Selasa, 30 Oktober 2012

BPK audit kebijakan impor beras

JAKARTA. Kebijakan impor beras untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri sampai saat ini masih berpolemik. Atas dasar itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melakukan audit terhadap kebijakan impor beras untuk mengetahui apakah terjadi penyimpangan atau tidak.
BPK akan mengumumkan hasil audit impor beras kepada publik ini paling telat akhir tahun ini. Sekarang, proses audit impor beras sudah berlangsung sekitar 60%.
Ali Masykur Musa, Anggota BPK mengatakan, fokus audit mencakup penerapan kebijakan impor beras oleh pemerintah sepanjang tahun 2012. "Tapi belum bisa kami ungkap sekarang. Baru akhir tahun ini akan kami ungkap ke publik," ujar dia, kemarin.
Ali menjelaskan, audit dimaksudkan untuk menganalisa beberapa komponen dalam kebijakan impor beras, terutama masalah pengadaan, kesesuaian impor dengan kebijakan ketahanan pangan, serta peran importir di balik impor beras. "Kita lihat saja nanti hasilnya, apakah ada penyimpangan," tandasnya.
Menurut Ali, BPK perlu mengaudit kebijakan impor beras karena kebijakan tersebut berkaitan dengan stabilitas harga dan suplai beras dalam negeri. Maklum, setiap tahun pemerintah kerap mengeluarkan kebijakan impor beras sekitar 1,9 juta ton.
Langkah ini dinilai bisa merugikan negara. Tak jarang, keran impor dibuka lebar-lebar justru saat petani memasuki musim panen. Akibatnya, stok beras melimpah sehingga harga anjlok. "Kami ingin agar kebijakan impor beras disetop karena merugikan petani," jelas Ali.
Audit impor beras, Ali menegaskan, bukan atas permintaan pihak tertentu tapi merupakan inisiatif BPK untuk melihat kebijakan ketahanan pangan kita. Selain impor beras, BPK juga berencana melakukan langkah serupa untuk kebijakan impor daging.
Hanya saja, Ali masih enggan membeberkan rencana tersebut lebih jauh. "Nanti impor daging pun akan kami periksa," imbuhnya.
Deddy S.A. Khodir, Direktur SDM & Umum Perum Bulog menanggapi positif terkait audit impor beras tersebut. "Audit itu bagus," katanya. Sayang, Deddy tidak bersedia berkomentar lebih lanjut.
Alasannya, Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso yang berwenang menjelaskan soal itu lebih detail. Saat dihubungi, Sutarto belum bisa dikonfirmasi.

http://nasional.kontan.co.id/news/bpk-audit-kebijakan-impor-beras/2012/10/30

Stok Beras Diperkuat

30 Oktober 2012

Jakarta, Kompas - Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso mengatakan, stok beras Bulog harus diperkuat untuk mengantisipasi dampak negatif mundurnya panen raya padi 2013. Dengan merealisasikan impor beras 1 juta ton tahun ini, stok beras Bulog pada akhir tahun 2 juta ton.
”Kalau mau ideal, Bulog butuh stok beras akhir tahun 5 juta ton. Pertimbangannya, penduduk Indonesia besar dan tersebar. Tetapi dari perhitungan yang dilakukan Bulog, stok 2 juta ton di akhir tahun sudah memenuhi stok minimum untuk mengantisipasi defisit produksi dan mundurnya panen raya padi di musim rendeng,” ujar Sutarto, Senin (29/10), di Jakarta.
Sutarto mengatakan, dulu cadangan beras pemerintah di Bulog hanya 500.000 ton. Universitas Gadjah Mada lalu mengkaji perlunya menambah cadangan beras menjadi 1,25 juta ton. ”Akhir tahun ini ada cadangan beras di Bulog 2 juta ton, dan itu cukup,” katanya.
Untuk mencapai target stok beras 2 juta ton, impor 1 juta ton diperlukan. Pengadaan beras Bulog dari produksi beras dalam negeri harus realistis dan mempertimbangkan realitas peningkatan produksi beras nasional. Tahun ini produksi padi nasional naik 3,2 persen. Pengadaan beras Bulog 3,5 juta ton.
Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum meminta pemerintah menyediakan sarana pengering yang mudah diakses petani. Dengan demikian, saat panen pada musim hujan, petani tidak kesulitan menjemur padi sehingga kualitas beras tetap bagus dan harganya menguntungkan petani.
Sementara itu petani di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, diimbau untuk mempercepat masa tanam, yakni pada November hingga Desember. Hal tersebut dilakukan untuk mengejar pasokan air pada musim hujan.
Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon Wasman mengatakan, petugas dari dinas akan mulai melakukan sosialisasi kepada kepala desa dan camat di wilayah Cirebon mengenai waktu tanam yang dipercepat pada musim tanam rendeng 2012-2013. Sosialisasi dilakukan sejak pekan ini.
Sementara itu, hingga kini sekitar 2.598 hektar dari 25.000 hektar lahan sawah di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, menjadi langganan banjir setiap musim hujan.
Di Madiun, Jawa Timur, pengalihan fungsi lahan pertanian produktif sulit dibendung. Akibatnya, luas sawah menyusut setiap tahun. Hal itu mengancam produksi pangan dan ketahanan pangan masyarakat karena mengandalkan pemenuhan kebutuhan pangan dari luar daerah Madiun.

http://cetak.kompas.com/read/2012/10/30/03160762/stok.beras.diperkuat

Senin, 29 Oktober 2012

PKB Desak Pemerintah Implementasikan UU Pangan

Senin, 29 Oktober 2012

Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Marwan Jafar mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah yang nyata untuk merealisasikan program ketahanan pangan.

Menurut Marwan, Indonesia baru memiliki UU Pangan yang baru disahkan beberapa minggu lalu oleh DPR, dan harus segera dieksekusi Pemerintah.

"UU tentang Pangan yang baru ini diharapkan punya makna yang positif bagi  pemberdayaan petani kita dan guidance bagi terwujudnya ketahanan pangan nasional," kata Marwan di Jakarta, Senin (29/10).

Bagi PKB, masalah kedaulatan pangan setidaknya mencakup tiga hal utama.

Pertama, adalah kemandirian produksi pangan yang sangat penting dipastikan pemerintah karena menyangkut keberlangsungan hidup bangsa terutama petani yang membutuhkan pembelaan atas kepemilikan lahan pertanian, kualitas, dan kuantitas produksi.

"Sehingga dapat menjamin stok pangan nasional," kata dia.

Selanjutnya  adalah masalah distribusi pangan demi menjamin pemerataan dan  keterjangkauan pangan bagi rakyat. Yang ketiga adalah masalah konsumsi  pangan yang meliputi pola konsumsi dan diversifikasi pangan.

"Sehingga rakyat Indonesia mampu mengatur pangan sesuai dengan kearifan lokal masing-masing daerah," bebernya.

Anggota Komisi Pertanian dan Kehutanan DPR itu mengatakan, dengan melaksanakan seluruh pola itu, bangsa Indonesia tidak lagi bergantung kepada pola konsumsi pangan yang monoton seperti beras saja.

"Tapi, bisa mengonsumsi pangan yang beraneka ragam seperti gandum, sagu, umbi-umbian dan lainnya," ujarnya.

Marwan menegaskan, UU Pangan itu juga nantinya diharapkan menjadi jalan keluar dari sisi perundang-undangan guna menjamin penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas pangan kepada setiap warga negara.

"Ini demi menciptakan kedaulatan, kemandirian, ketahanan, dan keamanan  pangan, terlebih terhadap kelompok masyarakat rentan, yakni petani,  nelayan, dan pembudidaya ikan," katanya.

Agar UU itu bisa segera dieksekusi, Marwan menyatakan, pemerintah sebaiknya segera mengeluarkan Peraturan Pelaksanaan tentang UU Pangan.

http://www.beritasatu.com/ekonomi/80189-pkb-desak-pemerintah-implementasikan-uu-pangan.html

Revolusi Lambat pada Produksi Pangan

29 Oktober 2012
 BUSTANUL ARIFIN
Jika tidak ada halangan serius, awal November nanti Badan Pusat Statistik akan mengeluarkan angka ramalan produksi pangan, setidaknya untuk padi, jagung, dan kedelai. Walaupun BPS tidak secara reguler memutakhirkan data produksi gula dan daging sapi, masyarakat akan mampu menilai apakah target swasembada untuk lima komoditas pangan strategis itu tercapai atau tidak.
Target swasembada jagung mungkin dapat tercapai karena struktur permintaan dan insentif harga dari industri pakan ternak yang relatif lebih baik. Akses benih unggul dan hibrida oleh petani relatif lebih mudah karena gencarnya sektor swasta dalam melakukan pemasaran benih jagung bersertifikat tersebut. Swasembada kedelai hampir pasti tidak akan tercapai karena sistem insentif dalam produksi kedelai telanjur rusak selama dua dasawarsa terakhir. Swasembada gula juga masih jauh dari harapan karena sistem usaha tani di hulu dan manajemen produksi di hilir yang tidak sepadan antara tebu rakyat, perkebunan swasta besar, dan badan usaha milik negara. Swasembada daging sapi mungkin dapat tercapai apabila sistem insentif penggemukan sapi benar-benar dilaksanakan dan kebijakan perdagangan impor cukup konsisten.
Salah satu penjelasan di balik lambatnya peningkatan produksi dan produktivitas pangan strategis itu karena sekian macam program dan kebijakan yang dikembangkan belum berhasil meningkatkan kapasitas produksi pangan. Konsistensi kebijakan pemerintah untuk mencetak sawah baru, memelihara saluran irigasi, mengelola saluran air, menanggulangi hama dan penyakit tanaman, dan lain-lain ternyata kalah cepat dengan hilangnya kapasitas produksi pangan, baik karena konversi lahan maupun karena penurunan kapasitas produksi itu sendiri.
Di tengah rasa frustrasi seperti itu, produk rekayasa genetika tanaman pangan atau yang dikenal dengan tanaman transformasi genetika (transgenik) tiba-tiba masuk ke ranah diskusi publik. Masyarakat awam pun membahasnya secara intensif walaupun informasi yang disajikan para ilmuwan dan birokrasi pemerintah masih sangat minim. Esensinya, produk rekayasa genetika seakan-akan dianggap sebagai harapan baru untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan di Tanah Air. Dalam literatur ekonomi pembangunan pertanian, produk pangan transgenik atau genetically modified organism sering disebut sebagai Revolusi Hijau Generasi Kedua, untuk membedakan dengan fenomena Revolusi Hijau setengah abad lalu.
Pada Revolusi Hijau Generasi Pertama telah terjadi kerja sama yang cukup rapi antara ilmuwan (peneliti), dunia usaha, dan pemerintah untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknologi biologi-kimiawi pada pangan berbasis biji-bijian. Kerja sama tiga pihak, ilmuwan, swasta, dan pemerintah, sering dinamakan Triple Helix, untuk menunjukkan keberhasilan kerja sama yang menghasilkan peningkatan produktivitas pangan biji-bijian, terutama gandum, beras, jagung, dan kedelai.
Di Indonesia, fenomena Revolusi Hijau bersamaan dengan program besar yang dikenal dengan Bimas dan Inmas yang dikembangkan pada masa Presiden Soekarno serta Insus dan Opsus yang dicanangkan pada masa Presiden Soeharto. Swasembada beras pada masa lalu itu merupakan salah satu contoh keberhasilan Triple Helix dalam mewujudkan kerja sama yang sinergis guna meningkatkan produksi pangan.
Pada Revolusi Hijau Generasi Kedua, dengan tumpuan bioteknologi pertanian, arena pengembangan kapasitas produksi pangan wajib melibatkan masyarakat, terutama petani yang merupakan stakeholder penting dalam ekonomi pangan. Falsafah Quadruple Helix, governansi kelembagaan ABGC (academics, business, government, and civil society), perlu menjadi pilar utama dalam Revolusi Hijau Generasi Kedua. Langkah governansi kebijakan tidaklah harus diartikan bahwa setiap jengkal perumusan kebijakan pangan harus dilakukan melalui voting, tetapi bahwa pemerintah dan dunia usaha wajib memberikan informasi yang terbuka terhadap produk transgenik yang telanjur beredar di pasaran.
Rekomendasi oleh Komisi Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika bahwa jagung varietas RR NK603 dan jagung Bt Mon89034 aman untuk konsumsi pakan akan menimbulkan pertanyaan di dalam masyarakat. Bukan hanya karena dua varietas jagung tersebut dihasilkan oleh perusahaan multinasional, melainkan juga kekhawatiran ketergantungan petani pada benih, produk ikutan, pupuk, bahkan pestisida dapat mengancam kedaulatan pangan, sebagaimana dimandatkan dalam Undang-Undang Pangan baru yang disahkan pada 18 Oktober 2012.
Singkatnya, peningkatan kapasitas produksi pangan memang penting. Hal itu tidak hanya untuk mencapai kepentingan birokrasi pencapaian swasembada, tetapi juga untuk menjawab tantangan masa depan yang pasti lebih kompleks.
Semua komponen Quadruple Helix harus sering berjumpa, berdialog, dan mencari kesepahaman, bukan menjadi lapisan elite yang tidak dapat menerima kritik. Kualitas governansi, keterbukaan informasi, dan keterlibatan masyarakat menjadi salah satu kunci keberhasilan (dan kegagalan) masa depan pangan transgenik di Indonesia.
Bustanul Arifin Guru Besar Universitas Lampung dan Anggota Komite Inovasi Nasional 

 http://cetak.kompas.com/read/2012/10/29/03283961/revolusi.lambat.pada.produksi.pangan

Bila Panen Mundur Pemerintah Diminta Tidak Tergoda Mengimpor Beras

29 Oktober 2012

Jakarta, Kompas - Pemerintah diminta tidak tergoda untuk mengimpor beras apabila musim panen padi musim rendeng 2012/2013 mundur. Cadangan beras harus diperkuat begitu juga strategi pengelolaannya.
Guru Besar Sosial Ekonomi Industri Pertanian Universitas Gadjah Mada M Maksum ketika dihubungi di Yogyakarta, Minggu (28/10), mengatakan, tahun ini Perum Bulog bisa mengelola beras luar biasa besar antara 5 juta sampai 6 juta ton.
”Kalau hanya mundur dua bulan, seharusnya Perum Bulog masih bisa ditangani kecuali tergoda hasrat mengimpor tinggi,” tegas Maksum.
Sementara itu pengamat perberasan, Husein Sawit, di Jakarta, mengatakan, mundurnya musim tanam padi akan berdampak pada musim panen. Karena itu stok beras Perum Bulog harus diperkuat.
Cadangan yang ada di Perum Bulog saat ini belum mencerminkan dampak negatif sebagai akibat mundurnya musim tanam. Cadangan beras yang ada dipersiapkan untuk mengkover defisit produksi beras sampai Februari 2013. Padahal dengan panen yang mundur dua bulan, perlu ada persiapan tambahan. Apalagi panen rendeng memberi kontribusi 55 persen dari produksi beras nasional.
Kalau stok tidak diantisipasi, bisa terjadi gejolak harga. ”Pemerintah rileks saja dalam merealisasikan impor beras. Setidaknya dari rencana impor 1 juta ton, separuhnya atau 500.000 ton bisa segera direalisasikan,” katanya.
Selain itu, Bulog juga harus meningkatkan mobilitas beras. Pemupukan stok beras jangan hanya di daerah yang tersedia gudang, tetapi di daerah yang potensial terjadi kenaikan harga. Seperti di Jabodetabek, Medan, Manado, Banjarmasin, Palangkaraya, dan daerah lain yang berpotensi terjadi kenaikan harga.
Kontak Tani Nelayan Andalan memperkirakan musim tanam padi pada tahun ini baru akan mulai akhir November atau awal Desember 2012. Berdasar ramalan BMKG, hujan baru akan mulai awal November. (MAS)

http://cetak.kompas.com/read/2012/10/29/03115179/bila.panen.mundur.pemerintah.diminta.tidak.tergoda.mengimpor.beras

