Senin, 24 Juni 2013

Orang Miskin

24 Juni 2013

Tetangga saya di kampung sudah mendapat Kartu Perlindungan Sosial.
Dengan kartu ini, dia bisa datang ke kantor pos untuk mendapatkan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM).
Kemarin sore, dia meminta nasihat apakah sebaiknya mengambil uang itu atau tidak.
Dia ragu. Wah, ini sisi lain dari BLSM yang jarang terdengar.
“Lo, kenapa tak diambil? Itu hak orang miskin. Di Denpasar, sebagian pemegang kartu itu sudah mengambil uangnya tadi pagi,” kata saya.
Dia tampak gelisah dan memperlihatkan kartu itu kepada saya.
Dia menjelaskan, kartu itu ia peroleh tanpa sepengetahuannya dan dititipkan kepada istrinya yang tak bisa baca-tulis.
“Mungkin karena dulu saya dapat BLT dan raskin,” katanya.
BLT akronim dari Bantuan Langsung Tunai, yang diberikan pemerintah sebagai imbalan atas kenaikan harga bahan bakar minyak tahun 2009.
Adapun “raskin” dari kata “beras untuk orang miskin”, sumbangan pemerintah kepada orang-orang miskin.
“Saya sudah kapok menerima raskin, juga BLT. Malu sama tetangga,” katanya.
Tetangga saya ini tinggal di rumah hanya bersama istrinya.
Kedua anak gadisnya sudah lama menikah dan tinggal di desa lain.
Di rumahnya yang sederhana, separuh berdinding bata dan separuhnya anyaman bambu, ada televisi.
Kepala desa mendatanya sebagai “orang miskin”, bersama orang lainnya yang setara, dulu ketika ada program BLT.
Padahal suami-istri itu punya penghasilan.
Sang istri memburuh di tempat usaha pengolahan kopi luwak, suaminya bekerja serabutan.
Di kampung saya, kalau orang mau kerja kasar dan tidak gengsi menyandang predikat buruh, ia tak akan sampai kelaparan.
“Dulu, ketika saya dapat raskin dan BLT, diejek-ejek warga lain. Malah anak saya tak lagi menyumbang beras. Alasannya, sudah dapat dari pemerintah. Padahal beras raskin itu mutunya jelek, hanya layak untuk makan burung,” katanya.
“Saat ada kerja adat, saya tiba-tiba dikenai iuran, padahal sebelumnya bebas. Alasan warga, kan sudah dapat gaji bulanan dari pemerintah.”
Wow, saya maklum.
Pergaulan di desa kadang aneh.
Kebersamaan tinggi.
Kalau ada orang sakit, banyak warga datang membantu.
Ada yang membawa bahan makanan, bahkan menyumbang uang.
Kalau ada “orang tak mampu”, warga menawarkan pekerjaan semampu yang dikerjakan, supaya tidak ada yang kelaparan.
Tetapi rasa iri juga tinggi.
Kalau ada yang mendapat bantuan dari luar, entah itu dari suatu yayasan atau pemerintah semacam BLT dan raskin itu, warga cuek kepada orang itu.
Si penerima bantuan bukan hanya seperti diasingkan, tapi juga malah dicibir: “Kerja, kerja”.
“Jangan mengemis, memalukan desa.”
“Ambil saja uangnya, Rp 150 ribu kan lumayan,” kata saya.
Tetangga saya tertawa nyengir.
Rupanya, ia sudah mengkalkulasi.
Untuk mengambil ke kantor pos di kota kecamatan, ongkos jalannya Rp20 ribu atau dua kali lipat kalau naik ojek.
Belum lagi makan dan minum.
Paling yang bisa dibawa pulang Rp120 ribu.
Ini untuk sebulan.
Sehari jadi Rp 4.000.
“Untuk beli minyak saja kurang, padahal menanggung malu disindir tetangga, katanya sudah jadi pegawai yang digaji bulanan,” kata tetangga saya, terkekeh.
Tiba-tiba dia punya usul bagus: “Mestinya pemerintah memberi bantuan dengan voucher pulsa, jadi tak repot mengambilnya. Terima uang tanpa kerja, kesannya beda.”
Lo, memangnya orang miskin punya handphone?
“Semua orang di desa punya HP, orang miskin apalagi kaya.”
Saya jadi ingat sebuah koran di Bali, Jumat lalu, memberitakan: 1.008 calon penerima BLSM di Kota Denpasar belum terverifikasi.
Apakah mereka malu disebut “orang miskin” atau pendataan yang salah, tak disebutkan.

http://garutnews.com/orang-miskin.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar