksi akibat banjir, maka melakukan impor untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi tidaklah masalah, tetapi data tersebut harus valid, jangan malah produksi petani lokal yang ada diabaikan, dan lebih memilih untuk impor," ujar Pande.
Sebelumnya, pakar pertanian HS Dillon mengatakan, penyebab terjadinya gejolak harga komoditas pangan saat ini akibat ketidakmampuan dan rendahnya pola pikir pejabat-pejabat di Kementerian Pertanian, termasuk Menteri Pertanian sendiri. Mereka dinilai hanya memikirkan rencana jangka pendek, sehingga tidak bisa merealisasikan program jangka panjang yang bertujuan mewujudkan swasembada pangan, termasuk daging sapi.
"Beberapa tahun lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sudah memerintahkan kepada Menteri Pertanian untuk melakukan restrukturisasi sektor pertanian secara luas, tetapi instruksi ini tidak dijabarkan dalam program dan kebijakan yang konkret dan jelas. Akibatnya, hingga kini tidak terlihat ada keberhasilan dalam program ini," tuturnya.
Menurut dia, di dalamnya tentu termasuk peningkatan produksi daging hingga mencapai swasembada. "Menteri Pertanian hanya terfokus pada program lima tahunan saja, bukan membuat strategi dan kebijakan jangka panjang," katanya.
Menteri Pertanian (Mentan) Suswono dinilai gagal dalam mewujudkan swasembada. Hal ini, menurut dia, tercermin dari kebijakan Kementerian Pertanian yang tidak jelas dan bersifat jangka pendek, seperti dalam program pengadaan daging sapi.
Brdasarkan pantauan di tingkat eceran dan pasar tradisional, harga bahan pangan masih bertahan tinggi, misalnya harga telur ayam saat ini masih Rp 19.000 per kilogram (kg). Bahkan, saat ini, harga kedelai impor naik, paling rendah Rp 7.450 per kg atau Rp 400 lebih mahal ketimbang pada akhir 2012.
"Pusinglah. Padahal pada akhir Januari juga sudah naik," kata seorang perajin tempe, Budi Sudarno.

Akhir Desember 2012, harga kedelai masih Rp 7.050-Rp 7.100 per kg, kemudian menjadi Rp 7.350-Rp 7.400 per kg di akhir Januari 2013, dan bertengger di angka Rp 7.450 per kg pada sepekan ini. (Bayu/Budi Seno)
 
 Pande Radja Silalahi, Ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS)
 

Sabtu, 16 Februari 2013

Mendesak, Investigasi Kartelisasi Impor Pangan

15 Februari 2013

JAKARTA — Anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Viva Yoga Mauladi, mengatakan, kuota impor pangan selalu bermasalah, karena ada indikasi adanya moral hazard. Tak hanya impor sapi, tapi impor pangan lainnya, seperti gandum, kedelai dan lainnya. Karena itu tak heran, bila muncul dugaan adanya kartelisasi impor pangan. Aparat penegak hukum, seperti kepolisian dan KPK, mesti menginvestigasi dugaan itu.
“Kami minta aparat kepolisian dan KPK, untuk melakukan investigasi benarkah ada dugaan penimbunan dan kartelisasi, yang membuat stok berkurang. Kalau terjadi itu pelanggaran hukum dan perundang-undangan,” kata Viva, Kamis (14/2).
Viva mengakui, soal tata niaga impor pangan, khususnya daging sapi, gandum dan kedelai, sangat buruk. Idealnya kata dia, ketika menentukan kuota impor, pemerintah berkonsultasi dengan DPR. Tapi karena pemerintah menganggap itu domainnya, konsultasi tak dilakukan. “Kalau mau impor, tanpa konsultasi, langsung impor. Sementara kalau pemerintah meminta data kebutuhan masyarakat, masing-masing kementerian datanya berbeda. Berapa sih kebutuhan riilnya, sampai sekarang masih teka-teki,” tuturnya.
Mestinya data itu satu. Perbedaan data kebutuhan itu, hanya menunjukan pemerintah tak tertib administrasi. Kuat kemungkinannya juga ada moral hazard yang membuat peluang permainan impor terbuka. “Ini pula yang membuat kartelisasi terjadi,” kata dia.