Giliran Dahlan Iskan ‘Diuji’ @TRIOMACAN2000

Kicauan akun @TRIOMACAN2000 memang sangat ‘menakutkan’ bagi orang-orang yang berada di balik Birokrasi dan mengendalikan pemerintahan. Sudah banyak yang berurusan secara ‘kata-kata’  nan melayang di jagad maya yang membongkar dan membuat ketar-ketir para pejabat. Kini seorang sosok yang dianggap sebagai calon presiden versi sebuah televisi swasta dari jajaran birokrasi, Dahlan Iskan, dituduh sebagai orang yang bermanuver, membentuk citra positif untuk kepentingan yang lebih besar di masa yang akan datang.
Si Macan memang tak tanggung-tangung mengurai kebijakan Dahlan Iskan yang memang terkadang out of control. Mencoba menjelaskan alasan kenapa nilai-nilai aset BUMN yang senilai 2500 triliun menjadi sarang untuk logistik citra politik menjelang 2014. Hingga akhirnya Dahlan Iskan menutup akun twitter selama bulan puasa. Jelas ada hubungan mengenai kicauan @TRIOMACAN2000 yang terlalu polos dan naif.
Si Macan mulai menjelaskan ketika porsi Menteri BUMN sudah di jatah menjadi milik Para Group / CT, maka sebagai balas budi atas dukungan selama kampanye 2009 , Para Group menitipkan orangnya sebagai staf ahli di kementrian BUMN. Sampai disini anda akan mengerti kenapa Para Group yang akhirnya membeli sisa saham garuda yang dinilai tidak menguntungkan. Sebagai pencitraan besar agar semuanya menjadi positif dan baik. Anda juga tak heran jika pada akhirnya akun @TRIOMACAN2000 selalu mendapat nilai jelek saat dimuat jaringan bisnis media CT.
Akun Twitter trio macan 2000 mulai menjelaskan tentang  janji-janji Dalan Iskan yang dimulai saat Dahlan Iskan diangkat sebgai meneg BUMN, Dahlan Iskan disebut @TRIOMACAN2000 ingin bubarkan Petral yang selama ini menjadi sarang korupsi perminyakan terbesar di Indonesia, Rencana menghapus macet di jalur penyebrangan Merak - Bakauheni hanya dalam 1 bulan diingat dengan baik oleh si Macan, rencana IPO 8 BUMN dalam setahun juga dicatat dengan baik oleh si macan, Holding BUMN Perkebunan, Tambang, Farmasi BUMN Holding Kontruksi, selesaikan macet di jalan tol Jakarta dan akan bebaskan biaya tol jika kemacetan di pintu tol lebih dari 5 mobil juga menjadi janji Dahlan Iskan.
Berantas mafia KKN& distribusi BBM di Pertamina, Menjadikan Pertamina untuk kalahkan Petronas hanya dalam waktu 2 tahun dan mencetak 1 juta ha sawah. Ciptakan pelayanan KAI yg terbaik, selesaikan masalah Merpati via Sayembara Avanza, mau remajakan pabrik2 gula. Intinya, semua yg direncanakan Dahlan Iskan dalam waktu 7 bulan terakhir ini sangat “memuaskan” dahaga publik.
“Rakyat terpesona, terbawa mimpi2 indah, Nah, skrg kita lihat realisasi & fakta2nya. Apa yg sdh dilakukan DIS selama hampir 8 bulan sbg Men BUMN? Apakah seindah janji2 manisnya?’ tutur akun @triomacan2000 dalam timelinenya.
Dari semua itu menurut @triomacan2000  tak ada satu pun  yang terwujud, seperti Petral yang ingin dibubarkan justru membuat DI tak berdaya melawan mafia minyak. Ingin membebaskan jalur penyebrangan Merak- Bakauheni dari macet nyatanya belum terwujud dan kian parah sampai sekarang, namun kebijakan yang paling menyita perhatian adalah ketika mengangkat Megnanda Daryono sebagai selaku Dirut BUMN Holding Perkebunan yang kemudian ternyata Perpresnya pun belum ada. Megananda yang pensiunan deputi industri primer MenBUMN sekarang menjadi dirut PTPN III dan jika Perpres tersebut akhirnya terbit, maka pengangkatan direksinya harus melalui TPA yang diketuai Presiden sesuai Inpres No. 9/2005. Kekacauan lain yg dibuat Dahlan Iskan sebagai MenBUMN adalah melaksanakan pelantikan direksi BUMN tanpa mekanisme RUPS sebelumnya. Akibatnya, banyak protes, gugatan & keluhan baik dari direksi BUMN, internal kemenBUMN, DPR bahkan Presiden. Dahlan pun dinilai langgar hukum.
Kasus lainnya yang diungkap @TRIOMACAN2000 adalah pengangkatan teman dekat Dahlan Iskan yaitu eks wartawan Ismet H Putro jadi dirut PT RNI yang juga di nilai melanggar hukum dan sarat KKN. Setelah sekian banyak pelanggaran apalagi puncaknya ketika Dahlan Iskan lakukan penggantian direksi Pertamina tanpa persetujuan Presiden. Gawatnya lagi direksi lama diganti dengan direksi baru yang sebelumnya adalah pejabat yang bermasalah dan status tersangka korupsi di Mabes. 2 direksi baru Pertamina yang dilantik Dahlan terjerat kasus korupsi impor minyak Zatapi & 5 kali tak lulus skrining BIN. Dahkan iskan lebih banyak lakukan “aktivitas populer” ketimbang menyusun dan mengambil kebijakan terhadap bisnis dan masa depan BUMN-BUMN.
Masih Menurut @TRIOMACAN2000 menjelaskan SBY sendiri menilai bahwa Dahlan Iskan sudah terlalu banyak buat kesalahan dan meninggalkan “bom waktu” untuk pemerintahan SBY. Hukuman dari SBY kepada Dahlan Iskan memang membuat sebagian kewenangan Dahlan terpangkas. Kondisi ini dimanfaatkan Dahlan Iskan untuk manuver. Manuver dahlan iskan semakin menjadi-jadi. Tugas dan tanggungjawab urus BUMN diserahkan pada WaMen dan Deputi-Deputi. Dahlan Iskan terus lakukan pencitraan, Motivasi dan tujuan dahlan untuk terus genjot popularitas dan simpati publik sangat jelas menurut @TRIOMACAN2000. Dahlan Iskan tahu akan cepat atau lambat akan dicopot SBY. Saat pemecatan itu tiba, Dahlan berharap dukungan publik akan semakin besar degan pemunculan kesan bahwa dia terzalimi SBY.
Semua tentang Kultwit @TRIOMACAN2000 memang sebuah fakta dari cerita yang dimuat timeline twitternya, disini kita harus baik-baik memahami setiap tulisannya. Akun @triomacan 2000 juga dibalik pencitraan positif Anas Urbaningrum yang sudah terjatuh di mata publik. Mencoba mencari kebenaran dari seribu fakta yang coba diungkap oleh Nazarudin. Akun @TRIOMACAN 2000 jelas mencari puing-puing kebenaran sisi Anas. Disini anda jangan samapai terjebak akan program menteri yang dituntut keberhasilannya padahal ia baru mengabdi beberapa bulan. Ingat pula ketika akun @triomacan 2000 berselisih dengan staf ahli kemendagri dan pelaporan dirinya ke mabes Polri oleh Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejagung Marwan Effendi terkait pencemaran nama baiknya.
Waspada banyak orang yang ingin menjatuhkan lawan politik dengan berbagai cara dan pencitraan politik dengan berbagai cara demi kekuasaan semata.
sumber : @TRIOMACAN2000

http://politik.kompasiana.com/2012/07/21/giliran-dahlan-iskan-diuji-triomacan2000/

Minggu, 28 Oktober 2012

Adanya Dugaan Raskin Campur Menir Kepala Gudang Nakal Bakal Terkena Sangsi

October 27, 2012


INDRAMAYU, Jabarkita.com,-  Sub Divre Indramayu tidak akan segan–segan memberikan sangsi tegas terhadap kepala gudang yang diketahui melakukan tindakan yang tidak terpuji terhadap pendistrubusian raskin kesejumlah wilayah yang diduga dicampur menir.
Pernyataan gamblang itu disampaikan Kasub Divre Indramayu H Sudarsono melalui Kepala Seksi Pelayanan Publik Drs.H Otong.R  S.Ap kepada jabarkita online dikantornya baru-baru ini.



Menurutnya,sikap Sub Divre itu sebagai jawaban atas banyaknya laporan dan temuan masyarakat terkait pendistribusian raskin yang diduga dicampur dengan menir.
Menurutnya bila dari hasil investigasi ternyata ditemukan adanya kepala gudang yang bermain curang.Maka Sub Divre Indramayu akan melakukan tindakan tegas tandas H Otong.
Dijelaskan,Sangsi yang diberikan Sub Divre terhadap kepala Gudang bisa saja berupa teguran keras terhadap kinerjanya pada akhir tahun,bahkan bisa saja turun dari gudang besar ke gudang kecil.Hingga pencopotan dirinya sebagai kepala gudang.”Jadi kita tidak main-main dalam menyikapi kasus raskin ini”.Jelas H Otong.
Dikatakan sebelum disalurkan kedesa-desa,beras yang keluar dari gudang itu harus disurvey dahulu secara visual baik menyangkut hama,pembungkus karung,maupun kwalitas dan kwantitas dari beras itu sendiri terangnya.
Otong mengungkapkan,apabila dalam perjalanannya terjadi penolakan dari desa-desa terhadap perdistribusian raskin yang diindikasikan jelek,kotor bahkan berbau.Maka Kasub Divre menegur langsung terhadap kepala gudang tersebut agar beras itu distandarkan kembali oleh gudang baik isi maupun mutunya.
”Kita akan ganti beras yang dikembalikan itu dengan beras yang lebih baik.Jadi kita tidak tinggal diam dalam menyikapi raskin yang tidak sesuai dengan kwalitas maupun kwantitasnya”.Kata Otong.
Seraya ditegaskan untuk pendistribusian beras raskin ke desa-desa kita siapkan dari 8 gudang.Untuk wilayah timur yakni dari gudang Singakerta 1 dan 2 meliputi 6 kecamatan,wilayah selatan gudang Kertasemaya 4 kecamatan,gudang Widasari 4 Kecamatan,wilayah utara gudang Bangodua 6 kecamatan,wilayah barat gudang Pekandangan 4 kecamatan,gudang Losarang 3 kecamatan,dan gudang Kedungwungu 4 kecamatan.
Sementara itu menyikapi tingginya harga beras Kasub Divre Indramayu H Sudarsono mengungkapkan,saat ini seluruh gudang yang ada sudah terisi semua.
Menurutnya masyarakat tidak usah khawatir karena Sub Divre Indramayu siap melakukan Operasi Pasar (OP) manakala harga beras dilapangan itu melonjak tinggi.”Kapanpun kita siap untuk melakukan operasi pasar manakala harga beras dilapangan sudah tidak bisa terbendung lagi”.Tandas H Sudarsono kepada jabarkita online di ruang kerjanya belum lama ini.(H Yonif)   

http://jabarkita.com/2012/10/adanya-dugaan-raskin-campur-menir-kepala-gudang-nakal-bakal-terkena-sangsi/ 

Sabtu, 27 Oktober 2012

Lepas Kebergantungan Impor

Sabtu, 27 Oktober 2012

 JAKARTA - Lembaga Otoritas Pangan harus memiliki kewenangan kuat dalam mengontrol kebijakan pangan dalam upaya mengurangi kebergantungan pada impor pangan.

Kebergantungan pada impor bisa lepas karena di dalam lembaga itu, semua hal seperti produksi, distribusi, dan konsumsi ada dalam satu komando.

Demikian dikatakan pengamat pertanian dari Koodinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, di Jakarta, kemarin. Menurut Tejo, lembaga tersebut minimal harus setingkat menteri koordinator yang memiliki kewenangan kuat dalam mengontrol urusan pangan. Namun, lembaga itu tetap berada di bawah presiden dalam menjalankan tugasnya.

