19 Februari 2013
“Rakyat padang pasir bisa hidup, masa kita tidak bisa hidup! Rakyat
Mongolia (padang pasir juga) bisa hidup, masa kita tidak bisa
membangun satu masyarakat adil makmur gemah ripah loh jinawi, tata
tentram kertaraharja, di mana si Dullah cukup sandang, cukup pangan,
si Sarinem cukup sandang, cukup pangan? Kalau kita tidak bisa
menyelenggarakan sandang-pangan di Tanah Air kita yang kaya ini,
maka sebenarnya kita Beograd yang tolol, kita Beograd yang maha
tolol.” (Pidato Bung Karno pada Konferensi Kolombo Plan di Yogyakarta tahun 1953)
Ungkapan dari Bung Karno 60 tahun yang lalu itu seakan masih sangat
relevan dengan apa yang terjadi dalam konteks kekinian Indonesia
menyangkut pemenuhan dan kemandirian pangan kita.
Baru-baru ini, persoalan impor sapi kembali menyeruak ke jagad
publik di Indonesia seiring dengan adanya dugaan suap impor sapi yang
menerpa sebuah partai politik.
Terlepas dari soal indikasi adanya tindak pidana korupsi dalam kasus
tersebut, sebenarnya ada persoalan yang sangat krusial terkait dengan
persoalan pemenuhan kebutuhan protein hewani yang dalam hal ini daging
sapi. Sejatinya, importasi tidak hanya terjadi di sektor peternakan
saja, namun bisa dikatakan pada hampir semua komoditas pangan strategis
yang dikonsumsi orang banyak.
Terkait dengan importasi daging sapi di Indonesia, bagaimanakah
seharusnya kita menyikapi ketergantungan akan impor? Adakah kemungkinan
Indonesia bisa membangun kedaulatan pangannya sendiri, khususnya dalam
hal pemenuhan daging sapi?
Untuk mencapai swasembada pangan termasuk daging sapi, pemerintah
sejatinya telah melakukan berbagai upaya meski memang tidak mudah di era
perdagangan bebas ini. Upaya tersebut juga tak jarang menghadapi
tekanan dari negara lain. Pemerintah dan DPR sendiri sebenarnya telah
merevisi UU 7/1996 tentang Pangan.
Dalam UU Pangan yang disahkan pada Oktober 2012 menegaskan, di
antaranya bahwa Indonesia tidak boleh dikendalikan oleh pihak mana pun
dalam hal kebijakan pangan dan impor merupakan pilihan terakhir dalam
memenuhi kecukupan akan pangan.
Sebelum direvisi, UU tersebut hanya mensyaratkan soal ketahanan
pangan dengan adanya ketersediaan stok pangan tanpa memandang dari mana
sumbernya, termasuk importasi. Oleh karenanya, ketahanan pangan dalam
roh UU Pangan yang baru ini harus diperjuangkan dengan lebih membuka
kesempatan bagi para petani dan peternak di Indonesia untuk
berpartisipasi aktif dan menjadi bagian yang integral dari upaya
mencapai kedaulatan pangan tersebut.
Untuk melihat seberapa jauh kekuatan Indonesia dalam memenuhi
ketersediaan daging dari para peternak lokal dalam kerangka kerja
Program Swasembada Daging Sapi dan Kerbau (PSDSK) di tahun 2014,
Kementerian Pertanian sendiri telah meminta Badan Pusat Statistik (BPS)
untuk melakukan Sensus Sapi atau yang dikenal dengan Pendataan Sapi
Potong Perah dan Kerbau (SPPK) 2011. Pendataan ini memiliki juga
urgensi yang sangat mendesak untuk mengetahui sejauh mana Indonesia
dapat mewujudkan swasembada daging sapi di tahun 2014 mendatang.
Berdasarkan hasil sensus yang dilaksanakan serentak di seluruh
Indonesia pada Juni 2011, diketahui Indonesia memiliki populasi sapi
potong mencapai 14,8 juta ekor. Namun demikian, populasi sapi tersebut
belumlah bisa dikatakan siap untuk memenuhi kebutuhan daging sapi di
Indonesia.