Taryono Asa — HARIAN TERBIT

Editor — Fenty Wardhany
http://www.harianterbit.com/2013/02/15/mendesak-investigasi-kartelisasi-impor-pangan/ 

IGJ: WTO Perparah Ketergantungan Pangan Impor

15 Februari 2013

Metrotvnews.com, Jakarta: Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam "Gerakan Rakyat Lawan Neokolonialisme" mendesak Pemerintah dan DPR mengeluarkan Indonesia dari keanggotaan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sebab, WTO hanya melemahkan daya saing Indonesia dan berdampak pada meluasnya praktik korupsi dan impor pangan.

"Keikutsertaan Indonesia dalam WTO juga tidak mampu menahan derasnya alih fungsi lahan pertanian dan hutan produktif untuk kegiatan pertambangan batubara dan perkebunan kelapa sawit, yang berdampak langsung pada penindasan dan pemiskinan rakyat Indonesia," kata Direktur Eksekutif Institute Global for Justice (IGJ) M. Riza Damanik dalam siaran pers di Jakarta, Jumat (15/2).

Riza menyebut, impor produk pangan menjadi bisnis yang identik dengan praktik manipulatif hingga koruptif. Hal itu terlihat dalam penangkapan Luthfi Hasan Ishaaq atas dugaan keterlibatannya dalam permainan kuota impor daging.

"Berdalih untuk melindungi kepentingan nasional terhadap aturan WTO yang melarang pembatasan impor, penetapan kuota impor telah menimbulkan persekongkolan antara importir dengan pemerintah," ujarnya.

Impor pangan, kata Riza, telah menyedot anggaran lebih dari Rp125 triliun yang digunakan untuk impor daging sapi, gandum, beras, kedelai, ikan, garam, kentang, dan komoditas pangan lainnya pada 2012.

Tidak hanya itu tambah Riza, WTO juga telah menempatkan Indonesia pada posisi lemah hingga tidak berdaulat berhadapan dengan bangsa-bangsa di dunia.

"Rejim perdagangan bebas WTO telah mengancam hak bangsa dan negara Indonesia untuk menentukan kebijakan pangan dan pertanian yang berguna untuk kepentingan Indonesia. Pemaksaan membuka keran impor jelas menggerus kedaulatan pangan kita. Pasar dan harga domestik hancur," tegasnya.(Ant/Tii)

http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/02/15/2/131362/IGJ-WTO-Perparah-Ketergantungan-Pangan-Impor