"Lembaga itu kan ingin menyatukan 14 kementerian dan lembaga yang selama ini mengurusi pangan. Lembaga itu minimal setingkat menko agar memiliki kekuatan," ujarnya.

Dia mengatakan kewenangan itu salah satunya berupa intervensi hal-hal mengenai pangan sehingga keberadaan lembaga itu tidak saja menambah birokrasi, tetapi juga memberikan manfaat. Lembaga itu juga harus menjamin ketersediaan lahan produktif untuk pertanian sehingga konversi lahan akan berhenti.

Selama ini, terjadi ego sektoral yang terjadi antar kementerian dan lembaga dalam mengelola urusan pangan. Dia mencontohkan masalah produksi urusan Kementan, distribusi urusan Bulog, dan perdagangan urusan Kementerian Perdagangan.

Untuk itu, dia menilai keberadaan lembaga ini merupakan hal yang luar biasa, terutama dalam kewenangan yang harus dimilikinya. Agar keberadaan lembaga itu efektif, menurut Tejo, harus segera dibuat peraturan pemerintah sebagai aturan pelaksana teknis Undang-Undang Pangan sehingga proses kemandirian pangan bisa segera dilaksanakan.

"Peraturan pemerintah (PP) itu harus segera dibuat, jangan terlalu lama karena Undang- Undang Pangan sudah disahkan," kata dia.

Apabila PP tidak segera dibuat, UU Pangan yang sudah disahkan tersebut hanya akan menjadi kertas tanpa ada eksekusi teknis di lapangan. Hal serupa diungkapkan Guru Besar Universitas Udayana, Dewa Ngurah Suprapta. Ia mengatakan Indonesia harus mampu mewujudkan ketahanan pangan yang berbasis kemampuan produksi dalam negeri, tidak bergantung pada produk impor.

Ia mengatakan lembaga ketahanan pangan itu diharapkan mampu mengemban tugas berat tersebut agar Indonesia tidak lagi mengimpor hasil pertanian dan menghilangkan kebergantungan pada negara lain. Kewenangan yang diberikan presiden kepada lembaga pangan untuk menyusun strategi, sekaligus mendapat dukungan dari menteri terkait yang menangani masalah pangan.

Konversi Lahan

Sementara itu, Wakil Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI), Rachmat Pambudy, mengatakan pemerintah, dalam menindaklanjuti disahkannya UU Pangan, tidak perlu menerbitkan peraturan pembatasan konversi lahan pangan menjadi nonpangan.

"Sudah ada Undang-Undang Agraria yang menegaskan bahwa tanah berfungsi sosial, jadi aturan teknis konversi lahan tidak diperlukan," kata dia. Rachmat menjelaskan salah satu turunan dari fungsi sosial tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria No 5 Tahun 1960 adalah tanah untuk kepentingan orang banyak, salah satunya adalah pangan.

"Oleh karena itu, UU Agraria harus diutamakan jika terjadi konversi lahan pangan, namun undang-undang tersebut selama ini memang tidak diimplementasikan oleh pemerintah," kata Rachmat.

Konversi lahan pertanian ditengarai sebagai salah satu sebab tingginya impor komoditas pangan di Indonesia. Pada 2011 lalu, Indonesia mengimpor 2,75 juta ton beras dengan nilai 1,5 miliar dollar AS. Di sisi lain, Menteri Pertanian, Suswono, memperkirakan 100 ribu hektare pertanian telah dikonversi menjadi kawasan baru setiap tahunnya.

Padahal selain sudah ada UU Agraria, terdapat payung hukum lain untuk mengerem laju konversi lahan pertanian, yaitu UU No 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Secara terpisah, Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi) meminta pemerintah mengatasi masalah produksi pangan dengan mempercepat realisasi program swasembada pangan. naan/Ant/E-3

http://koran-jakarta.com/index.php/detail/view01/104085

Musim Tanam Padi Mundur Dua Bulan

Penulis : Hermas Effendi Prabowo | Sabtu, 27 Oktober 2012


JAKARTA, KOMPAS.com - Musim tanam padi diperkirakan mundur dua bulan dari kondisi normal. Pemerintah diminta mengantisipasi agar tidak berdampak pada produksi beras nasional dan daya beli petani serta cadangan pangan nasional yang akan berdampak pada stabilisasi harga. Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA) Winarno Tohir mengatakan itu, Sabtu (27/10/2012) saat dihubungi di Indramayu, Jawa Barat. Musim tanam padi pada musim hujan tahun ini diperkirakan baru akan mulai akhir November atau awal Desember 2012.
"Berdasarkan ramalan BMKG, hujan baru akan mulai banyak awal November," katanya. Turunnya hujan bulan November tidak bisa langsung dimanfaatkan petani untuk mengolah lahan dan menanaminya. Butuh waktu agar air permukaan (air hujan) dan air irigasi cukup untuk persiapan tanam. Itu berarti musim tanam baru akan mulai serentak awal Desember. Hartono, petani dari Lumajang, Jawa Timur mengatakan, musim tanam belum mulai karena petani masih nunggu hujan. Hujan diperkirakan turun dua minggu lagi, untuk olah lahan butuh sepuluh hari sehingga Desember baru mulai tanam.
"Semua mundur musim tanam, di tempat kami bisa sebulan lebih mundurnya," katanya. Dia berharap mundurnya musim tanam padi ini bisa diantisipasi oleh pemerintah, baik pusat maupun daerah. Petani jagung di Lampung, Jumadi mengatakan di daerahnya hujan baru turun dua kali. Ada sebagian petani yang mencoba mengolah lahan dan menanaminya, tetapi benih jagung terus busuk karena hujan tidak datang lagi. Bulan November ini diperkirakan hujan akan turun. Dia berharap hujan mulai berlangsung lebih sering agar petani langsung mulai tanam.
"Begitu November hujan. Kita akan langsung tanami," katanya. Winarno menambahkan, di Indramayu, Jawa Barat hujan baru turun sekali. Petani jelas tidak berani menanam karena justru akan merugi. Di Indramayu, musim tanam serentak diperkirakan awal Desember. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkiraakan musim penghujan di Indonesia akan mengalami keterlambatan akibat Badai El Nino yang berkekuatan lema, yang mengurangi pasokan uap air dari Samudera Pasifik sebelah timur Indonesia. Keterlambatan awal mulainya musim hujan berkisar 10 hari sampai sebulan. Beberapa daerah yang sejauh ini masih mengalami kekeringan akan memasuki musim penghujan pada akhir bulan Oktober.
Berdasarkan data obeservasi BMKG, musim kemarau mulai terjadi pada bulan April di 32 persen wilayah Indonesia. Hingga Agustus ini, wilayah yang mengalami musim kemarau tersebut terpantau telah mencapai 97 persen. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, panen padi musim hujan menyumbang sekitar 60 persen dari produksi beras nasional. Selebihnya pada musim kemarau I dan kemarau II. Mengacu data Direktorat Jenderal Tanaman Pangan Kementerian Pertanian, dalam evaluasi prakiraan serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) utama padi 2011/2012 sasaran luas tanam padi pada musim tanam 2011/2012 adalah 8.690.398 hektar.
Prakiraan maksimum serangan OPT utama tanaman padi pada MT tersebut 251.256 hektar atau 2,89 persen dari sasaran. Sampai Maret 2012, realisasi luas tanam padi 6.848.945 hektar. Panen mulai Maret Winarno mengatakan, dengan musim tanam awal Desember 2012, musim panen diperkirakan baru mulai Maret 2013. Panen bulan Maret perlu untuk mengisi pasar dan menstabilkan harga, sehingga Bulog diperkirakan baru bisa menyerap optimal pada bulan April. Panen bulan Maret 2013 bertepatan dengan musim hujan. Bagi petani yang tidak memiliki sarana pengering akan menghadapi masalah serius penurunan kualitas gabah.
Harga gabah petani bisa anjlok. Karena itu Kementerian Pertanian diminta untuk memetakan lokasi dan kepemilikan sarana pengering agar mobilisasi bisa lebih mudah. Panen pada musim hujan juga lebih memicu hama penyakit. Kondisi ini harus diantisipasi pemerintah. Bagi petani yang daerahnya rentan terhadap banjir, KTNA menganjurkan agar mereka menanam padi yang lebih tahan rendaman. Paling tidak seminggu terendam air. Misalnya dengan menanam padi varietas Inpari atau Inpara. Terkait pengadaan, para petani meminta agar Bulog mengoptimalkan sarana pengering. Bulog juga diminta responsif menjemput bola membeli gabah petani agar jangan sampai harganya jatuh.

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/10/27/12492295/Musim.Tanam.Padi.Mundur.Dua.Bulan

Saatnya Berdaulat Pangan

Tanggal 27 October 2012


IRMAN GUSMAN
Melambungnya harga berbagai barang pangan yang sangat memberatkan masyarakat banyak, terutama menjelang hari-hari besar tertentu seperti sekarang. Ini tentu harus disikapi dengan sebaik-baiknya. Untuk itu, harus diambil langkah strategis agar persoalan terselesaikan.
Sudah seharusnya kita memiliki kedaulatan pangan, bukan hanya sekadar ketahanan pangan. Tidak bisa lagi menyandarkan diri pada impor. Selama ini, Indonesia merupakan negara importir pangan terbesar di dunia. Sangat disayangkan, negara kita memiliki iklim yang sangat teratur, dengan konstruksi tanah yang sangat subur.
“Tongkat kayu jadi tanaman,” tapi jangankan keju, singkong pun diimpor. Kita memiliki garis pantai terpanjang di dunia, tapi garam pun diimpor. Bahkan di pasaran dalam negeri sekarang orang sudah lebih hafal dengan durian bangkok dari Thailand atau jeruk yongnam dari Cina. Tidak banyak lagi yang menyebut jeruk pontianak seperti dulu. Hal ini menunjukkan betapa besar ketergantungan kita kepada impor pangan dan produk pertanian dari negara asing.
Ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terus-menerus, tanpa adanya langkah-langkah penyelesaian yang tepat progresif dan konstruktif. Artinya, at all cost, harus habis-habisan memperjuangkan agar secepatnya bisa swasembada pangan. Apa pun yang menjadi keunggulan secara nasional harus mampu diproduksi.
Banyak produk pertanian yang dari segi kualitas tidak kalah dengan produk yang sama dari negara asing. Persoalannya, kita belum mampu membuatnya menarik seperti produk-produk pertanian dari negara asing tersebut.
Dalam ketersediaan lahan mungkin masih akan dihadapi berbagai kendala. Artinya ekstensifikasi lahan mungkin masih menghadapi berbagai halangan yang tidak kecil. Tapi tidak boleh dinafikan, Indonesia bisa melakukan intensifikasi produksi pertanian. Kita harus mengapresiasi capaian yang diraih pemerintah sejauh ini, dengan peningkatan produksi beras nasional yang mencapai 3,17 persen lebih besar dari pada 2011. Dengan demikian, diharapkan agar surplus 10 juta ton beras benar-benar jadi kenyataan pada 2014.
Sekarang harus diperiksa kembali berapa sesungguhnya produksi beras secara nasional. Dari situ mungkin bisa diambil langkah-langkah untuk melakukan intensifikasi, seperti yang dilakukan negara lain. Mereka bisa mengembangkan manajemen pertanian dengan sangat baik. Input pupuk juga dilakukan dengan sangat baik, sehingga mampu memberikan insentif yang memadai bagi petani untuk lebih giat lagi dalam meningkatkan produksi pertanian.
Mengapa Thailand berhasil melakukan langkah-langkah yang dimaksud? Penyebab utamanya karena raja maupun pemerintah negara Gajah Putih itu sangat serius dengan masalah pengembangan produk pertanian. Karena itu, kita berharap pemerintah pun bisa melakukan langkah-langkah yang sama.
Pemerintah sebenarnya bisa intervensi, misalnya dalam pengendalian harga pupuk dan produk pendukung pertanian lainnya, sehingga biaya produksi petani bisa ditekan seminimal mungkin. Kalau kita menganggap ini menyangkut kedaulatan pangan, maka harus dilakukan dengan cara yang terbaik.
Impor?
Bagaimanapun, paham dalam soal pangan haruslah strategis. Dalam jangka panjang, harus ada komitmen kuat untuk bisa meningkatkan produksi dalam negeri. Apa pun bentuknya produk pertanian harus secepatnya bisa dikembangkan dan tingkatkan, termasuk juga peternakan.
Mungkin sudah seharusnya dipikirkan langkah-langkah terbaik untuk melakukan landreform. Tapi untuk jangka pendek, kalau masalah supply and demand-nya belum berimbang, kemampuan produksi belum bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri, tentu kita harus melakukan impor.
Tapi sekali lagi dalam impor, harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Harga barang impor jangan sampai mengganggu pengembangan potensi dalam negeri. Harus ada patokan. Jika terlalu tinggi tidak terjangkau oleh konsumen, tapi kalau terlalu rendah juga tidak baik, karena akan mengganggu produksi barang dalam negeri. Jika harga tinggi, tentu akan mendorong orang untuk lebih giat dalam memproduksi barang yang dimaksud.
Pada akhirnya, kita harus fokus bagaimana caranya pada waktu yang tidak terlalu lama bisa mencapai apa yang dimaksud dengan swasembada pangan. Untuk itu, mulai sekarang langkah-langkah yang tepat mesti diambil. Bagaimana pun caranya, at all cost kita harus investasi. Untuk mempertahankan kedaulatan negara, misalnya berapa pun biayanya keluarkan uang untuk melengkapi alutsista. Begitu juga dengan persoalan pangan. Berapa pun biayanya, demi mencapai kedaulatan pangan, investasikan uang guna mencapai tujuan swasembada pangan.
Kini dunia dihadapkan pada ancaman pangan global. Banyak pihak mengkhawaatirkan kondisi yang ada di dalam negeri saat ini. Bila krisis itu terjadi sementara kita masih terbelenggu kekuatan impor produk pangan, maka itu bukan persoalan yang bisa dipandang sepele. Karena itu, langkah-langkah yang strategis mestilah ada.
Tapi disamping itu, juga harus melihat berbagai perkembangan di berbagai belahan dunia. Soalnya, ketika kita dihadapkan pada ancaman krisis pangan global, sejumlah negara tetangga justru mengalami over produksi beras. Malah Thailand mengusulkan pembentukan kartel beras yang dinamakan ASEAN Rice Federation. Karena mereka over produksi sehingga kuatir harga beras akan melorot, Itu langkah-langkah yang sedang diupayakan Thailand, juga Vietnam, Kamboja, Myanmar dan Laos.
Pertanyaannya sekarang, apa langkah kita sebagai negara pengimpor produk pangan yang dimaksud?(*)

Jumat, 26 Oktober 2012

Pemimpin yang Rela Berkorban

Jumat, 26 Oktober 2012
HARI ini sekitar dua setengah juta umat Islam dari berbagai belahan dunia berhimpun di Padang Arafah, di luar kota Makkah. Mereka melaksanakan wukuf, puncak ibadah haji.

Dengan pakaian ihram di tenda-tenda besar di bawah terik sinar matahari, mereka bertakbir, bertahmid, bertasbih, dan bertalbiyah, menyeru kebesaran asma Allah.

Seusai puncak ibadah haji itu, besok, umat Islam di seluruh dunia merayakan Hari Raya Idul Adha, 10 Zulhijjah 1433 H. Ratusan juta ekor hewan kurban pun disembelih, dagingnya dibagi-bagikan kepada mereka yang berhak.

Idul Adha adalah hari ketika manusia dituntut melakukan sebuah pengorbanan besar dalam kehidupan. Ia adalah hari ketika nilai-nilai kepatuhan dan keikhlasan saat menjalankan perintah Allah SWT diperagakan.

Ia adalah hari ketika Nabi Ibrahim AS memberikan teladan. Ia juga menjadi salah satu monumen terbesar umat manusia untuk menandai betapa dalam menjalankan perintah Sang Pencipta, manusia harus ikhlas merelakan apa pun yang paling berharga dalam hidup. Termasuk melepas anak terkasih bila itu memang dikehendaki Sang Khalik.

Itulah semangat pengorbanan yang teramat relevan untuk diterapkan dalam seluruh sendi-sendi kehidupan, termasuk kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia yang kini sangat mengalami degradasi.

Mengalami degradasi karena yang jauh lebih menonjol pada hari-hari ini ialah semangat untuk menang sendiri, kaya sendiri, berkuasa sendiri, benar sendiri, kuat sendiri, dan populer sendiri, tanpa mempedulikan kebenaran, keadilan, dan penderitaan rakyat.

Para pemimpin yang diharapkan untuk menjadi teladan dalam berkorban bagi rakyatnya dengan mengedepankan kepentingan publik, telah lama mengalami retardasi moral dan sosial, sehingga mereka justru lebih mengedepankan kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan golongan.

Hari-hari ini, kita menyaksikan, banyak pemimpin yang lebih suka mengorbankan bawahan demi menyelamatkan diri dan kelompok. Kita juga menyaksikan semakin banyak pemimpin yang gagal namun tidak mengakui kegagalan itu dan memilih menimpakan kegagalan itu sebagai kegagalan bawahan.

Tidak pernah ada pemimpin di negeri ini yang mengakui ia gagal. Tidak pernah pula ada pemimpin yang mengakui ia bersalah. Yang ada ialah bawahan yang gagal, bawahan yang bersalah. Karena itu, bawahanlah atau rakyatlah yang lebih banyak dikorbankan oleh pemimpin.

Kita tidak pernah menyaksikan ada pejabat publik di negeri ini yang mengundurkan diri karena merasa gagal. Yang ada ialah para pemimpin dan pejabat yang merasa benar dan ingin terus berkuasa.

Idul Adha dapat menjadi cermin untuk berkaca dan mengukur derajat pengorbanan yang telah kita lakukan. Ia menjadi kesempatan untuk menziarahi altruisme dan memerangi egosentrisme.

Kita merindukan pemimpin yang menjiwai semangat Idul Adha, kita menginginkan pemimpin yang rela berkorban demi rakyatnya.
 
http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/26/358480/70/13/Pemimpin-yang-Rela-Berkorban

UU PANGAN: Aturan pembatasan konversi lahan tidak perlu

Jum'at, 26 Oktober 2012
 JAKARTA--- Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengatakan bahwa pemerintah, dalam menindak lanjuti disahkannya Undang-Undang Pangan, tidak perlu menerbitkan peraturan pembatasan konversi lahan pangan menjadi non-pangan.