Meskipun konsumsi per kapita Indonesia relatif masih rendah jika
dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, Indonesia sendiri
masih membutuhkan suplai daging sapi paling tidak 448.000 ton per tahun.
Kebutuhan daging sapi di Indonesia tumbuh secara positif seiring
dengan semakin meningkatnya tingkat kesejahteraan masyarakat. Misalnya,
pada tahun 2011 kebutuhan per kapita 1,9 kg/tahun, tahun 2012 mencapai
2,2 kg/tahun. Bukan tidak mungkin kebutuhan daging sapi di Indonesia
akan naik hingga 7 kg/tahun, seperti Malaysia.
Dari jumlah tersebut, baru sekitar 85 persen yang dapat dipenuhi oleh
produksi daging sapi lokal. Konsekuensinya, Indonesia masih harus
mengimpor dari negara lain, seperti dari Australia dan Amerika Serikat.
Integrasi Tanaman Ternak
Meski peternakan sapi di Indonesia telah berkembang cukup lama, namun
umumnya upaya pemeliharaan sapi di Indonesia masih dijalankan secara
konvensional. Umumnya usaha peternakan ini dijalankan sebagai usaha
sambilan dan belum dikelola dengan pendekatan industri dan manajemen
usaha ternak yang modern.
Dalam upaya memenuhi ketersediaan daging sapi domestik sebenarnya
bisa disandingkan dengan usaha pertanian dan perkebunan, seperti padi,
tebu, dan kelapa sawit, di mana residu usaha tani dan perkebunan
tersebut bisa menjadi tambahan pakan ternak.
Kementerian Pertanian sendiri sebetulnya sudah mengimplementasikan
program Sistem Integrasi Tanaman Ternak (SITT) yang juga dijabarkan
dalam subsektor perkebunan dengan Sistem Integrasi Sapi - Kelapa Sawit
sejak 2007. Sistem Integrasi Sapi - Kelapa Sawit kemudian digalakkan di
perkebunan swadaya masyarakat, perusahaan besar swasta, dan PT
Perkebunan Nusantara (PTPN).
Sebagai langkah awal dari program tersebut, pemerintah memberikan
bantuan sapi kepada para petani dengan cara bantuan bergulir. Juga
diberikan bantuan kandang dan penyuluhan mengenai masalah pemeliharaan
dan pola pakan ternak. Ketika diintegrasikan dengan usaha tani dan
perkebunan, sapi yang pakan utamanya rumput, dicoba dikomplementerkan
dalam bentuk menu tambahan pakan ternak yang berasal dari residu usaha
perkebunan dan pertanian.Misalnya pakan dari pelepah daun sawit yang
dicacah dengan mesin.
Selain itu, limbah kotoran dan urine sapi dapat dimanfaatkan untuk
pupuk kebun. Dengan integrasi ini, kendala permasalahan lahan dan pakan
ternak bisa diatasi secara simultan.
Selain itu, limbah ternak tersebut juga dapat digunakan sebagai
sumber energi untuk penggerak tenaga listrik dan kompor gas untuk
memasak. Implementasi konsep ini telah menunjukkan kesuksesan di
Provinsi Bengkulu, Riau, dan Kalimantan Tengah. Di samping itu, upaya
ini bisa mengatasi persoalan keterbatasan lahan yang dapat disandingkan
dengan upaya pemaksimalan usaha tani dan perkebunan.
Selain pelaksanaan konsep integrasi tanaman ternak di atas,
diperlukan pula dukungan berupa edukasi kepada para petani dan peternak
serta penumbuhan kesamaan pijakan (
common ground) mulai dari
perbankan, swasta, dan pemerintah untuk mencapai kedaulatan pangan
khususnya dalam hal pemenuhan kebutuhan daging sapi di Indonesia.
Sebagaimana halnya pada komoditas lainnya, diperlukan terobosan baru
untuk memperbaiki tata niaga peternakan sapi mulai dari hulu ke hilir
dengan mempersempit kemungkinan terjadinya perburuan rente. Indonesia
harus mampu berdaulat atas kebutuhan pangannya sendiri hingga apa yang
pernah diungkapkan Bung Karno di atas tidak harus selalu terulang
kembali.
http://www.beritasatu.com/blog/ekonomi/2201-impor-sapi-dan-kedaulatan-pangan.html