Jumat, 15 Februari 2013

RUU Liberalisasi Perdagangan

14 Februari 2013

Saya sangat geram membaca naskah akademik RUU Perdagangan yang saat ini sedang dibahas DPR.
Dalam naskah akademik (NA) yang disusun Kementerian Perdagangan itu, kita tidak hanya dapat menyaksikan buruknya apresiasi Kementerian Perdagangan terhadap Pasal 33 UUD 1945. Dari berbagai paragraf yang terdapat dalam NA itu, kita dapat menelusuri kecenderungan Kementerian Perdagangan melecehkan Pasal 33 UUD 1945.
Hebatnya, pelecehan terhadap Pasal 33 UUD 1945 itu vulgar sejak halaman pertama. Simak, misalnya, Bab I.A.1 butir g mengenai Landasan Filosofis yang mendasari penyusunan NA itu. Menurut NA tersebut, ”Market mechanism is the best mechanism for the economy.”
Dengan landasan filosofis yang diadopsi secara mentah-mentah dari paham ekonomi liberal itu, kandungan berbagai paragraf yang terdapat dalam NA itu menjadi mudah ditebak. NA RUU Perdagangan tampaknya memang disusun sebagai bagian dari upaya sistematis untuk menyingkirkan Pasal 33 UUD 1945.
Demokrasi ekonomi
Gambaran yang lebih jelas mengenai pelecehan Pasal 33 UUD 1945 yang dilakukan NA RUU Perdagangan itu dapat disimak dalam Bab II dan III. Sebagaimana dikemukakan oleh NA tersebut, asas-asas yang digunakan dalam menyusun NA itu antara lain mengacu pada Pasal 33 UUD 1945 (hasil amandemen keempat). Sehubungan dengan itu, salah satu asas yang digunakan dalam menyusun NA RUU Perdagangan itu adalah asas demokrasi ekonomi.
Sepintas lalu pencantuman asas demokrasi ekonomi itu memang tampak heroik. Namun, bila dikaji lebih jauh, akan segera diketahui bahwa tindakan itu sesungguhnya hanyalah basa-basi.
Sikap basa-basi itu antara lain dapat disimak pada tiadanya definisi yang jelas. Bahkan, menyimak uraian yang terdapat dalam NA itu, tidak berlebihan bila ditarik kesimpulan bahwa menurut Kementerian Perdagangan, demokrasi ekonomi sesungguhnya hanyalah slogan kosong yang tidak jelas ujung-pangkalnya. Sebagaimana dikemukakannya dalam Bab II butir a, ”Demokrasi ekonomi menganut asas keberpi- hakan pada rakyat, dilakukan oleh rakyat dan ditujukan untuk rakyat.”
Bandingkanlah uraian itu dengan dua definisi demokrasi ekonomi berikut. ”Economic democracy is a socioeconomic philosophy that proposes to shift decision-making power from corporate shareholders to a larger group of public stakeholders that includes workers, customers, suppliers, neighbors and the broader public,” (http://en.wikipedia.org/ wiki/Economic_democracy. Diakses pada 31 Januari 2013).
”Economic democracy, conceptualized in the wake of Rancière as a permanent struggle against the oligarchy of owners, lies in the coordination of economic action (through cooperation), workers’ demands (through trade unions) and political action, since, more than ever, the social power of wealth relies on state power,” (Rousselière, 2004).
Sejalan dengan kedua definisi demokrasi ekonomi itu, amanat Pasal 33 UUD 1945 untuk melembagakan tiga hal berikut dalam menyelenggarakan demokrasi ekonomi di Indonesia menjadi mudah dipahami: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; dan (3) Bumi, air, dan segala kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
NA RUU Perdagangan itu tampaknya tidak tertarik dengan amanat Pasal 33 Ayat 1, 2, dan 3. Sebab itu, ketika berbicara mengenai peran pemerintah dalam Bab III.B.3, ia justru memulai uraiannya tentang peran the invisible hand. Menurut NA itu, ”Dalam ekonomi pasar, harga merupakan instrumen pada saat bekerjanya invisible hand. Invisible hand umumnya juga menjamin alokasi yang efisien atas sumber-sumber daya.”
Liberalisasi perdagangan
Bertolak belakang dengan sikapnya yang cenderung melecehkan Pasal 33 UUD 1945, sikap NA RUU Perdagangan itu terhadap berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional cenderung sangat ramah. Pembahasan tidak hanya dilakukan secara mendalam, tetapi dilakukan dengan penuh simpati dan penghormatan.
Simak misalnya pembahasan mengenai hierarki berbagai kerja sama perdagangan internasional sebagaimana dilakukannya dalam Bab III.B.3. Menurut NA itu, berbagai kerja sama perdagangan internasional yang selama ini diikuti Indonesia dapat disusun dalam hierarki berikut.
Posisi tertinggi diduduki Organisasi Perdagangan Dunia, disusul oleh Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC). Di bawah APEC terdapat Forum Regional ASEAN (ARF) yang bersifat mendukung APEC. Selanjutnya, di bawah ARF, terdapat ASEAN +3 dan ASEAN +1. Akhirnya, di bawah ASEAN +1, terdapat berbagai kerja sama perdagangan yang bersifat bilateral.
Menurut NA itu, kerja sama bilateral sesungguhnya memiliki kelemahan. ”Kelemahan kerja sama bilateral adalah kemungkinan terjadinya Hub-Spokes Problem di mana jumlah komoditas nasional yang akan diliberalisasikan menjadi jauh lebih banyak ketimbang bila ia maju atas nama ASEAN. Namun, apabila kerja sama bilateral tidak dilakukan, negara anggota yang tidak melakukan akan mengalami kerugian (opportunity cost) karena negara anggota lainnya sudah terlebih dahulu (first mover advantage) melakukan kerja sama bilateral.”
Sikap hormat berlebihan NA RUU Perdagangan itu terhadap berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional dapat disimak ketika ia berbicara mengenai harmonisasi kebijakan perdagangan. Menurut NA itu, ”Pemerintah mengatur perdagangan dengan tidak melanggar hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian internasional: WTO, GATS, ASEAN Economic Community dan lain-lain.”
Betapa sangat ramah sikap NA RUU Perdagangan itu terhadap kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional. Untuk tujuan apakah sesungguhnya RUU Perdagangan disusun, untuk melaksanakan Pasal 33 UUD 1945 atau untuk menyingkirkannya?

