Sabtu, 15 Juni 2013

Jerat Ketergantungan Impor Gandum Mengelilingi Kita

14 Juni 2013

Pembaca yang budiman, Setelah ramai oleh kasus impor sapi yang sedang mendera salah satu partai, sebenarnya diluar sana banyak kasus-kasus bidang pertanian yang lebih kompleks, dan lebih berbahaya.
Kita tinggalkan dulu hiruk pikuk pro kontra tentang suap impor sapi dan semua yang terkait di dalamnya. Kementrian Pertanian memang sekarang sedang ditimpa banyak persoalan. Kita pernah dikagetkan dengan harga cabe yang melambung. Bahkan saya membeli gorengan pun pedagangnya tidak menyediakan cabe rawit, karena harga cabe rawit-pun ikut naik. Beberapa bulan yang lalu, harga bawang di pasaran meroket, bahkan menembus Rp 250.000 per kg, jauh lebih mahal dari daging sapi, edan men! Akhir-akhir ini masyarakat dihebohkan dengan harga komoditas jengkol yang mencapai Rp 60.000 per kg, namun tidak begitu booming seperti kasus bawang. Pertanyaannya, mengapa ini semua bisa terjadi?
Kebetulan saya masih mahasiswa dan mengambil matakuliah ‘Ekonomi Internasional’. Dosen saya yang seorang Profesor di bidang Ekonomi Pertanian banyak bercerita tentang seluk beluk permainan harga dan ulah importir yang menyebabkan hal ini terjadi.
Dalam hal kasus bawang, pemerintah dipermainkan oleh pengusaha. Ada sekitar 250 kontainer di pelabuhan tanjung priok yang berisi bawang, yang sengaja ditahan. Permainan stok, penimbunan stok yang menyebabkan harga bawang melonjak menyebabkan pemerintah mau tidak mau harus memasok bawang dari luar, secara tidak langsung memaksa ratusan kontainer bawang di pelabuhan tersebut untuk masuk, agar menyeimbangkan stok dengan permintaan sehingga harga stabil. Padahal, dokumen impor sebagian kontainer tersebut tidak lengkap, yang menjurus agar tidak diberi izin masuk sebenarnya. Komoditas pertanian di Indonesia kerap dijadikan bahan permainan oleh beberapa pihak yang mencari keuntungan.
Beralih ke pembahasan lain. Sudah pernah mendengar istilah one day no rice? Sebuah kampanye agar masyarakat Indonesia lebih mendiversifikasi pangan, tidak melulu beras, tidak melulu nasi sebagai bahan pangan utama. Sehingga bila terlalu bergantung pada beras, maka akan mengancam ketahanan pangan (katanya) sehingga terpaksa terus menerus impor untuk memenuhi kebutuhan beras di Indonesia. Benarkah begitu? Pertanyaannya adalah, bila Anda mendiversifikasi komposisi pangan Anda, mengganti nasi sebagai makanan pokok, apa yang Anda makan?
Roti, mie, biskuit, jagung, singkong, ubi-ubian, sagu dan lainnya. Tapi coba mana yang paling dominan? Ya, anda akan makan roti dan mie sebagai pengganti nasi. Roti dan mie, serta biskuit, bahan bakunya adalah terigu (gandum bubuk atau flour) dan gandum biji (wheat). Apa bahayaya gandum?
Konsumsi gandum setiap tahun mengalami trend peningkatan yang signifikan. Gandum memberi porsi 20% dari total konsumsi pangan di Indonesia. Nilai impor gandum mencapai lebih dari Rp 30 trilyun, bahkan lebih tinggi dari nilai anggaran Kementrian Pertanian dari APBN senilai Rp 27 trilyun.
Lalu, apa mengerikannya gandum?
Gandum adalah satu-satunya komoditas pertanian yang memiliki nilai tariff (pajak impor) 0%. Yap, nol persen.
Hal ini diinisiasi dari pembangunan Bogasari pada zaman alm Soeharto oleh mendiang istrinya, Bu Tien. Kapal-kapal pengangkut gandum yang berlabuh di pelabuhan secara otomatis mengangkut dan menyimpan berton-ton gandum impor ke gudang penyimpanan. Secara bebas. Tanpa pajak!