"Sebetulnya sudah ada Undang-Undang Agraria yang menegaskan bahwa tanah berfungsi sosial, jadi aturan teknis konversi lahan tidak diperlukan," kata Wakil Ketua HKTI Rachmat Pambudy saat dihubungi di Jakarta, Kamis (25/10/2012)

Rachmat menjelaskan, salah satu turunan dari fungsi sosial tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria No 5 tahun 1960 adalah tanah untuk kepentingan orang banyak, salah satunya adalah pangan.

"Oleh karena itu UU Agraria harus diutamakan jika terjadi konversi lahan pangan, namun undang-undang tersebut selama ini memang tidak diimplementasikan oleh pemerintah," kata Rachmat.

Konversi lahan pertanian ditengarai sebagai salah satu sebab tingginya impor komoditas pangan di Indonesia. Pada 2011 lalu, Indonesia mengimpor beras sebanyak 2,75 juta ton dengan nilai 1,5 miliar dolar AS.

Sementara di sisi lain, Menteri Pertanian Suswono memperkirakan, 100 ribu hektare pertanian telah dikonversi menjadi kawasan baru setiap tahunnya. Padahal selain sudah ada UU Agraria, juga terdapat payung hukum lain untuk mengerem laju konversi lahan pertanian yaitu, UU No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

Menanggapi hal tersebut, Rachmat mengatakan bahwa Undang-Undang Pangan yang baru disahkan adalah langkah baik bagi DPR dan pemerintah untuk memikirkan kedaulatan dan ketahanan pangan.

"Namun UU itu harus segera diikuti oleh Peraturan Pemerintah yang mengatur pelaksanaan teknisnya," katanya.

Rachmat juga mengingatkan bahwa yang paling penting dari Undang-Undang Pangan adalah implementasinya karena tanpa hal tersebut, sebaik apa pun produk hukumnya tetap tidak akan berguna bagi masyarakat banyak.(Antara/msb)

http://www.bisnis.com/articles/uu-pangan-aturan-pembatasan-konversi-lahan-tidak-perlu

Kamis, 25 Oktober 2012

PENGUMUMAN LELANG JASA PENGURUSAN PENERIMAAN BARANG LUAR NEGERI

Perum BULOG Divre DKI Jakarta akan melakukan Pelelangan Umum Jasa Angkutan Beras Luar Negeri / Impor :
A.    Bidang Pekerjaan & Jadwal Pengangkutan :
           Jasa Angkutan Handling Beras di Pelabuhan Tanjung Priok
No.
Nama Kapal
Party
ETA
1.
MV. Dong Ho
8.100 Ton
1-4/11/2012
2.
MV. My Vuong
13.100 Ton
2-5/11/2012
3.
MV. Ha Tien
6.700 Ton
8-13/11/2012
            B.    Persyaratan Pendaftaran :
1.    Berbadan hukum Perseroan Terbatas dan memiliki dokumen-dokumen yang sah yaitu :
a.    Copy Company Profile.
b.    Copy Akte Pendirian Perusahaan Perseroan Terbatas (PT) yang diterbitkan oleh notaris serta perubahan-perubahannya termasuk pengesahan dari Menteri Kehakiman.
c.    Copy Surat Ijin Usaha Jasa Pengurusan Transportasi (SIUJPT) yang diterbitkan oleh Departemen Perhubungan RI.
d.    Copy Surat Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (SPPKP).
e.    Copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
f.     Copy Tanda Daftar Perusahaan (TDP).
g.    Copy Surat Keterangan Domisili.
h.    Surat Tanda Pendaftaran (STP) ijin operasional di Pelabuhan Tanjung Priok – ADPEL yang diterbitkan oleh Kantor Otoritas Pelabuhan.
i.      Copy Rekomendasi/Sertifikat Keanggotaan Gafeksi.
j.      Tanda Daftar Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) bila ada.
k.    Mempunyai kemampuan untuk melakukan akses dengan Perusahaan Bongkar Muat (PBM) Terminal Operator (TO).
l.      Copy Laporan Keuangan tahun terakhir (tahun 2011) beserta Laporan Auditor Independen.
m.   Copy SPT Tahunan PPh Badan Tahun terakhir dan SPT Masa PPN 3 (tiga) bulan terakhir tahun berjalan, menunjukkan bukti lapor asli SPT tersebut ke KKP setempat.
2.    Mempunyai pengalaman menangani bahan pangan (di dukung dengan copy surat rekomendasi pengalaman kerja/SPK/Kontrak minimal 1 (satu) dokumen).
3.    Bersedia menyerahkan jaminan penawaran dan pelaksanaan pekerjaan (Bid Bond) dalam bentuk uang tunai atau Bank Garansi atau sertifikat Deposito (Bank BUKOPIN) dengan memberikan surat kuasa pencairan kepada Perum BULOG dan diketahui oleh bank yang bersangkutan.
4.    Surat Pernyataan yang ditandatangani di atas kertas bermaterai cukup, bahwa tidak dalam pengawasan pengadilan, bukan Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau pegawai Badan Usaha Miik Negara (BUMN), tidak pailit, kegiatan usahanya tidak sedang dihentikan, dan/atau Direksi yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan tidak sedang dalam perkara perdata maupun pidana, tidak masuk dalam daftar hitam dan tidak dikenakan sanksi dari suatu instansi pemerintah/swasta.
5.    Surat pernyataan untuk tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Dokumen Pengadaan Jasa Angkutan.
6.    Surat Pernyataan Kebenaran Dokumen.
7.    Penandatangan Pakta Integritas.
            C.   Pendaftaran Calon PJPT :
No.
Uraian
Hari / Tanggal
Waktu
Tempat
1.
Pengambilan Rencana Kerja dan Syarat (RKS)
Senin /
29 Oktober 2012
09.00 – 16.00 WIB
R. Humas Lt. 1
Perum Bulog Divre DKI
2.
Penjelasan RKS
(Aanwizjing)
Selasa /
30 Oktober 2012
09.30 WIB - selesai
R. Serbaguna Lt. 3
Perum Bulog Divre DKI
3.
Pelaksanaan Lelang
Rabu /
31 Oktober 2012
09.30 WIB - selesai
R. Serbaguna Lt. 3
Perum Bulog Divre DKI
* Catatan  :   1.  PJPT tidak diperkenankan untuk mengerjakan lebih dari satu pekerjaan di Perum BULOG Divre DKI, baik Handling Impor dan atau Movement dalam waktu yang bersamaan.
                        2.  PJPT tidak diperkenankan mengikuti Lelang apabila terdapat satu atau lebih persyaratan administrasi yang masih dalam proses pengurusan atau perpanjangan masa berlaku.
Jakarta, 25 Oktober 2012
Panitia Pengadaan Jasa PJPT Beras Impor
Perum BULOG Divre DKI Jakarta & Banten Tahun 2012

Bulog dan BUMN pangan akan dilebur jadi satu

UU Pangan Baru Tidak Sesuai Dengan Konsep Kedaulatan Pangan, Isi Lama Kemasan Baru

24 Oktober 2012
JAKARTA. RUU tentang Revisi UU Pangan No. 7 Tahun 1996 akhirnya disahkan pada Kamis (18/10/12) lalu. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat bahwa UU Pangan yang baru ini akan dapat menjadi pedoman dan mengakomodir permasalahan-permasalahan di bidang pangan yang ada di negeri ini. Namun kami, Serikat Petani Indonesia (SPI) tidak sependapat dengan Pemerintah dan DPR dalam hal ini. UU Pangan yang baru ini belum mampu menjawab masalah yang ada dan tidak mampu mengubah kehidupan petani dan nelayan sebagai produsen pangan. Dalam UU Pangan yang baru disahkan minggu lalu tersebut, SPI melihat Pemerintah terkesan memaksakan konsep kedaulatan pangan dan ketahanan pangan untuk disatukan dalam UU ini.
Padahal konsep kedaulatan pangan merupakan jawaban atas gagalnya konsep ketahanan pangan yang telah diterapkan selama ini. Mengacu pada UU tentang Pangan sebelumnya, UU No. 7 Tahun 1996, konsep ketahanan pangan yang diimplementasikan oleh pemerintah hanya terbatas pada “kondisi terpenuhinya pangan bagai rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.” Konsep ini persis dengan konsep ketahanan pangan yang dicanangkan oleh FAO, yaitu tanpa melihat dari mana pangan tersebut dihasilkan atau dengan cara apa pangan tersebut dihasilkan. Dalam ketahanan pangan, suatu negara dikatakan aman apabila mampu memenuhi pangannya tanpa dia memproduksi sendiri pangan tersebut, artinya, suatu negara boleh menggantungkan pemenuhan pangannya terhadap  negara lain melalui mekanisme impor.
Pada akhirnya, konsep ketahanan pangan ini telah menegasikan para petani pangan, dalam hal ini produsen pangan utama. Petani “dipaksa” oleh sistem dan paradigma yang berorientasi pada keuntungan dan berorientasi uang. Akhirnya, petani dikondisikan untuk masuk kedalam pasar produk pertanian yang tanggap terhadap perkembangan harga. Untuk kasus Indonesia, karena harga cash crops– seperti tanaman perkebunan –lebih menguntungkan maka pemerintah lebih mendorong pada pengembangan tanaman cash crops untuk mencapai pertumbuhan ekspor setinggi-tingginya. Petani terpaksa mengikuti keinginan sistem yang sudah berorientasikan pasar. Akibatnya, petani/pelaku pertanian yang kuat dan bermodal sajalah yang bisa bertahan, semantara yang lemah semakin kehilangan aksesnya terhadap alat-alat produksi seperti tanah, air, benih, teknologi dan pasar.
Konsep ketahanan pangan yang diterapkan baik di dunia maupun di Indonesia semata berusaha menjamin pangan murah, lewat segala cara terutama lewat impor pangan dalam mekanisme liberalisasi pangan. Kebijakan pangan Indonesia yang saat ini telah sangat bergantung pada impor menyebabkan negeri ini berada pada posisi yang sangat sulit. Betapa disayangkan bahwa tingginya kebutuhan pangan dalam negeri malah digunakan sebagai peluang untuk membuka liberalisasi pangan lebar-lebar. Padahal Indonesia sebagai negara agraris yang besar sesungguhnya memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan memasok bagi kebutuhan global.
Untuk menjawab krisis pangan dan pertanian yang terjadi di dunia, pada tahun 1996 La Via Campesina menyusun konsep Kedaulatan Pangan sebagai counter proposal atas konsep Ketahanan Pangan yang disusun FAO dalam World Food Summit di Roma untuk mendorong pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang berdasarkan pada prinsip solidaratas–bukan pertanian berbasiskan agribisnis—yang berdasarkan pada profit semata. Jika ketahanan pangan menjadi alat dari paradigma developmentalism, maka kedaualtan pangan adalah alat bagi paradigma pembangunan yang berkeadilan sosial.
Dalam realisasinya, kedaulatan pangan akan terwujud jika petani sebagai penghasil pangan memiliki, menguasai dan mengkontrol alat-alat produksi pangan seperti tanah, air, benih dan teknologi— terlaksananya Reforma agraria. Hal ini sejalan dengan pembangunan pedesaan yang disokong oleh sektor pertanian untuk memperkuat kondisi pangan lokal, baru setelah itu dibangun sektor non pertanian yang tetap berbasiskan pada sektor pertanian dengan pengelolaan  sistem ekonomi pedesaan yang mandiri dan berkelanjutan dan berdasarkan perekonomian rakyat.
Dalam hal distribusi, kedaulatan pangan tidak menegasikan perdagangan, namun, perdagangan diselenggarakan apabila kebutuhan pangan individu hingga negara telah terpenuhi. Sementara itu, penentuan harga  dipastikan harga yang layak dengan sistem perdagangan alternatif yang melindungi hak kedua belah pihak baik itu produsen ataupun konsumen. Untuk bisa mewujudkan semua itu, pemerintah  dituntut untuk menyediakan program-program pelayanan yang mendukung produksi untuk kepentingan domestik dan   aktivitas pasca panen termasuk jaminan  harga dengan memberikan subsidi  yang layak untuk menjamin martabat hidup petani. Lebih lanjut, pembangunan infrastruktur sebagai penunjang dalam mempercepat perbaikan kondisi sosial, ekonomi dan politik pedesaan seperti jalan-jalan utama, listrik, fasilitas pendidikan, fasilitas kesehatan, irigasi dan  air bersih harus dilakukan sebagai sarana pendukung keseluruhan proses pembangunan pedesaan yang berdaulat pangan.
Lebih jauh lagi, dalam kedaulatan pangan hak atas pangan dijamin sebagai hak konstitusional rakyat dan negara berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak tersebut. Artinya ada mekanisme realisasi dari hak atas pangan ini. Namun bisa kita lihat dalam UU ini sama sekali tidak membahas soal hak atas pangan. Padahal dalam konsiderans disebutkan bahwa “Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Aspek kewajiban Negara untuk memenuhi hak atas pangan warga negaranya justru tidak diatur dalam UU ini. Karena tidak adanya konsep hak atas pangan dalam UU ini maka tidak ada juga mekanisme tanggung gugat Negara jika Negara gagal memenuhi hak atas pangan rakyatnya.
Dalam UU ini juga tidak memasukkan UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya yang merupakan salah satu instrumen HAM penting, padahal dalam konsideransnya UU ini menyebut pemenuhan pangan adalah bagian dari HAM yang dijamin Undang-Undang Dasar 1945. UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 juga tidak disebutkan dalam konsiderans UU ini, padahal Indonesia sekarang menjadi negara pengimpor pangan terbesar di dunia dan seharusnya pasal 2 UUPA No. 5/1960 tentang Hak Menguasai Negara dan pasal 9 UUPA No.5/1960 tentang tanah untuk kepentingan rakyat menjadi penting dalam konsiderans, karena pembaruan agraria sebagai realisasi hak atas pangan sangat penting mengingat semakin sempitnya kepemilikan lahan untuk produksi pangan.
Dalam pasal 15 ayat 2 UU ini disebutkan “dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.” Dalam penjelasan UU ini yang dimaksud dengan “untuk keperluan lain” adalah penggunaan kelebihan Produksi Pangan selain untuk konsumsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri, dan/atau ekspor. Terlihat disini pemerintah menyiapkan dalam UU ini penggunaan pangan untuk bahan baku energi sebagai landasan hukum pengembangan agrofuel. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya praktek perampasan tanah secara masif dan pelanggaran hak asasi petani. Dalam roadmap pembangunan Pemerintah, pengembangan agrofuel pada tahun 2025 mencapai 22,26 juta kiloliter. Hal itu artinya membutuhkan banyak lahan untuk dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan monokultur. Dan, pengelolaan perkebunan dalam ukuran seperti itu hanya dimungkinkan oleh perusahaan-perusahaan besar saja. Lebih lanjut lagi, perluasan perkebunan monokultur menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Jutaan hektar hutan tropis dialihfungsikan menjadi perkebunan monokultur. Ratusan ribu ton pupuk kimia, herbisida dan pestisida ditaburkan di atas lahan-lahan tersebut yang mengakibatkan hilangnya keragaman hayati, kesuburan tanah, dan menyebarkan berbagai racun kimia. Sementara itu, perluasan perkebunan monokultur yang dilakukan perusahaan-perusahaan besar telah menyingkirkan petani kecil dan masyarakat pedesaan dari kehidupannya. Perampasan tanah terjadi di desa-desa sekitar hutan yang dijadikan areal perkebunan. Konflik pun kerap terjadi antara perusahaan perkebunan dengan petani kecil dan masyarakat pedesaan yang menyebabkan terusirnya petani-petani kecil dari lahannya.
Dalam pasal 17, pemerintah mengkategorikan pelaku usaha pangan dengan petani, nelayan dan pembudidaya ikan sebagai produsen pangan, dimana Pemerintah berkewajiban melindungi serta memberdayakannya. Namun UU ini tidak membedakan antara pelaku usaha pangan besar dengan produsen pangan kecil seperti petani dan nelayan. Ini kontradiktif dengan pasal 18 yang menyebutkan pemerintah berkewajiban untuk menghilangkan kebijakan yang berdampak penurunan daya saing. Justru UU ini membuat daya saing semakin menurun. Bagaimana mungkin petani dan nelayan disuruh bersaing dengan perusahaan pangan besar?
Masalah lain yang kami lihat dalam UU ini adalah mengenai impor. Dalam Pasal 36 ayat 1 disebutkan Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Seharusnya kata “tidak dapat diproduksi didalam negeri” diganti dengan untuk mengatasi masalah pangan atau krisis pangan. Hal ini untuk menjamin produk impor pangan tidak menyebabkan persaingan dengan pangan produk lokal. Dan dalam Pasal 39 disebutkan Pemerintah menetapkan kebijakan dan peraturan Impor Pangan yang tidak berdampak negatif terhadap keberlanjutan usaha tani, peningkatan produksi, kesejahteraan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil. Namun tidak ada kontrol dari masyarakat tentang kebijakan dan peraturan Impor Pangan ini. Seharusnya Pemerintah berkonsultasi (hearing) dengan Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku Usaha Pangan mikro dan kecil sebelum melakukan Impor Pangan agar Impor Pangan yang akan dilakukan tidak berdampak negatif.
Dalam Pasal 46 UU ini mengatur mengenai Keterjangkauan Pangan. Sesuai pasal 11 Konvensi Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya yang telah disahkan melalui UU No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mengenai hak atas pangan, keterjangkauan pangan haruslah meliputi keterjangkauan secara fisik dan ekonomi, yang keduanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Namun dalam UU ini tidak dicantumkan secara eksplisit mengenai keterjangkauan fisik dan ekonomi masyarakat terhadap pangan secara berkelanjutan.
Bab VII Bagian Keempat UU ini mengatur tentang Pangan Produk Rekayasa Genetik. Secara tidak langsung Pemerintah mengakui bahwa pangan produk hasil rekayasa genetika diperbolehkan untuk diproduksi dan diedarkan di wilayah Negara Republik Indonesia. Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan pangan rekayasa genetik tidak boleh dikembangkan di Indonesia. Pertama, dari aspek keamanan pangan. Belum ada satu penelitian pun yang menjamin bahwa pangan rekayasa genetik 100 persen aman untuk di konsumsi. Malah dari beberapa riset akhir-akhir ini, pangan hasil rekayasa genetika menjadi penyebab berbagai penyakit. Kedua, dari aspek lingkungan. Di beberapa negara yang mencoba menanam benih rekayasa genetik terjadi polusi genetik. Lahan-lahan yang bersebelahan dengan tanaman rekayasa genetik berpotensi untuk tercemar oleh gen-gen hasil rekayasa genetik. Sehingga petani di sebelahnya yang menanam tanaman non rekayasa genetik bisa dituduh melanggar hak cipta karena dinilai telah membajak hak cipta perusahaan benih, padahal persilangan tersebut dilakukan oleh alam.
Selain itu, tanaman rekayasa genetik berpotensi merusak keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Hama dan penyakit tanaman akan lari ke ladang-ladang konvensional sehingga mau tidak mau petani tersebut harus beralih menjadi pengguna benih rekayasa genetik yang harganya mahal. Yang terakhir, aspek pengusaan ekonomi. Berdasarkan pengalaman petani di berbagai negara dan juga para petani yang pernah menjadi korban percobaan kapas rekayasa genetik di Sulawesi Selatan, gembar-gembor benih yang dikatakan tahan terhadap serangan hama dan produktivitasnya tinggi hanya omong kosong. Malah petani di Sulsel yang beralih ke benih genetik mengalami kerugian besar akibat ketergantungan penyediaan benih. Tiba-tiba harga benih melambung tinggi dan susah dicari, sementara itu petani sendiri tidak bisa mengembangkan benih secara swadaya karena teknologinya sarat modal. Hal ini menyebabkan kerugian yang besar dipihak petani dan mereka mulai membakar ladang-ladang kapas mereka dan segera beralih ke produk non transgenik. Petani hanya dijadikan objek untuk semata-mata keuntungan dagang saja.
SPI juga melihat Pasal 123 UU ini yang mengatur mengenai orang asing dapat melakukan penelitian pangan untuk kepentingannya di wilayah Negara Republik Indonesia menjadi suatu permasalahan tersendiri. Hal ini dapat membuat sumber-sumber keanekaragaman hayati lokal dapat berpindah ke tangan orang asing, apalagi dalam pasal 124 Pemerintah memfasilitasi dan memberikan pelindungan hak atas kekayaan intelektual terhadap hasil penelitian dan pengembangan Pangan serta Pangan Lokal unggulan, sehingga produk pangan hasil penelitian dan pengembangan Pangan serta Pangan Lokal yang dilakukan oleh orang asing dapat dipatenkan. Seharusnya penelitian dan pengembangan pangan dilakukan oleh Negara dan disandarkan pada semangat mendorong pengembangan teknologi pertanian sederhana tepat guna yang bisa diterapkan dengan mudah oleh produsen pangan kecil seperti petani, nelayan dan peternak dengan memperhatikan dan mendorong pengetahuan masyarakat dan potensi lokal.
Mengenai Bab XII tentang Kelembagaan Pangan, tidak dijelaskan bagaimana bentuk Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan ini, apakah berbentuk Kementerian atau Lembaga Pemerintah Non-Kementerian (LPNK). Yang menjadi soal apakah dibentuknya lembaga setingkat kementerian dapat mengatasi masalah pengelolaan pangan yang seperti benang kusut, karena pangan merupakan isu lintas sektor yang melibatkan banyak pihak. Belajar dari Badan Ketahanan Pangan (BKP) yang mengurusi soal pangan dibawah Kementerian Pertanian, tidak bergigi untuk mendorong dan mengkoordinasikan semua pihak yang terlibat dalam mengurusi soal pangan di negeri ini. Karena itu konsep soal kelembagaan pangan ini harus dipikir secara masak-masak oleh Pemerintah, apalagi UU ini mengamanatkan dalam Pasal 151, Lembaga Pemerintah yang menangani bidang pangan harus telah terbentuk paling lama tiga tahun sejak UU ini diundangkan.
Dari paparan diatas, kami Serikat Petani Indonesia (SPI) berpendapat bahwa UU Pangan yang baru ini tidak sesuai dengan konsep kedaulatan pangan dan tidak mengakui dan melindungi hak atas pangan rakyat Indonesia dan berpotensi merugikan petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya, sehingga kami akan melakukan kajian hukum lebih mendalam untuk melakukan upaya hukum uji materi terhadap UU Pangan ke Mahkamah Konstitusi.
Demikian pandangan sikap ini kami sampaikan.

Henry Saragih,
Ketua Umum SPI

http://www.spi.or.id/?p=5699

Rabu, 24 Oktober 2012

Serikat Petani Indonesia Segera Uji Materi UU Pangan ke MK

Rabu, 24 Oktober 2012


JAKARTA--MICOM: Serikat Petani Indonesia (SPI) meilai UU Pangan yang baru tidak sesuai dengan konsep kedaulatan pangan. 

SPI berpendapat bahwa UU Pangan yang baru ini tidak sesuai dengan konsep kedaulatan pangan dan tidak mengakui dan melindungi hak atas pangan rakyat Indonesia dan berpotensi merugikan petani, nelayan, dan produsen pangan lainnya. 

Untuk itu, SPI akan melakukan kajian hukum lebih mendalam untuk melakukan upaya hukum uji materi terhadap UU Pangan ke Mahkamah Konstitusi. 

RUU tentang Revisi UU Pangan No 7 Tahun 1996 akhirnya disahkan, Kamis (18/10) lalu. Pemerintah dan DPR sepakat bahwa UU Pangan yang baru ini akan dapat menjadi pedoman dan mengakomodasi permasalahan-permasalahan di bidang pangan yang ada di negeri ini. 

"Namun kami, Serikat Petani Indonesia (SPI) tidak sependapat dengan Pemerintah dan DPR dalam hal ini,'' ujar Ketua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) Henry Saragih dalam rilis yang dikirim ke Media Indonesia, Rabu (24/10). 

Dia mengatakan UU Pangan yang baru ini belum mampu menjawab masalah yang ada dan tidak mampu mengubah kehidupan petani dan nelayan sebagai produsen pangan. 

Dalam UU Pangan yang baru disahkan minggu lalu tersebut, SPI melihat Pemerintah terkesan memaksakan konsep kedaulatan pangan dan ketahanan pangan untuk disatukan dalam UU ini. 

Padahal konsep kedaulatan pangan merupakan jawaban atas gagalnya konsep ketahanan pangan yang telah diterapkan selama ini. 

Mengacu pada UU tentang Pangan sebelumnya, UU No 7 Tahun 1996, konsep ketahanan pangan yang diimplementasikan pemerintah hanya terbatas pada kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. 

Konsep ini persis dengan konsep ketahanan pangan yang dicanangkan FAO, yaitu tanpa melihat dari mana pangan tersebut dihasilkan atau dengan cara apa pangan tersebut dihasilkan. 

Dalam ketahanan pangan, suatu negara dikatakan aman apabila mampu memenuhi pangannya tanpa dia memproduksi sendiri pangan tersebut, artinya, suatu negara boleh menggantungkan pemenuhan pangannya terhadap negara lain melalui mekanisme impor. 

Pada akhirnya, konsep ketahanan pangan ini telah menegasikan para petani pangan, dalam hal ini produsen pangan utama. Petani dipaksa sistem dan paradigma yang berorientasi pada keuntungan dan berorientasi uang. 

Akhirnya, petani dikondisikan untuk masuk kedalam pasar produk pertanian yang tanggap terhadap perkembangan harga. 

Untuk kasus Indonesia, karena harga cash crops-- seperti tanaman perkebunan --lebih menguntungkan maka pemerintah lebih mendorong pada pengembangan tanaman cash crops untuk mencapai pertumbuhan ekspor setinggi-tingginya. 

Petani terpaksa mengikuti keinginan sistem yang sudah berorientasikan pasar. Akibatnya, petani/pelaku pertanian yang kuat dan bermodal sajalah yang bisa bertahan. Di sisi lain, yang lemah semakin kehilangan akses mereka terhadap alat-alat produksi seperti tanah, air, benih, teknologi dan pasar. 

Konsep ketahanan pangan yang diterapkan baik di dunia maupun di Indonesia semata berusaha menjamin pangan murah, lewat segala cara terutama lewat impor pangan dalam mekanisme liberalisasi pangan. 

Kebijakan pangan Indonesia yang saat ini telah sangat bergantung pada impor menyebabkan negeri ini berada pada posisi yang sangat sulit. Betapa disayangkan bahwa tingginya kebutuhan pangan dalam negeri malah digunakan sebagai peluang untuk membuka liberalisasi pangan lebar-lebar. 

Padahal Indonesia sebagai negara agraris yang besar sesungguhnya memiliki potensi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, bahkan memasok bagi kebutuhan global. 

Untuk menjawab krisis pangan dan pertanian yang terjadi di dunia, pada tahun 1996 La Via Campesina menyusun konsep Kedaulatan Pangan sebagai counter proposal atas konsep Ketahanan Pangan yang disusun FAO dalam World Food Summit di Roma untuk mendorong pemenuhan pangan melalui produksi lokal. 

Kedaulatan pangan adalah konsep pemenuhan hak atas pangan yang berkualitas gizi baik dan sesuai secara budaya, diproduksi dengan sistem pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. 

Artinya, kedaulatan pangan sangat menjunjung tinggi prinsip diversifikasi pangan sesuai dengan budaya lokal yang ada. 

Kedaulatan pangan juga merupakan pemenuhan hak manusia untuk menentukan sistem pertanian dan pangannya sendiri yang lebih menekankan pada pertanian berbasiskan keluarga—yang berdasarkan pada prinsip solidaratas--bukan pertanian berbasiskan agribisnis—yang berdasarkan pada profit semata. (OL-11) 

http://www.mediaindonesia.com/read/2012/10/24/358087/284/1/Serikat-Petani-Indonesia-Segera-Uji-Materi-UU-Pangan-ke-MK