Revrisond Baswir Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM

http://cetak.kompas.com/read/2013/02/14/02450616/ruu.liberalisasi.perdagangan 

RI Impor Pangan Rp 81,5 Triliun, Kartel Untung Rp 11,3 Triliun

15 Februari 2013

Jakarta - Total pangan yang diimpor Indonesia di 2012 lalu nilainya mencapai Rp 81,5 triliun. Dari jumlah tersebut, para perusahaan kartel importir pangan mengambil 30% keuntungan per tahun atau sekitar Rp 11,3 triliun.

Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra Fadli Zon dalam keterangannya yang dikutip, Jumat (15/2/2013).

"Selama ini pemerintah terlalu percaya diri dengan sistem yang dibuatnya. Pemerintah yakin bahwa sistem akan menghindari terbentuknya kartel pangan. Sehingga tak aktif atau tak mau menyelidiki keberadaan kartel-kartel pangan," jelas Fadli.

Dia mengatakan, menjamurnya kartel pangan jadi refleksi lemahnya UU Antimonopoli di Indonesia. Benar, Indonesia punya UU No. 5 tahun 1999, tapi menurut Fadli aturan tersebut dibuat dalam konteks memenuhi pesanan IMF terkait dana bantuan yang dijanjikannya.

Tingginya harga daging, kedelai, dan beberapa komoditas pangan lain tak lepas dari adanya kartel pangan yang tetap eksis hingga sekarang. Terungkapnya kasus korupsi impor daging, menjadi bukti kuat praktik ini.

"KPK pun mengakui temukan banyak mafia impor pangan dalam bentuk kartel-kartel. Kartel pangan ini diduga kuat punya jaring ke pihak pengambil keputusan. Mereka berkolusi dengan penguasa. Informasi KPK ini harusnya membuat pemerintah segera mengambil tindakan untuk mentertibkannya. Bukan justru meminta publik tak gegabah menyalahkan adanya kartel," tegas Fadli.

Tahun ini kuota impor mulai diturunkan, dan Fadli meminta pemerintah harus pertahankan kebijakan ini. Jangan sampai pemerintah disetir oleh kepentingan kartel pangan untuk menambah kuota impor demi menstabilkan harga. Impor bebas hanya akan menguntungkan kartel pangan dan merugikan petani serta konsumen.

Kartel pangan juga sering memanfaatkan kelemahan pemerintah. Seperti lemahnya akurasi data pangan, sebagaimana sering terjadi dalam sensus cadangan sapi nasional. Simpang siur data pangan seperti ini seringkali dimainkan kelompok kartel.

"Agar pangan nasional terjamin, pemerintah tak cukup melakukan pembatasan impor, namun juga harus bertindak tegas menghapuskan kartel-kartel pangan," cetus Fadli.

Wahyu Daniel - detikfinance

http://finance.detik.com/read/2013/02/15/095059/2170793/4/ri-impor-pangan-rp-815-triliun-kartel-untung-rp-113-triliun?f9911033