13712265361977459035
Kebutuhan Konsumsi Terigu Semakin Meningkat
Mengapa diberikan kebebasan seperti itu? Agar akses konsumsinya pun mudah. Stok melimpah.
Kebijakan tanpa pajak ini memudahkan akses impor gandum ke negara kita. Semakin bebas, semakin berkembang dan semakin meningkat persentase konsumsi per tahunnya!
Pengimpor gandum, Amerika Serikat, sudah barang tentu menuai keuntungan berlimpah dari transaksi ini. Tapi bukan itu masalahnya. Tidak jadi soal Amerika dapat untung, it’s Okay.
Gejala ketergantungan pangan kepada negara lain, itu yang mengerikan. Selain itu, biaya yang tidak murah dialokasikan untuk impor gandum setiap tahunnya, dengan keuntungan hanya bagi para eksportir, pengusaha dan importir karena pajaknya nol persen.
13712264461319907708
Konsumsi Gandum Mencapai 20% Dari Total Komposisi Pangan Di Indonesia
Presiden pertama RI, Soekarno pernah menegaskan, Urusan pangan, urusan hidup mati rakyat, jangan ketergantungan dari negara lain, harus mandiri. Secara tidak sadar kita sedang bergerak menuju pada ketergantungan gandum.
Apakah salah mengkonsumsi gandum? Tentu Tidak. Ketergantungan itu yang jadi jebakannya.
Negara kita apakah bisa memproduksi gandum? Bisa, tapi paling banter hanya 5-10 persen dari total konsumsi gandum yang ada. Lahan tanam untuk gandum adalah pegunungan tinggi di daerah seperti Maluku dan Papua.
Konsumsi gandum didukung oleh persepsi harus adanya variasi atau diversifikasi pada komposisi pangan, tidak boleh tergantung pada konsumsi beras. Karena faktanya beras kini masih mengimpor. Benarkah begitu?
Faktanya, Indonesia swasembada beras (impor nol persen bahkan surplus stok beras hasil dalam negeri) pada tahun 1984, dan 2010.
Selain tahun-tahun tersebut, Indonesia memang mengimpor beras.
Tapi…
Ternyata sebenarnya, produksi beras Indonesia mencukupi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia tanpa harus impor. Hanya saja produksi beras dalam negeri sudah diserap oleh industri sebagian. Selain itu, dalam hal pangan wajib adanya stok cadangan. Untuk itulah, sehingga  kita masih perlu impor. Data tersebut intepretasi dari data FAO.
Dan, impornya pun hanya sedikit. Sekitar 2-3 juta ton per tahun. Karena stok beras Indonesia sudah mencapai 10 juta ton untuk konsumsi (selain industri). Bila ditotal, hanya 0,3% dari total komposisi impor. Bandingkan dengan komposisi impor untuk gandum yang mencapai 100% karena adanya kebijakan non tarif dan tingkat konsumsi mencapai 20% dari komposisi pangan nasional.
Bahkan negara importir beras, yaitu Thailand, produksinya hanya 50% dari total produksi beras di Indonesia. Hanya saja karena penduduk yang lebih sedikit, dan persentase tingkat konsumsi beras yang tidak sebanyak di Indonesia, maka produksi mereka surplus.
So, apakah memang perlu adanya diversifikasi atau variasi dalam konsumsi pangan sebagai pengganti beras?
Karena sebenarnya produksi beras kita surplus!
1371226611492053262
Produksi Beras Di Indonesia Untuk Konsumsi Lebih Dari Cukup
Kesimpulan dari dosen saya. Maka ketika Anda mengkampanyekan One Day No Rice, secara tidak langsung Anda mengkampanyekan untuk semakin ketergantungan gandum pada negara importir.
Jangan ragu makan nasi, minimalisir ketergantungan pada gandum.
Everyday eat rice, fully your energy.

http://politik.kompasiana.com/2013/06/15/jerat-ketergantungan-impor-gandum-mengelilingi-kita-568907.html 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar